Prolog : Sang Ateis, Si Pengemis Obligasi

392 28 6
                                    

Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak pernah kutemukan kata itu dalam hidupku. Tidak ada ruang yang cukup nyaman untukku berada. Keluargaku, tempatku mengadu mulut dengan ayahku, mengadu jotos dengan para anjing peliharaannya yang sering memakai jas hitam. Sekolahku, tempat organ tubuhku mulai habis dihantam, berdenyut kesakitan sampai rasanya ingin putus. Aku tak pernah diterima dimanapun. Kasih sayang yaitu kata yang memuakkan untuk didengar dan nista untuk diucapkan. Cinta? Suatu hal yang menimbulkan keperihan. Tak pernah kata-kata itu mengikat diriku, aku bebas dan penuh kemerdekaan di bumi yang bahkan bukan untukku ini. Akulah Christian Watson, penista kebahagian, penghancur harapan dan juga pembenci cinta.

Christian? Nama yang begitu simbolis, bukan? Itu nama pemberian ibuku yang sudah pergi jauh dariku. Meskipun aku tak tahu kebenarannya karena ketika diberi nama, aku belum dapat mengingat. Nama itu tak serasi denganku. Aku saja tak tahu apa kepercayaanku. Tak pernah ke tempat ibadah manapun, belum pernah melipat tangan atau bersujud. Bahkan libur keagamaan saja aku lupa nama-namanya. Jangan pernah tanya namaku karena itu bisa saja membuatmu tertawa lucu melihat realitanya atau justru memberikanku julukan lain seperti orang-orang kampret di sekelilingku.

"Dasar kau tak berguna, memainkan semua yang kau mau. Sampai kapan kamu mau begini?"

Kalimat itu terulang lagi diucapkan oleh ayahku, pria hidung belang yang tak mau menghabiskan malam tanpa wanita ditempat tidurnya. Hal itu semacam ritual malamnya. Aku penasaran bagaimana kelak saat rambut putih tak dapat lagi dia tutupi. Akankah dia terus merapalkan mantra sialan itu padaku dan sanggup melakukan ritual malamnya?

Tatapan tajam dan benci selalu kuberikan pada bajingan itu saat dia melakukan hal itu. Sama halnya saat ini. Aku meludahkan air liurku di lantai marmer hasil kerja kerasnya. Aku tak sudi meminta maaf dan juga bertekad untuk tidak berubah. Tekadku sudah bulat akan tetap pada diriku ini. Kemerdekaan yang menurutku takkan pernah didapat orang yang sesuai dengan harapan banyak orang.

Kini kakiku berjalan menyusuri lorong dan menembus tembok mansion malang ini. Kemewahan dan kekokohannya tak mampu menahan keutuhan keluarga yang ada didalamnya. Aku menatap kasihan pada mansion sambil terus berjalan ke jalanan. Kehidupan keluarga di dalamnya tak seindah bangunan mansion. Seketika aku terkejut dengan suara klakson.

"Tin....tin...tin.." Mobil hitam mencoba menyerempet ditengah jalanku yang sempoyongan.

"Eh, kamu punya mata gak sih?" Dia keluar dari mobil yang mungkin hanya seharga semua barang yang kupakai.

"Ish, mabuk kok berani di jalanan" bacot pengemudi mobil sambil menutup hidungnya cepat.

Mataku yang sayu karena kurang tidur ditambah bibirku yang pecah akibat bogeman ayahku membuatku tampak kacau. Aku yakin pengemudi itu pasti menganggapku sialan. Who cares? Melanjutkan langkahku yang terhenti, kini pergilah aku ke bar yang barusan kutinggalkan beberapa jam lalu. Senyumku mengembang puas. Aroma khas yang sangat membuat hidupku serasa disurga. Air manisnya yang senantiasa memanjakan lidahku. Aku senyum tak jelas layaknya orang sekarat mendapatkan penawar. Kutuangkkan botol air panas itu ke tenggorokanku. Rasa yang diberikan mampu menghanguskan rasa kesal dan perih di hatiku. Aliran airnya menghanyutkanku pada ilusi dan mengantarkanku pada lautan kebebasan. Tubuhku mulai ikut bergoyang, menikmati lagu yang diputar. Sesekali kugoda dan kucolek perempuan-perempuan menor yang pakai rok mini.

***

"Terimakasih untuk semuanya Bapa. Bantu aku melakukannya"

Malam itu dia berada di sebuah tempat ibadah. Tempat dimana ramai dikunjungi pada saat hari minggu. Entah apa rencananya untuk tahun ini tapi, doa-doanya selalu terjawab, meskipun jawabannya terkadang tidak. Dia bangkit dari tempatnya, melangkah menjauh dari tanda salib di dalam ruangan itu, terus berjalan hingga keluar dari bibir pintu besar nan tinggi. Gelap malam dikalahkan cahaya lampu yang ada, menghiasi pekarangan. Dia tersenyum tegar walau ragu. Sudah seminggu dia melihat pria yang dikasihaninya itu. Baginya pria itu terlihat begitu menderita dengan segala kebisuan dan sikap diamnya. Baginya dunia itu terbalik pengertiannya dengan pria itu. Siapapun nama pria dengan luka di sekujur tubuhnya itu, dia harus mengenalnya. Apapun masalah temannya itu, dia siap membantunya, memberikannya kenyamanan sejauh teman lakukan. 

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang