Part 7: Bibit Kehancuran

3.8K 270 9
                                    

Marhaban Ya Ramadhan.

Ini bab pertama yang publis di awal Ramadhan. Semangat buat kalian yang puasa. Jangan lupa perbanyak baca Al-Quran di bulan puasa ini, ya.

Bismillah

************

Zara masih terbaring di ranjang rumah sakit. Mata indahnya itu masih setia menutup dengan rapat. Sedangkan di sudut ruang ada Yusuf yang sedang menggendong putri kecilnya. Dia terlihat begitu antusias dan bahagia dan tengah asyik berbicara dengan Bayi Anaya.

"Hay, sayang. Kamu begitu kecil, dan cantik. Tentu saja karena kamu mewarisi wajah ayah dan ibumu yang tampan dan juga cantik." Kata Yusuf yang sedang berdialog dengan putrinya.

Matanya melirik sekilas ke arah brankar itu. Dia terdiam sejenak dengan raut wajah yang begitu sulit di pahami. Antara tak acuh, sedikit cemas, dan lainnya menjadi satu dalam wajanya.

Yusuf berjalan mendekat ke ranjang tempat istrinya berbaring. Dia menggeser kursi di samping ranjang itu, lalu duduk di sana. Sambil terus menimang putri kecilnya.

"Kapan kamu bangun, Zara,"gumamnya begitu pelan. "putri kita membutuhkanmu untuk menyusuinya." Pria itu begitu peduli pada putrinya, bahkan sedikitpun kata terima kasih tak terucap dari bibirnya untuk sang istri yang telah memperjuangkan putri mereka.

"Aku akan menunggumu, cepatlah bangun. Atau putri kita akan sangat kelaparan nantinya."setelah mengatakan itu. Yusuf beranjak dari kursinya. Membawa Anaya pergi dari ruangan itu. Tanpa pria itu tahu, setetes air mata mengalir dari sudut mata Zara.

Wanita itu menangis. Ya! walaupun Zara masih belum sadarkan diri tapi dia bisa mendengar semua yang dikatakan oleh Yusuf.

Dia selalu berpikir bahwa selama ini Yusuf begitu menghormatinya. Begitu peduli padanya, menjukan kasih sayang dan juga menghargai segala hal yang Zara lakukan. Tapi, kini Zara seolah tertarik kembali pada kenyataan bahwa, semua itu terjadi selama masa awal pernikahan dan juga selama masa kehamilanya.

Zara tak pernah menyangka bahwa kesepakatan yang terjalin antara mereka benar-benar nyata. Yusuf benar-benar hanya menginginkan seorang anak darinya. Tidak pernah benar-benar menginginkan dia sebagai seorang istri.

Air mata Zara semakin deras mengalir dan mata itu perlahan terbuka dengan lautan air mata yang tergenang yang siap tumpah kapan saja.

Dia tidak memikirkan apapun, atau berucap apapun. Zara hanya dia dengan kedua sudut mata menahan tangis dan dahinya yang berkerut menahan sakit yang menusuk di relung hatinya.

"Apa yang akan terjadi setelah ini Ya Tuhan. Kumohon selalu lindungi hamba dalam kebaikanmu."bisik hatinya pilu.

Zara tersentak ketika pintu ruangan itu kembali terbuka. Cepat-cepat dia menghapus air matanya dengan tangannya yang masih terpasang selang infus.

"Zara? Kamu sudah bangun?"tanya Yusuf tergesa menghampiri Zara. Namun kini bayi kecilnya tak ada dalam gendongannya.

"Mas," panggilnya lemah. "Dimana putri kita?"tanyanya.

"Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"bukan jawaban yang dia dapat namun malah sebuah pertanyaan balik oleh Yusuf.

Zara hanya megangguk lemah , kemudian berkata kembali, "Di mana putri kita. Aku ingin melihatnya."matanya melihat kesekeliling namun tak mendapati putrinya.

"Sebentar ya,"kata pria itu mengusap lengannya. "Putri kita sedang di gendong nenek dan kakeknya diluar."

"Tapi mas, aku bahkan belum melihat putriku, bawa dia kemari mas,"pinta Zara.

Sementara Yusuf sama sekali tidak memperdulikan keinginan Zara. Dia malah berkata dengan nada setengah kesal, "Kamu akan bertemu dengannya nanti sekalian menyusinya. Biarkan saja dia bertemu dengan papa mama dahulu."

