Umpatan, makian hingga hinaan dari orang-orang sudah teramat normal ditujukan padaku. Bagiku itu seperti cara mereka menyapaku. Beberapa ada juga yang memberikan cap berandal, bajingan, broken home, sialan hingga keparat kepada orang-orang seperti aku. Bagiku itu layaknya orang memperoleh gelar sarjana – kebanggaan. Tidak semua orang bisa di cap begitu dan aku tidak masalah menerima gelar kehormatan itu.
Perempuan yang kutinggalkan dini hari tadi tidak ada dalam pikiranku saat ini. Aku hanya menyadari bahwa aku sudah di akhir masa SMA, setelah melihat screenshoot tadi. Itu artinya aku akan masuk bangku perkulihan. Aku tak akan bisa menolak keputusan ayahku. Juga tak bisa memilih kampus. Surya pasti akan memilihkan kampus mahal agar nama besarnya tetap besar dimata orang lain. Kupenggal kesadaranku tentang masa depanku sampai disitu, tidak mau pusing memikirkan rencana masa depan seperti manusia lainnya. Aku hanya memikirkan kuliah di luar negeri akan semakin nikmat. Tidak melihat wajah ayahku yang sok kuat.
Matahari sudah memunculkan dirinya di Indonesia. Dia menyapa setiap makhluk di bumi. Hari ini aku harus menjalankan rutinitas burukku yaitu pergi bersekolah. Kali ini aku tidak datang terlambat. Aku langsung duduk di kursiku, mengeluarkan buku dan pulpen sebagai formalitas belaka, tidak benar-benar serius mau belajar. Aku hanya ingin mempertahankan frekuensi bolosku. Aku harus menahannya karna tidak akan mungkin menguranginya. Pelajaran kulihat begitu saja dan tak serius menanggapi. Sesekali aku menguap melihat guru yang menerangkan menggunakan proyektor. Siswa lainnya aktif dengan pelajaran dan nampak begitu nyambung. Dasar, orang-orang idiot berkacamata dengan tumpukan buku di dalam tas.
"Watson, murid kelas XII IPS 1 harap datang ke ruangan kepala sekolah sekarang!" suara dari loudspeaker pengumuman bergema di setiap ruangan kelas. Itu adalah namaku.
"Silahkan Watson" guru yang mengajar mempersilahkan untuk meninggalkan ruangan. Aku tak menjawab, hanya menuruti perintah pengumuman itu.
Kedua kakiku berjalan santai saling mendahului. Suara dari pengumuman adalah suara pak Jimmy. Guru di bidang konseling itu kuduga rindu dengan keberadaanku pagi ini. Ada ayahku, kepala sekolah dan juga pak Jimmy di ruang kepala sekolah. Mereka sedang berbicara. Ayahku ada di sekolah untuk pertama kalinya selama aku bersekolah. Setelan jas mahal dari Gucci memuatku cepat mengenalinya. Mereka berhenti berbicara setelah mengetahui kedatangan murid yang di panggil yaitu aku.
"Silahkan duduk, Watson" kepala sekolah menunjukkan kursi kosong dekat ayahku. Tak ada jawaban kubalas, hanya respon langsung duduk yang kuberikan.
"Seperti yang saya katakan tadi. Watson sudah sering sekali menginap di sekolah, datang terlambat, berkelahi dan nilainya pun buruk, Pak Surya. Bukankah begitu Watson?" pak Jimmy mengulangi perkataan yang sudah dia bicarakan dari tadi. Wajah dan mulutku tak mau bergeming menanggapi percakapan ini. Apa ini semacam mediasi atau semacamnya?
"Bapak lihat sendiri kan bagaimana dia berperilaku?" pak Jimmy geram dengan tingkah siswa langgangannya.
"Iya, Pak, saya mengerti apa yang sudah Anda sampaikan tadi. Tinggal beberapa minggu lagi dia akan lulus dari sekolah ini. Saya akan menanggung segala kerugian sekolah. Saya mohon sekali kepada bapak sekalian" ayahku mengemis. Didalam hatinya amarah pasti sudah sangat dia tahan. Pak Surya ternyata bisa berakting juga demi citranya.
Di ruangan kepala sekolah mereka saling melempar wacana. Kepala sekolah dan juga guru di bidang konseling itu memaksa ayahku untuk memperingatkanku agar sungguh belajar karena akan ujian. Sedangkan ayahku memaksa mereka untuk mempertahankan keberadaanku di sekolah ini hingga lulus. Alasan terkuat dari kenginan ayahku adalah karena reputasi sekolah ini baik, sehingga aku harus bisa lulus dari sekolah orang culun ini. Tapi seberapa bagus pun sesuatu pasti ada hal buruk didalamnya. Watson merupakan hal burk di sekolah terkenal itu. Sekitar 30 menitan mereka saling bergelut dan yang kulakukan hanya diam tak mau tahu. Akhirnya aku masih bisa sekolah disini dan ayahku harus menanggung beberapa kerugian, seperti denda karena kerusakan fasilitas sekolah akibat penginapan yang sering kulakukan.
