Suara decitan lantai terdengar saat sekelompok anak sedang sibuk menggiring bola ke arah tiang yang tergantung sebuah keranjang. Anak laki-laki dan perempuan disana tampak serius dalam latihan mereka meskipun masih terlihat amatiran.
Seorang anak laki-laki dengan setelan baju bernomor 5 yang tercetak besar di punggungnya, menjadi titik fokus pandangan seorang wanita yang berdiri di area luar lapangan. Ya, Vanya sudah berdiri lebih dari sepuluh menit disitu tanpa diketahui oleh Ray anaknya.
Rayner Axello Stewart yang disapa Ray itu, sudah duduk dibangku Taman Kanak - Kanak. Meskipun ia terbilang sangat muda, tapi kecerdasan yang dimilikinya diatas rata-rata anak seusianya. Vanya dan Rionard tidak pernah memaksakan anaknya belajar sangat keras, mereka cukup memberi motivasi tanpa memberi tekanan. Karena mereka tahu dampak negatif yang terjadi, jika orangtua terlalu banyak menuntut anak belajar. Namun memang pada dasarnya Ray adalah anak yang cerdas, tanpa belajar seharian penuh pun, ia selalu mengungguli teman - temannya yang lain.
Vanya tahu betul jika kecerdasan yang dimiliki Ray diturunkan dari sang ayah. Bukan hanya dari segi otak, tapi dari segi fisik dan kegemaran pun semuanya diturunkan dari Rionard.
Wajah blasteran dengan bentuk mata, hidung dan bibir yang persis dengan Rionard sempat membuat Vanya protes karena ia tak mendapatkan banyak bagian pada wajah anaknya. Ia hanya menurunkan lesung pipinya yang tercetak di sebelah kanan pipi Ray. Tapi walau begitu, bukan berarti Vanya tak menerima Ray, ia malah sangat menyayangi anaknya. Ray si anak dengan sifat pemimpin dan keras kepala tapi memiliki sifat helper yang sangat disenangi banyak orang.
"Mommy!" suara teriakan Ray yang berhasil membuat semua orang menoleh.
Vanya melambaikan tangannya membalas lambaian tangan Ray. Vanya begitu senang, karena setelah lima hari menahan rindu, akhirnya ia dapat melihat langsung anaknya.
Ray menunjukkan kelima jarinya, tanda ia akan selesai berlatih dalam waktu lima menit. Vanya yang mengerti, segera mengangguk dan tentu saja akan menunggunya.
Selama lima hari, Vanya bersama teman relawan lainnya pergi ke salah satu negara di benua Afrika. Mereka melakukan aksi sosial untuk menolong masyarakat yang terkena bencana, terkhusus anak-anak.
Sebenarnya Vanya sudah berhenti bekerja sejak ia mengandung Ray pada usia delapan bulan hingga sekarang. Hanya saja kemarin hatinya tergerak ikut dalam aksi sosial disana. Mengantongi ijin dari Rionard dan Ray, akhirnya Vanya berangkat bersama teman-teman tempatnya bekerja dulu.
"Ray!" peluk Vanya saat Ray yang sudah selesai latihan, berlari dan masuk kedalam pelukannya.
"I miss you, mom." Ray mengencangkan pelukannya.
"I miss you too." Vanya mengecup pipi Ray berkali-kali sebelum ia melonggarkan pelukannya. "Apa kita sudah boleh pulang sekarang?"
"Of course!" sahutnya senang kemudian menggandeng tangan Vanya, mengajak meninggalkan lapangan.
"Kenapa sulit sekali menghubungi mommy?" tanya Ray dengan wajah sedih saat mobil baru saja Vanya jalankan.
"Maaf Ray, hampir semua jaringan terputus akibat bencana alam waktu itu. Makanya mommy tak bisa sering menghubungi kalian."
"Aku khawatir pada mommy. Apalagi daddy, ia terlihat cemas saat tak bisa menghubungi mommy."
Vanya mengusap lembut kepala Ray. "Terimakasih kalian begitu mengkhawatirkan mommy. Tapi selama disana, mommy baik-baik saja. Buktinya, mommy bisa pulang sekarang."
"Iya mom. Makanya aku kaget dan senang sekali saat melihat mommy datang. Tapi kata daddy, bukannya mommy pulang lusa?"
"Harusnya lusa. Tapi urusannya lebih cepat selesai. Jadi beberapa dari kami pulang lebih awal."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Adult Senior (Complete)
Ficção GeralBagaimana perasaan seorang Vanya Samantha ketika ia bertemu kembali dengan seorang pria yang pernah ia sukai saat masih berumur 13 tahun? Dan rahasia apa yang ditemukannya saat ia menjalin hubungan dengan sang senior? Bijak dalam memilih bacaan (21...