Tepat pukul dua dini hari, Nata baru tiba di kediamannya. Bagi Nata, waktu bukanlah indikator untuk menyelesaikan pekerjaannya, melainkan ketuntasan dalam menangani semua pasiennya. Tak heran, jika ia harus rela menghabiskan hampir seluruh waktunya berada di rumah sakit dan mengesampingkan segala kerinduannya terhadap kehangatan rumah.
Nata melempar asal snelli yang ia biarkan menggantung di lengannya begitu dirinya sampai di dalam kamar. Tak banyak yang ia ingat tentang keadaan kamar rumahnya karena sebagian besar waktunya ia habiskan di rumah sakit, atau paling banter di apartement. Sejak jaman koass, Nata bahkan hanya beberapa kali pulang ke rumah karena kesibukannya yang ternyata jauh dari kata biasa. Makanya, pulang ke rumah hari ini adalah sesuatu yang benar-benar ia tunggu-tunggu. Kapan lagi pulang ke rumah dan bertemu dengan Mama?
"Nat, kamu semalam pulang jam berapa?" tanya sang Mama yang kini menuangkan susu ke dalam gelas Nata yang memiliki motif beruang. Hadiah ulangtahun yang Keyla berikan padanya dan Elsa karena mereka berulangtahun di bulan yang sama.
"Jam berapa, ya? Jam dua kalo enggak salah, Ma," jawab Nata sambil mengolesi ovomaltine pada roti tawar di piringnya.
"Udah enggak heran sih, Nat. Semalem juga kalau Mama enggak telepon, kamu kayaknya lebih milih buat tidur di apartemen. Atau enggak tetep tidur di ruang residen." Nata tersenyum begitu melihat wajah sang Mama yang berubah kesal setelah mengungkit kejadian semalam, di mana dirinya terus mengatakan bahwa pekerjaannya di rumah sakit belum selesai dan ia tak bisa berjanji untuk pulang ke rumah. Tapi, apa boleh buat? Mama sudah memintanya pulang dan Nata sama sekali tidak bisa menolak permintaan wanita di hadapannya ini. Mama itu cinta pertamanya.
"Kamu harus jaga kesehatan, Nat. Kalau emang sekiranya bisa pulang ke rumah, pulang. Jangan malah nyiksa diri kayak gitu. Kamu emang memiliki peran penting untuk mengoptimalkan kesehatan orang, tapi bukan berarti kesehatan kamu dinomor dua-kan atau bahkan dianggap enggak penting sama sekali. Kamu sudah kerja cukup keras seharian, baiknya istirahatlah di rumah. Senyaman-nyamannya rumah sakit, tetep aja rumah adalah pilihan terbaik melepas penat. Toh, kamu juga besoknya kesana lagi," jelas Mama panjang lebar. Nata hanya mengangguk sebagai tanda bahwa ia mengerti.
"Mama enggak selamanya sehat, dan ingetin kamu terus gini. Kamu nanti harus cari pasangan yang bener-bener bisa meluangkan waktunya untuk kamu. Kamu gimana sama Natasha? Kapan kamu berencana melamar dia?" tanya Mama lagi.
Nata menggantungkan rotinya di depan mulut begitu mendengar pertanyaan sang mama. Nafsu makannya tiba-tiba menghilang begitu saja. Tanpa ia sadari, ia meletakan kembali roti tawarnya di atas piring. Berusaha merangkai kata-kata yang pas untuk ia lontarkan kepada sang mama. Sebenarnya bukan perkara yang sulit ketika ditanya hal semacam ini, apalagi di usianya yang kini bisa dibilang sudah matang untuk merencanakan pernikahan. Tapi, Nata masih agak sedikit tidak biasa. Dirinya bukan tipe orang yang terburu-buru dalam memutuskan sesuatu, terutama untuk hal yang menyangkut masa depannya. Untuk sesuatu yang akan ia lakukan sekali dalam seumurnya hidupnya. Baginya, pertanyaan sang mama itu lebih sulit daripada harus mendiagnosis obat-obat atau bahkan mengatur kadar dosis antibiotik pada infus pasien agar seimbang antara kematian kuman, sehingga si pasien tidak merasakan sakit luar biasa akibat antibiotik yang mengalir dipembuluh darah, atau permasalahan lainnya mengenai pekerjaan.
"Enggak tau, Ma. Aku mau siap-siap dulu, udah ditunggu Faris." Nata meninggalkan meja makan dengan buru-buru. Memasuki kamar hanya untuk menghindar dari pertanyaan bak film horror itu. Bahkan Nata lebih takut ketika sang Mama sudah menyinggung tentang hubungannya dengan Natasha, ketimbang ketika dirinya harus berhadapan dengan kadaver dulu semasa masih menjadi mahasiswa.
Nata masih merenungkan pertanyaan sang Mama sambil menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke rumah sakit hari ini. Entah kenapa, dirinya begitu sulit untuk sekedar menjawab pertanyaan semacam itu. Ayolah, usianya bukan lagi usia anak-anak remaja labil yang selalu galau setiap malam. Wajar, jika Mama bertanya hal semacam itu. Ditambah dirinya yang kini menjalin hubungan dengan Natasha.

KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Genç KurguIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020