Sudah kuduga, aku tak mugkin dikeluarkan dari SMA ini mengingat ayahku selalu memberikan dana suntikan. Lagipula aku sudah melakukan banyak kesalahan dari dulu dan tidak ada masalah. Mereka hanya melakukan formalitas belaka. Murid yang bandal harus memanggil orang tuanya ke sekolah. Itu saja, tidak ada yang lain. Karena jika tidak begitu murid yang lain akan mengikuti langkahku. Tetapi kali ini aku salut pada bajingan yang dipanggil pak Surya, ayahku, karena segitu kuatnya keinginanya aku lulus dari sekolah ini sampai datang kesini meskipun baru sekali selama hampir 3 tahun.
Pria yang berusia 45 tahun itu pergi meninggalkan ruangan berukuran 5 x 9 m itu. Dia membenarkan posisi jas sambil menatap, mengancam diriku. Tatapan datar. Tidak ada rasa terancam dalam hidupku. Dia lupa bahwa di dalam diriku ada dirinya, darah dan dagingnya mengalir dalamku. Itu sebuah fakta yang tak ingin kuterima. Inginku mengeluarkan setiap butir darah dan gumpalan daging yang kuterima dari DNA-nya, membiarkan DNA ibuku saja yang tinggal.
Sudah sore hari dan jadwal pulang sedang berlangsung. Murid-murid mengemas barang-barangnya dan mencari kendaraannya di parkiran. Lain dengan diriku yang justru pergi ke atap sekolah karena hari ini aku belum ke tempat ini. Tombol yang menyala di lift ada di angka 7 membawaku naik keatas secara cepat. Pintunya otomatis terbuka sesudah sampai di lantai 7. Kunaiki tangga untuk naik ke atap sekolah dan sudah tidak ada orang. 5 orang berandal yang juga sering datang kesini hanya datang ketika mereka muak dan tak tahan ingin merokok. Kemeja putih di badanku membuatku gerah dan meminta untuk dibuka meninggalkan rekannya si kaos putih yang masih kupakai. Aku duduk di bibir gedung, menyalakan musik dan membakar batang putih yang mengandung 4000 zat berbahaya. Rasa nikotin yang ada pada batang itu memberiku nyawa.
Aku mengeluarkan asap dari hidung dan juga mulutku, mencoba mencari kesibukan dengan bermain asap. Jalanan jam segini pasti macet. Jika pulang, maka hanya bogeman dan pukulan hasil amarah ayah yang akan kuterima. Jika aku ke bar, bisa jadi wanita tadi malam datang dan memperibet hidupku. Itu sebabnya aku sering berganti bar jika sudah mendapat mangsa dari situ.
Seseorang datang ke atap dan menyapa pelan dari belakangku. Seperti biasa, aku tak mau menjawab, tidak mau memiliki teman mengobrol – cukup dengan rokokku saja.
"Apa kau tuli?" suara gadis bertanya. Kulihat dia dan tak heran lagi. Gadis ini tak asing sama sekali. Dia adalah gadis yang mengobati semua luka di badanku kemarin. Dia berkata sama persis seperti semalam. Tapi kali ini respon yang kuberikan hanya diam meski sudah berbalik ke arahnya.
"Aku membawa obat untukmu" dia mengangkat tangannya yang memegang kotak P3K.
"Tidak perlu" ucapku dingin. Aku tak mau terlibat dengan urusan orang lain apalagi mengenalnya. Sudah cukup ayah dan pak Jimmy yang kutahu namanya.
"Aku tahu kamu adalah anak yang broken home, menganggap dunia ini tidak indah" dia berbicara ngelantur. Dunia ini indah bagiku, harta mudah kuminta. Wanita juga gampang untuk kudapat. Dia adalah gadis yang sok tahu.
Kulihat dia heran dan memberi kesan salut terhadap perkataannya. Istilah broken home saja tidak cukup mendeskripsikan diriku, harus ditambah kata-kata kasar lan sebagai pelengkapnya. Kuambil kemeja yang tadi kulepas, telepon dan juga rokokku untuk lekas pergi. Bisa saja gadis ini penguntit yang menginginkanku untuk membimbingnya menikmati dunia. Kedua bola mataku terpejam dan bergegas menjauh dari gadis dengan kotak P3K ditangan kanannya. Kubuka pintu untuk menuruni tangga dan.....
Terkunci.
Sial.
Ini adalah trik yang kutahu.
To be continued....

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
SpiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...