Vanya terpaku melihat dua orang didepannya. Olivia dan Natalie.
Olivia yang menyadari hal itu, bergegas mendekati Vanya.
"Vanya.." Olivia memeluknya. "Ibu rindu sekali dengan kamu."
Olivia melonggarkan pelukannya. "Maaf ibu terlalu lama pergi."
Vanya menatap Olivia. "Ibu kenal Natalie?"
Sekilas Vanya melihat raut amarah Olivia terbit, sekilas. Setelahnya ia mengembangkan senyumannya.
"Kamu kenal?"
Mata Vanya mengarah sekilas ke Natalie yang berdiri diam dengan wajah acuhnya. Ia kembali melihat Olivia. "Kenal."
Olivia memegang jemari Vanya. "Vanya, ketempat ibu ya. Kita ngobrol disana."
Natalie dengan santainya berjalan melewati Vanya sambil meliriknya sinis.
Olivia menarik tangan Vanya pelan. "Ketempat ibu."
Vanya tak beranjak, ia tetap setia pada posisinya. "Aku akan ketempat ibu lain kali. Sepertinya mataku sudah mulai mengantuk."
"Vanya.."
"Maaf bu."
Tak lama Vanya menarik Lidya yang sedari tadi setia melihat tontonan di depan matanya. Vanya dan Lidya meninggalkan mereka dan bergegas masuk kedalam lift.
***
"Kenapa kamu gak ikut ibu kamu?"
Vanya hanya menggelengkan kepalanya sambil dirinya duduk di tepi kasur.
"Van-" ucap Lidya berhenti. Lidya ikut duduk ditepi kasur. "Natalie? Natalie mantan pacar Rio?"
Vanya mengangguk. "Iya. Dia mantan pacar Rio. Aku rasa dia sedang berusaha mendekati Rio sekarang."
"Maksud kamu dia berusaha merebut Rio dari kamu?"
Vanya menundukkan wajahnya. "Aku rasa begitu. Tapi aku merasa ini adalah salahku."
Lidya mengernyit. "Kenapa kamu?"
"Aku yang sering membuka jalan untuk Rio bertemu dengan Natalie. Aku gak tahu kalo rupanya ini menjadi celah untuk dia."
Lidya mengusap punggung Vanya yang berada disampingnya. "Kalo dibilang kesal, ya aku kesal sama kamu Van. Kamu itu terlalu baik, sampai orang memanfaatkan kebaikan kamu. Tapi biarlah yang udah terjadi. Mulai sekarang kamu harus belajar membedakan mana yang akan menjadi teman dan mana yang akan menjadi musuh kamu."
Vanya menegakkan kepalanya. Ia mengangguk.
"Oh ya, kira-kira apa hubungan Natalie dengan ibu kamu? Aku lihat mereka akrab sekali."
"Itu yang buat aku bingung."
"Apa dia saudara kamu? Saudara tiri?"
Vanya mengedikkan bahunya. "Aku gak tahu Lid. Aku gak tahu perasaan aku ini harus disalahkan atau dibenarkan. Waktu aku melihat mereka berdua, perasaanku kecewa."
Lidya memejamkan matanya sambil telunjukkan mengetuk-ngetuk keningnya. "Van, semoga ini benar." Lidya membuka matanya dan memutar badannya kesamping. "Sebaiknya kamu mulai cari tahu soal mereka berdua. Aku takut ini cuma jebakan untuk Rionard. Karena seperti yang kamu ceritakan, ibu kamu punya masalah dengan keluarga Rionard. Aku hanya berpikir, bahwa ibu kamu belum menyelesaikan masalahnya dengan ayah Rionard."
Vanya terdiam memikirkan kata-kata Lidya. "Sebenarnya banyak hal yang ingin aku tanyakan pada ibu."
"Vanya, aku rasa kita harus menunda rencana pindahan kita." yakin Lidya.
***
"Van.. Lo ada dihotel kan?"
"Iya, ada. Brandon, aku mau bicara sesuatu tentang-"
"Gue udah dengar dari Rio."
Vanya mengeratkan genggamannya. Ia menarik napas. "Aku minta maaf atas-"
"Udah Van. Itu bukan salah lo. Lo itu gak ada hubungannya dengan masalah orangtua lo."
"Tapi aku-"
"Pokoknya udah. Sekarang lo turun cepat. Gue ada di lobi hotel. Ini udah jam pulang kerja kan? Gue mau minta antar lo."
"Iya, sebentar lagi. Aku save data aku dulu." tangan Vanya menggeser mouse dan mengklik layar komputernya. "Minta antar kemana?"
"Nanti gue jelasin. Lo turun aja!"
"Oke. 10 menit lagi aku turun."
Vanya bergegas pulang ketika ia sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan keluar lift di lantai dasar dan melihat Brandon sedang menunggunya sambil memainkan ponselnya.
"Brandon.." sapa Vanya.
Brandon mengangkat kepalanya dan memperhatikan lama wajah Vanya. "Lo sakit Van? Gue lihat agak pucat muka lo."
Vanya tersenyum samar. "Gak apa-apa, cuma kurang enak badan."
"Maaf Brandon, aku belum bisa bilang soal kehamilanku." gumamnya dalam hati.
"Lo yakin gak apa-apa? Kalo gak, gue antar lo pulang aja."
"Kita mau kemana?" tanya Vanya penasaran.
"Gue minta lo antar gue ke rumah lo."
"Rumah aku?" bingung Vanya.
"Rumah ayah lo. Gue perlu cari bukti lain untuk memastikan kalo ayah lo emang tersangka dari pembunuhan itu."
Vanya akhirnya mengiyakan ajakan Brandon. Mereka berdua pergi menuju ke kediaman Helmi.
Setibanya disana, Vanya menatap heran isi rumah ayahnya yang sudah berantakan. Vanya memeriksa seluruh ruangan. Tidak ada siapapun. Brandon yang ikut masuk juga ikut menatap heran dengan pandangannya.
"Van.. Apa ayah lo udah pulang?"
Vanya menggeleng. "Aku gak tahu."
Vanya bergegas keluar halaman rumah. Ia menuju ketempat kotak kayu tempat ia menemukan barang-barang ayahnya.
"Masih sama seperti terakhir aku lihat." batinnya heran.
Vanya menutup kembali tempat itu, berencana untuk memberitahu Brandon. Mungkin barang-barang itu bisa mempermudah untuk menangkap ayahnya.
Vanya tidak bermaksud jahat, tapi hukuman tetap harus dijalankan. Ayahnya harus bertanggungjawab.
"Brandon.." panggil Vanya saat ia kembali masuk kedalam rumah.
"Van, ini ayah lo?" tanya Brandon sambil tangannya memegang selembar foto yang terjatuh di lantai.
Vanya mendekati Brandon. Ia melihat foto yang ada di tangan Brandon. "Iya, dia ayah aku."
"Vanya-"
Belum sempat Brandon meneruskan kata-katanya, Vanya berjalan meninggalkannya menuju pintu utama rumah.
"Selamat malam. Apa benar disini tempat kediaman bapak Helmi Saputra?"
"Iya benar. Ada apa ya pak?" tanya Vanya heran melihat dua orang pria berseragam.
"Bisa kami bertemu dengan saudari Vanya Samantha?"
"Saya sendiri pak."
"Ada apa pak?" tanya Brandon yang muncul dari belakang Vanya.
"Kami minta anda kerumah sakit sekarang."
Vanya mulai panik. "Ayah saya kenapa?"
Salah satu pria itu berujar. "Helmi Saputra ditemukan meninggal di ruang bawah tanah pada sebuah rumah tak terpakai. Jasadnya sedang berada dirumah sakit sekarang."
Seketika Vanya merasa jantungnya sedang dihantam sebuah godam palu besar.
"Ayah.. Ini sebuah candaan kan? Bukan ayah kan? Pasti salah!"
***
28/09/19
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adult Senior (Complete)
General FictionBagaimana perasaan seorang Vanya Samantha ketika ia bertemu kembali dengan seorang pria yang pernah ia sukai saat masih berumur 13 tahun? Dan rahasia apa yang ditemukannya saat ia menjalin hubungan dengan sang senior? Bijak dalam memilih bacaan (21...