"Nat, Mama mau bicara. Boleh?"
Pagi ini, tepat pukul dua Nata baru sampai di rumah. Itu pun rencananya, ia hanya singgah sebentar, sebelum nanti subuh kembali ke rumah sakit. Ia tak menyangka jika sang mama ada di ruang televisi, seakan menunggunya untuk pulang sedari tadi. Nata mengangguk, melemparkan dirinya tepat di samping sang mama.
"Mau nanya apa, Ma? Tumben," jawab Nata. Ada guratan-guratan lelah yang dapat sang mama lihat di wajah sang anak. Wanita berumur lima puluh tahun itu tersenyum, mengulurkan tangannya untuk menyentuh sisi wajah Nata. Sudah lama sekali sejak dirinya memandang Nata sedekat ini, melihat bagaimana wajah Nata berangsur-angsur berubah dari tahun ke tahun. Semenjak Nata menjadi dokter, semua waktunya benar-benar dihabiskan di rumah sakit. Kadang mama rindu sekali dengan sifat-sifat Nata yang biasanya manja. Namun, karena tuntutan pekerjaan, Nata tak lagi bersikap seperti itu. Anaknya lebih banyak tertutup. Pulang ke rumah untuk istirahat, sesekali membicarakan pekerjaannya yang menurutnya hebat, tanpa pernah menyinggung hal-hal yang bersifat pribadi. Padahal, Mama begitu ingin mendengar keluhan-keluhan yang keluar dari mulut Nata. Entah itu tentang kehidupan asmaranya, atau bahkan tentang kawanannya.
"Gimana? Kamu sama Natasha?" tanya Mama. Nata otomatis menunduk. Seakan memikirkan kata-kata yang pantas yang akan ia gunakan untuk diutarakan pada sang mama perihal hubungannya dengan Natasha yang sudah berakhir. Ia tak mungkin langsung mengatakan bahwa hubungan mereka sudah kandas beberapa hari yang lalu karena anak laki-lakinya ini masih menyimpan begitu banyak ragu. Ia tak ingin membuat sang mama kecewa hanya karena dirinya yang terkesan main-main dengan hubungan lima tahunnya ini.
"Ma, jangan marah ya?" ucap Nata. Mama awalnya terkejut, namun setelahnya ia tersenyum dengan begitu lembut.
"Iya, enggak akan. Emang kenapa, sih? Kamu maling jambu di pohonnya Pak Eko?" canda Mama yang berhasil membuat Nata terkekeh kecil.
"Aku sama Natasha udah enggak ada apa-apa lagi, Ma," ucapnya. Mama terdiam sebentar, terlihat jelas bahwa Mama benar-benar terkejut. Ada guratan kecewa di wajahnya ketika Nata mengatakan hal itu dan ia lebih dari sekedar tahu.
"Mama...enggak marah, kan?" tanya Nata hati-hati. Mama tersenyum sambil mengusap sisi wajah anaknya, seakan berkata bahwa dirinya baik-baik saja.
"Mama enggak apa-apa. Kalau menurut kamu itu pilihan yang terbaik, Mama enggak akan maksa. Yang ngejalanin semuanya itu kamu, Nat. Meskipun Mama mau banget kamu cepet nikah, tapi Mama enggak maksa kalau emang kamu belum nemuin yang cocok."
Nata lantas tersenyum. Membawa sang mama ke dalam pelukannya. Serius, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali ia memeluk sang mama begini. Rasanya sudah lama sekali.
"Jangan takut buat cerita ya, Nat? Kamu masih anak Mama. Mama selalu ada kalau kamu butuh orang untuk mendengar."
...
Rumah Keyla sepi. Entah karena adiknya yang sekolah, Mamanya yang masih asik di kamar karena sengaja, atau karena kedatangan dokter Faris yang mendadak.
Iya, pagi ini sekitar jam sembilan. Jam-jam rawan untuk bertamu di rumahnya karena Keyla biasanya belum sempat mandi jam segini, dokter Faris datang. Lengkap dengan satu kotak brownis merk Amanda yang ada di tengah-tengah meja. Keyla awalnya bingung, tapi ia tepis jauh-jauh rasa bingungnya begitu dokter Faris membuka percakapan dengan menyebut nama Elsa.