"Mas,aku ibunya mas. Aku hanya ingin melihatnya pertama kali, kenapa kamu tidak mengerti."

"Sudahlah Zara, kamu memang ibunya. Tapi mereka adalah ayah dan ibuku. Mereka juga lebih berhak melihat cucu mereka."

Zara hanya diam dengan dada yang bergejolak menahan sesak. Wanita itu mencoba mengalihkan kesedihan karena belum bisa bertemu putrinya. Kemudian dia sedikit tersenyum ketika memikirkan sebuah nama yang sudah dia pikirkan setelah mengetahui bahwa dia melahirkan seorang putri.

"Mas, siapa nama putri kita? Boleh Zara menyarankan sebuah nama untuknya?"tanya Zara penuh harap.

Pria itu tersenyum padanya. Yusuf mengusap kepala Zara pelan. Zara pikir dia akan mendapat kesempatan untuk itu. Namun ketika Yusuf berkata, "Tidak perlu. Aku sudah memberikan dia nama. Namanya adalah Anaya Ghulam Khaidar. Nama yang paling pantas untuknya sebagai seorang putri keluarga Khaidar."

Ahh, betapa terlukanya Zara. Apa Yusuf berpikir bahwa nama yang akan Zara berikan tidak akan pantas untuk keturunan keluarga Khaidar. Sebenarnya seperti apa keluarga pria yang dinikahi ini.

Selain membanggakan harta dan kekuasaan yang mereka miliki. Harusnya Zara cukup sadar bahwa mereka sangat menjunjung tinggi kehormatan, harga diri dan nama baik keluarga yang mereka banggakan itu.

"Aku berharap bukan suatu penyesalan nantinya putriku lahir di dalam keluarga seperti ini. Ya Allah, bantu aku dalam membimbing putri ku kepada jalan yang benar yang kau ridhoi dan bukan jalan sesat yang enggkau benci. "

Sejak hari itu Zara benar-benar bertekad dalam hatinya untuk menjaga putrinya itu dengan baik. Mendidik putrinya dengan segala kebaikan dan kasih sayang juga ketegasan yang baik.

Tahun-tahun berlalu hingga Anaya berusia 1 tahun dan mulai banyak beraktifitas membuat Zara semakin bersemangat dalam menemani tumbuh kembang putrinya. Hingga ketika Anaya berusia 2 tahun semua didikan dan kemandirian yang Zara tanamkan pada Anaya harus terusik ketika mertuanya datang ke rumah mereka dan mengambil alih pola asuh Anaya.

Berusaha keras memisahkan dan membuat Zara sibuk dengan banyak hal yang membuatnya tidak memiliki waktu yang lebih banyak seperti sebelumnya. Di tambah Yusuf yang sejak awal selalu memanjakan Anaya bahkan sejak putri mereka itu masih bayi.

Bahkan ketika Anaya hadir pertama kali di rumah mereka. Betapa terkejutnya Zara ketika mendapati bahwa kamar yang disediakan oleh Yusuf untuk Anaya begitu mewah dan luas bahkan lebih luar dari kamar mereka sendiri. Segala aksesoris yang begitu mewah bak putri istana. Membuat Zara semakin was-was setiap harinya.

Hingga yang ditakutkan Zara terjadi. Ketika seorang anak sejak kecil dimanjakan dengan harta. Maka mereka akan sulit untuk merasa bersyukur dan sulit menerima jika orang lain memiliki apa yang tidak dia miliki.

Pola asuh yang sangat jelas berbeda antara Zara dan Yusuf membuat mereka selalu bersiteru. Di tambah ibu mertuanya yang selalu ikut campur membuat Zara semakin sulit untuk membuat putrinya mengerti. Bahkan semakin sulit ketika Anaya menginjak bangku sekolah.

Zara tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dan semakin hari, hubungannya dengan Yusuf juga semakin renggang. Di tambah Zara yang masih belum hamil lagi sejak saat itu. Membuat Yusuf terus menangis akan kehadiran seorang bayi laki-laki. Membuat Zara semakin tertekan...

Apa yang harus dia lakukan selanjutnya?

#Bersambung....

Terima kasih untuk semua dukungan kalian. Sedekah Vote dan Koment positifnya silahkan!

I'M SORRY MAMA! (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang