Aku pergi ke atap sekolah dan menemui Grace diatas sana. Hal yang harus kubiasakan dari sekarang. Aku sudah putuskan untuk mau meminjamkan mobilku. Itu sebabnya hari ini aku meninggalkan si kuda besiku di garasi mansion.Grace terlalu banyak miripnya dengan seseorang yang sangat kurindukan sosoknya. Tampak juga 5 berandal disitu sedang merokok berjarak sekitar 10 meter darinya. Sikapnya yang tenang sambil memandang langit biru diatas sana bisa kulihat dari bibir pintu. Dia benar tentang apa salahnya berbagi harapan terhadap sesama. Aku tak akan rugi jika membantu mereka dengan kekayaan ayahku. Meskipun aku masih heran mengapa aku bisa berubah pikiran sejak dia mengatakan tujuan hidup.
"Grace!" sapaku untuk pertama kalinya dengan memanggil namanya.
"Siap untuk pergi?" tanyaku padanya.
"Kemana?"
"Tempat wisata tentunya" kataku memastikan muka herannya.
Bukannya kemarin dia mau meminjam mobilku untuk pergi ke tempat wisata? Dia melihatku lucu. Gadis bernama Grace ini sungguh seperti sebuah kata yang sulit kuterjemahkan.
"Sekarang sudah jam 4 sore, Watson. Sebentar lagi akan tutup" dia tertawa kecil melihatku. Gadis itu senang karena akhirnya bisa memasukkan efek sedikit demi sedikit pada pria yang nakal ini. Nama Christian tidak terdengar lagi oleh telingaku. Padahal jauh di dalam lubuk hatiku, aku rindu dengan itu semua.
"Hei berandal, pulanglah. Ibu kalian akan menangis mencari kalian" kataku pada 5 siswa yang sudah tak pernah ku ajak berantam lagi. Aku sibuk akhir-akhir ini dengan Grace.
"Nikmati saja hari-harimu, berandal. Tak usah bacot di depan kami" lelaki satu menjawab sapaanku itu. Aku hanya ingin menengur mereka saja. Kukembalikan lagi fokusku pada gadis di sampingku ini.
"Mau ikut ke panti?" Grace mengajak sambil membenarkan anak rambut yang terbang diterpa angin. Sekarang aku teringat pada ibuku. Tatapan Grace ternyata memang mirip ibuku. Aku tidak bisa lagi menyangkal kebenaran yang selama ini ingin kututupi.
"Tunggu Grace! Apa nama penyakitmu?" memori mengenai ibuku mendorongku untuk bertanya padanya.
"Tumor otak. Kenapa?" dia menjawab tenang sedang aku diam membisu.
Benar.
Kurasa hal yang membuatku berubah adalah penyakit gadis ini yang sama dengan penyebab kematian wanita yang melahirkanku. Masih kuingat dengan jelas kenangan tentang ibuku. Gadis ini hampir sama dengan ibuku - memiliki keinginan dan tujuan hidup. Masa-masa akhir ibuku yang dihabiskan dengan merawat penghuni panti jompo yang jauh dari mansion kami. Dia dulu selalu datang kesana setelah menjemputku dari sekolah. Menghabiskan hari-hari dengan berbagi cerita pada nenek-nenek disana sampai akhir hidupnya. Katanya aku tidak akan pernah kehilangan orang tua jika aku bisa menemukan panti jompo. Ibuku menyarankanku untuk mendengar berbagai pengalaman mereka.
"Watson! Watson!" ketua UKS ini menghentikan piringan hitam yang berputar di kepalaku. Aku tersadar dan kembali melihat rupa Grace.
"Ah! Ayo!" ajakku kebingungan.
Lokasi panti asuhan tidak bisa dijangkau dengan mobil. Itu sebabnya barang sumbangan kemarin ditaruh di rumah Grace menunggu dipindahkan. Sama halnya saat ini, aku juga tidak bisa langsung ke panti asuhan. Grace juga tahu itu. Kami harus berhenti di gereja untuk memarkirkan mobil hitam yang kubawa. Setelahnya kami berjalan melewati beberapa gang yang tidak begitu bersih menuju panti asuhan. Tidak terlalu jauh apalagi ini kali kedua aku lewat gang gelap itu.
Sampai.
Mata biru melihat anak-anak di halaman panti bermain. Beberapa menyapu halaman, ada yang berteduh di bawah pohon mangga sambil membaca. Kulihat panti asuhan sudah dengan warna yang sempurna. Ternyata proses pengecatan sudah rampung. Tidak ada lagi anak-anak yang di dekat dinding dengan kuas dan warna-warna cat. Jika dilihat-lihat mereka cukup bahagia. Kami memasuki halaman panti dan dilihat oleh anak-anak. Mereka melemparkan senyum mereka sambil menunduk sopan. Beberapa juga menyapaku dengan mengatakan selamat sore.