"Saya enggak mau terlalu ikut campur, tapi bukannya lebih baik kalau kalian baikan?" katanya. Keyla merasa ini masih terlalu pagi untuk sekedar membahas permasalahan antara dirinya, Elsa, dan juga dokter Nata. Ia bahkan belum benar-benar mengumpulkan semua nyawanya ketika dokter Faris duduk di hadapannya dengan pakaian rapi, sedangkan dirinya masih bertahan dengan satu set baju tidur berwarna putih.
"Dok, aku bukannya mau ngalihin pembicaraan. Tapi, apa ini enggak terlalu pagi buat bahas masalah aku?" tanya Keyla. Dokter Faris mengangguk membenarkan. Tapi, ia tak bisa tinggal diam lagi. Dirinya kesal setengah mati karena pertengkaran tiga manusia ini. Padahal, dirinya tak punya hak untuk turut andil.
"Iya, saya tau. Maaf, ya? Tapi, ada baiknya kamu sama Nata ngomongin lagi masalah ini. Kalian enggak bisa terus-terusan jalan berdua tanpa kasih Elsa penjelasan, atau seenggaknya kalian bicara sama anak itu."
Keyla diam. Dia ingin mengelak karena pernyataan dokter Faris seakan menyudutkannya dengan dokter Nata. Tapi, di satu sisi dokter Faris benar. Ia tak bisa terus-terusan bertemu dengan dokter Nata ketika hubungannya dengan Elsa belum juga membaik.
"Nanti saya bicarakan, dok. Makasih sarannya," ucap Keyla. Dokter Faris tersenyum. Asik juga bicara dengan Keyla. Anak itu tak gampang meledak-ledak seperti Elsa.
"Saya permisi kalau gitu," katanya.
Keyla mengantar dokter Faris sampai depan gerbang rumahnya. Baru masuk lagi setelah mobil dokter Faris meninggalkan area rumah. Ketika sampai di depan pintu, kepala sang mama sudah muncul di balik pintu kamarnya. Membuat Keyla sedikit terlonjak karena penampakan sang mama yang begitu tiba-tiba.
"Ma! Kaget, ih!" seru Keyla sambil memegangi dadanya. Sang mama tak mengatakan apa-apa, hanya bisa senyum-senyum sambil meraih kantung plastik Amanda yang ada di atas meja.
"Widih, Kak Key temenan sama dokter ada faedahnya juga," ucap Mama sambil memboyong brownis Amanda kesayangan ke meja makan, diikuti Keyla di belakang.
"Kamu sama Elsa berantem, Kak?" tanya Mama sambil memotong brownis dan mengambilnya satu untuk dicicipi. Sudah lama rasanya merasakan sensasi Amanda yang didapat secara cuma-cuma.
"Iya," jawab Keyla, ikut mengambil potongan brownis yang ada di dalam kotak.
"Kapan baikannya?"
"Enggak tau. Nanti mau calling-calling sama dokter Nata," jawabnya.
"Jangan lama-lama berantemnya. Emang enggak cape?" tanya Mama lagi.
"Cape, lah! Aku sama dokter Nata keluar kayak kucing-kucingan karena takut ketauan Elsa."
Pletak!
"Aduh!!" seru Keyla begitu mendapat sentilan di dahinya oleh sang mama. "Apaan, sih Ma? Kok, Kakak disentil?" katanya sambil mengusap-usap dahinya.
"Anak siapa, sih? Makanya punya hati jangan lemah! Diperhatiin dikit sama dokter Nata aja baper!"
Sialan! Astaghfirullah, enggak boleh mengumpat sama orang tua.
...
"Dok, musti banget ini mah. Minta maaf ke Elsa sekarang atau pertemanan kita sampe di sini aja," ancam Keyla.
Dokter Nata di ujung sana mengernyit bingung. Apa-apaan ini? Beberapa menit yang lalu, Keyla menelepon dan tanpa basa-basi ia langsung meminta dokter Nata untuk segera minta maaf pada Elsa. Padahal ini baru jam sepuluh pagi?
"Iya, La. Nanti saya minta maaf, ini saya lagi kerja dulu. Oke?" jawab dokter Nata.
"Iya, tapi harus sekarang. Harus. Sekarang!" katanya penuh penekanan.
"Iya, La! Santai, ah! Kalau saya udah minta maaf, kamu mau jadi pacar--"
"MAU DITUTUP AJA! NGESELIN! DASAR, ODENG!"
...
HEHEHEHE
KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Teen FictionIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020