"Wa! Mau cilornya satu!" Elsa berteriak dari depan pintu rumahnya demi satu tusuk cilor di sore hari. Wa Iti, pedagang keliling yang biasanya muncul sore hari, seakan hapal betul kalau Elsa akan berteriak di depan pintu rumah demi satu tusuk cilor yang ia jual. Makanya, tanpa pikir panjang, Wa Iti berhenti di depan rumah Elsa. Menunggu gadis itu keluar dari rumah hanya dengan celana pendek biru yang katanya ia jahit sendiri waktu di sekolah menengah pertama dan baju kuning bekas ospeknya dulu.
"Mau dua," kata Elsa.
"Siap, Teh!"
"Anak kesehatan jajannya cilor?"
Elsa terlonjak di tempatnya, sama halnya dengan Wa Iti begitu melihat sosok laki-laki yang entah muncul dari mana dengan pakaian yang rapi dan juga kacamata yang masih setia bertengger di hidungnya. Elsa ingin mengumpat rasanya. Bisa-bisanya dia datang ke sini setelah kejadian beberapa hari yang lalu.
"Bu, saya mau makaroni ini satu." Ia menunjuk ke arah satu bungkus kerupuk makaroni pedas yang tergantung di gantungan gerobak kecil milik Wa Iti. Elsa mendecih. Dokter, kok jajannya makaroni?
Setelah hampir satu menit bertransaksi dengan Wa Iti, Elsa kembali ke rumahnya. Dokter Faris, tersangka pembeli makaroni itu juga ikut. Tapi, siapa yang mengijinkannya untuk masuk ke dalam rumah? Jadi, tanpa basa-basi, Elsa langsung menutup pintu rumahnya sebelum dokter Faris masuk. Tapi, dengan kekuatan lebih, dokter Faris menahan pintunya dengan satu kaki yang ia selipkan di antara pintu.
"Dok, minggir! Ini kalau aku paksa tutup, kakinya kepotong enggak apa-apa?" tanya Elsa santai. Dokter Faris tak langsung menjawab, yang ada ia malah mengeluarkan satu kantung plastik putih dari balik tangannya yang tersembunyi. Di dalamnya ada satu kotak kertas yang Elsa kenal betul apa. Kotak martabak telur yang di jual di sekitaran rumah sakit. Yang terkenal enak karena resep rahasia tujuh turunan yang bahkan sama sekali tak ingin dibocorkan.
"Martabak telur spesial, telurnya ada berapa ya? Ada tiga atau--"
"Masuk," potong Elsa yang langsung membuka pintunya lebar-lebar. Mengundang senyum kemenangan dari dokter Faris yang kini dengan santai masuk ke ruang tamu dan duduk di salah satu kursi.
"Ibu kamu mana?"
"Elsa! Ada tamu? Eh?" Bujuk dicinta ulam pun tiba. Ibu keluar dengan daster couple yang ia beli bersama Mama Keyla beberapa waktu lalu. Lengkap dengan rambut yang terikat menggunakan jedai. Intinya, ibu-ibu banget.
"Ada siapa ini?" tanya Ibu ramah. Elsa hanya bisa diam melihat sandiwara Ibu pada dokter Faris. Tak tahu saja kalau dokter Faris ini musuh bebuyutan Elsa sejak beberapa hari yang lalu.
"Faris, Bu. Temannya Nata," jawab dokter Faris tak kalah ramah yang membuat gadis itu rasanya ingin muntah. Dokter Faris dan segala keramahan itu sama sekali tak cocok.
"Oh? Dokter juga?" Dokter Faris mengangguk sebagai jawaban, tak lupa dengan senyuman yang dibuat begitu manis sebagai pelengkap.
"Mau ngobrol sama Elsa? Saya tinggal kalau gitu. Baik-baik, loh. Jangan enggak sopan," pesan Ibu pada Elsa yang hanya diangguki dengan malas.
Sekarang Elsa menghadap dokter Faris, menatapnya seakan meminta kejelasan tentang maksud kedatangannya sore ini. Tapi, dirinya terlalu malas untuk berbicara dan lebih memilih untuk main tatap-tatapan.
"Mau minta maaf," ucap dokter Faris. "Itu martabak sebagai ucapan maaf saya soal kejadian di mobil," lanjutnya.
"Permintaan maaf atau sogokan biar dimaafin?" tanya Elsa ketus. Gadis itu masih kesal dengan dokter Faris. Entah karena apa, pokoknya kesal. Wajah dokter Faris mengundang sekali untuk sekedar dimaki-maki. Kalau saja ia tak ingat bahwa yang duduk di depannya ini adalah seorang dokter, sudah ia caci maki sejak awal tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
We Bar Bar
Teen FictionIni cerita dokter Nata dan dua kawanannya, ditambah dokter Faris yang entah datang dari mana. ©mochikuchim 2020