"Apa kalian sudah mandi?" Grace membuka suara. Beberapa berkata iya dan beberapa tidak.
"Mandilah! Jika tidak mau menunggu terlalu lama, pergi ke kamar mandi gereja" dia memberi saran. Kami berdua melewati anak-anak di halaman dan memasuki ruangan. Disini juga masih terdapat penghuni panti.
"Ayo Watson ke tempat favoritmu" ajak Grace padaku. Tempat favorit? Ada-ada saja.
Kami menaiki berbagai anak tangga hingga sampai di atap gedung panti. Hanya ada dua lantai, jadi tidak sulit sama sekali untuk melewatinya. Sekarang kami sudah ada di atas. Dari sini aku masih bisa melihat anak-anak yang ada di pekarangan tapi aku tidak bisa melihat jalan raya atau gedung-gedung lainnya karena panti asuhan inii merupakan gedung terpendek di antara gedung-gedung lainnya disini. Tempat ini kelihatan dihimpit oleh bangunan besi di sekelilingnya. Matahari yang sudah mau tenggelam disertai dengan bayang-bayang gedung yang singgah di atap membuat suasana gelap dan tidak seindah dari atap sekolah.
"Gimana? Lumayankan?" gadis yang mengajakku kesini bertanya pendapatku. Aku hanya diam tak mengangguk. Tidak buruk juga pikirku.
"Dunia ini indah Watson jika kita tahu menikmati hidup" aku melihatnya.
"Kau tak harus hidup sia-sia seperti yang selama ini kau lakukan" bibirnya masih jelas kulihat seperti ikan yang tak berhenti mengoceh.
"Bila bulan hanya timbul setengah, layakkah dia disebut purnama, Grace? Atau apabila mentari tersenyum saat hujan di tengah hari, dapatkah kita menyebutnya pengering raksasa?" aku membalas ucapannya.
"Ada beberapa hal dimana kenyataan umum tidak berlaku, Grace. Saat indukmu melemparkanmu seperti anak panti disini, masih sanggupkah kau menyebutnya malaikatmu? Atau ketika pahlawan kepercayaanmu berkhianat, apakah dia masih dianggap pahlawan?"
Grace merenungi perkataanku. Mungkin dia mengerti mengapa selama ini aku bisa sedingin ini, bertindak sesuka hatiku dan bahkan terkadang bertindak amoral. Dia merenung cukup lama lalu menyikapi pertanyaan yang kulontarkan.
"Bulan separuh itu masih bisa kita sebut purnama jika definisi purnama diubah. Ada banyak definisi purnama. Kita bisa saja menyebut purnama itu makanan atau lainnya. Itu tergantung kita, Watson. Mentari juga masih bisa disebut pengering raksasa kala hujan ketika kita bersabar menunggu hujannya reda. Bersabarlah, semua ada waktunya tapi ya kita harus bertindak." perempuan itu berbicara. Dia tidak tahu apakah perkataannya dapat membuat lawan bicaranya mengerti.
"Induk yang menelantarkan anaknya memang buruk. Tapi pasti ada alasan mengapa Tuhan memilih jalan hidup yang seperti itu untuk kita alami" Grace lagi-lagi berkata dengan sangat lembut, berusaha menenangkan hatiku.
"Begitu juga ketika pahlawan kita berkhianat. Itu pasti sangat menyakitkan. Sangat. Aku tahu itu. Tapi akan lebih menyakitkan jika kita menyimpan sakit. Bermurah hati dengan mengampuni akan memberi kita kesembuhan Watson" kini gadis itu melihat aku.
"Jangan membuat amarah merajai hidup kita. Ingat kita punya tujuan!" perkataan gadis itu disertai senyum tulus. Aku diam tak tahu lagi apa yang harus kutentang dari pernyataan anak pendeta ini. Aku hanya diam dan melihat hari yang semakin gelap dan udara yang makin menusuk ke sendi-sendi tubuhku.
"Udah ahk. Aku mau pulang" aku menghentikan percakapan ini.
Harus kuakui perkataan-perkataan gadis itu ada benarnya juga. Aku bisa saja mengatakan bulan sabit adalah bulan purnama bagiku atau nasi adalah roti bagiku. Itu semua tergantung aku. Hal ini semacam panggilan sialan, bajingan, dan lainnya yang selama ini aku anggap adalah gelar kehormatan. Lantas mengapa aku masih menganggap dunia bukan milikku padahal aku berkata bahwa aku adalah orang yang merdeka? Mengapa juga aku harus hidup menyiksa diri, menerima setiap pukulan dan cercaan?
***
To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
SpiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...