Kehidupan memiliki tujuan. Titik. Itulah alasan mengapa ada kehidupan dan juga kematian. Untuk segala sesuatu pasti memiliki fungsi, manfaat dan tujuan. Maka dari itu untuk bisa kembali hidup, kita harus memiliki tujuan. Kematian bukanlah untuk orang yang tak ingin hidup karena orang yang tak ingin hidup tidak bisa dikatakan hidup karena tidak memiliki tujuan. Jika kita memang hidup, maka kita harus memiliki tujuan. Dan jika kita memiliki tujuan maka kita tidak menginginkan kesia-siaan apalagi kematian. Lalu bagaimana jika tujuan hidupku adalah untuk mati?
"Ini bayarannya. Dia tidak cukup cantik bagiku tapi permainnanya lumayan lah. Lain kali sediakan bagiku yang lebih muda. Aku kan sudah langganan" suara khas orang mabuk terdengar mengoceh kepada pelayan.
"Baik Pak Boss" Jack senang dengan bayaran tambahan yang diterimanya. Dia menelepon nomor orang suruhan orang mabuk tadi. Tak lupa Jack juga memberikan sofa yang nyaman untuk pak Boss nya itu. Dia adalah langgangan setia, rugi jika tidak diperlakukan istimewa. Sambil menunggu ditawarkannya lagi minuman laknat nan panas pada pria hidung belang bernama Surya.
"Disini" Jack si pelayan melambai pada 3 orang berjas yang berdiri mencari di kerumunan orang. Itu adalah penjaga orang mabuk ini. Mereka baru saja sampai dan mencari dimana posisi tuan yang menyusahkan mereka. Jika sudah selesai melakukan ritual malamnya, pria hidung belang yang kaya raya ini harus di jemput oleh orang suruhannya karena mabuk.
Para penjaga itu menopang pak Surya dengan hati-hati, membawanya keluar dari kemerlap lampu disko yang ramai. Itu adalah resiko yang harus mereka tanggung jika bekerja dengan orang seperti pak Surya - pandai menahan nafsu. Jika mereka tidak ahli dalam hal itu, bisa jadi mereka ikut terjerumus ke dunia kelam bersama goyangan maut para wanita murahan.
"Apa kalian tahu dimana anakku, huh?" Surya berjalan diantara rangkulan dua penjaganya dengan sempoyongan. Satu penjaga lainnya membawa jas tuannya yang dilepas tadi sewaktu bersenang-senang dengan kupu-kupu malam.
"Mungkin ada di sekolah pak" satu pengawal menjawab.
"Ayo kesana kalau begitu" mereka bertiga menunduk mematuhi perintah bos.
Keempat pria itu sampai di lokasi sekolah kenamaan, tempat anaknya disekolahkan. Para pengawal dengan setia menggiring majikannya yang jalan dengan mata sayu dan jalan tak beraturan. Sesekali mereka harus repot mendirikannya akibat jatuh karena tersandung. Otot kakinya lemah menahan badan yang meminum banyak minuman keras di bar sana. Butuh durasi yang lama untuk bisa sampai di atap sekolah dengan selamat. Untung pria hidung belang itu memiliki banyak uang yang mampu membuat orang berebut untuk mengurusnya dalam keadaan seperti ini.
"Hei tikus bajingan" pak Surya memanggil anaknya yang duduk di atap dengan telepon genggam yang melantunkan lagu-lagu. Dia hanya menoleh tak suka dengan bapak sialannya itu. Betapa memalukannya memiliki DNA dari pria seperti Surya. Watson juga tak berpindah dari tempatnya.
"Kau adalah sumber masalahku" dia menunjuk-nujuk putranya itu. Mulutnya beberapa kali mencoba mengeluarkan zat racun yang telah diminumnya semalaman ini. Usus-ususnya berontak tak terima diberi asupan yang sama hampir setiap malam.
"Kau harus lulus agar bisa kukirim ke universitas di luar negeri. Jangan berulah dan pulanglah. Rugi aku gaji PRT jika tidak banyak yang diurus" pria ini membacot lagi.
"Apa kau mendengarku, huh?"
"Oh tidak tidak. Kau tak harus mendengarku, cukup memahamiku dengan pukulanku. Hahahaha" pria itu tertawa sebelum pulang meninggalkan anaknya yang malang disana.
***
Setiap detik jarum jam bergerak maka semakin berkuranglah masa kita di bumi. Gerakannya terkadang membuat orang-orang kocar-kacir kesana kemari mengejar tujuannya. 'Takut terlambat' kadang itu alasannya. Arloji mahalku juga semakin gencar bergerak tapi aku masih pada sikap diamku. Kedatangan tamu seperti ayahku di atap sekolah tak membuatku lantas belajar sungguh-sungguh. Karena memang pergi menjauh adalah tujuanku.
Pagi baru menyapa orang-orang membawa sang surya dengan sinarnya. Aku membuka mata dan pulang untuk berganti pakaian. Aku bergerak cepat dan kini sudah kembali berada di sekolah dengan seragam lengkap. Kulihat pak Jimmy ada di gerbang sekolah dengan pakaian kemeja rapi layak dijadikan contoh. Jadi begini ya rasanya tidak terlambat datang ke sekolah. Melihat pintu gerbang sekolah dikerumuni siswa untuk berebut masuk kedalam dengan kendaraannya. Halaman sekolah juga masih dibersihakn oleh tenaga yang digaji pihak sekolah, udara segar disertai bunyi bel sekolah pagi hari. Aku belum pernah mendengar bel suara pagi yang ternyata berbeda dengan bel suara pulang.
"Apa kau tobat anak muda?" Pak Jimmy mendatangiku ke parkiran. Aku hanya diam dan terus membuka helm sambil merapikan anak rambut yang berserak.
"Baiklah. Kenakan dasimu dan masuklah" pak Jimmy menepuk pundakku. Guru di bidang konseling itu pergi meninggalkanku. Baginya sikapku sudah lumrah kan? Dia hanya heran dengan kedatangannku yang terbilang belum pernah secepat ini lengkap dengan pakaian sekolah.
Aku memasuki ruangan kelas dengan malas. Gairahku pun tak banyak untuk hari ini. Tapi aku harus lulus kan dari sekolah ini agar aku bisa lolos dari pandangan mata ayahku yang berengsek itu. Setiap pelajaran hari ini juga sama membosankannya dengan pelajaran sebelum-sebelumnya apalagi lebih banyak untuk persiapan ujian nasional. Aku tak ada selera untuk mengingatnya. Setelah bel sekolah pulang berdering dengan bunyi khasnya aku pergi bergegas ke atap sekolah. Aku harus lebih sering datang kesini karena sebentar lagi akan meninggalkan sekolah bahkan negara ini. Pemadangan baru kutemui setelah sampai di atap sekolah. Pemandangan yang akhir-akhir ini harus kubiasakan.
"Hai Christian" Grace menyapaku ramah dengan nama asing yang kumiliki. Aku membuang muka tak suka dengan panggilan itu.
"Jangan memanggilku begitu" aku geram tak setuju dengan panggilannya. Dia memang membuka banyak aibku. Apa dia tidak puas bisa memanggil nama Watson saja?
"Aku akan memanggilmu begitu mulai sekarang" gadis ini melihatku tenang.
"Jika kau ingin aku tuli, silahkan saja" kataku ketus.
Aku berpaling darinya hendak pergi meninggalkan atap ini. Aku tak suka jika ada yang menganggu kesenangannku. Gadis ini memang sudah kelewat jauh kubiarkan masuk ke dalam hidupku. Tak bisa begitu terlalu lama, dia harus pergi menjauh dari diriku meskipun dia sudah tahu bagaimana aku. Gadis UKS itu mengejarku dari belakang dengan langkah yang cepat. Da berlari berusaha mendahuluiku.
"Tolong aku!" dia merentangkan tangannya di depanku. Grace memasang wajah memohon masih dengan nafas yang tersenggal-senggal lelah. Apa siswi yang satu ini meminta pertolongan? Padaku? Apa dia tidak salah, pikirku sejenak.
"Pergilah! Jangan ganggu aku lagi" aku melewati dia tak peduli pertolongan apa yang dia perlukan dariku. Palingan dia mau mengemis untuk operasi tumor yang yang ada di kepalanya itu. Dia kan sakit.
"Kau jahat Christian. Pantasan kau tak mau di panggil Christian. Kau takut namamu membawamu beban, iya kan? Aku sudah membantumu tapi kau memang tak punya hati"
"Baiklah. Aku tak akan memanggilmu lagi Christian" ujar gadis itu di belakangku dengan teriakan tangisnya sebelum aku tak tampak lagi, ditutupi pintu.
Tidak ada keharusan untuk membantu sesama. Tetapi sebagai makhluk yang manusiawi seharusnya kita harus menolong jika bisa. Hidup itu kan pilihan. Jadi aku bisa memilih untuk tidak menolongnya. Aku tak pernah memintanya untuk membantuku agar mengobati lukaku. Jarak dan batas yang kubangun selama ini harus tetap ada. Aku merdeka dan tidak ada ikatan dengan yang lain. Itu adalah sesuatu yang wajib ku pegang terus. Lagian tidak ada beban dari nama itu aku hanya tidak ingin mengingat ibuku dengan nama pemberiannya itu. Kekokohan akan pendapat itu masih kupertahankan sampai sekarang meskipun sempat kecurian oleh gadis tadi. Aku yakin seratus persen dia akan sama seperti yang lainnya - tidak akan mau berteman lagi. Ck, teman adalah istilah konyol yang sempat diberikannya padaku.
Tak kuhiraukan sedikitpun perkataannya tadi. Aku tuli sejak nama itu ada di udara. Tapi itu hanya berlaku sebentar. Aku memikirkannya ternyata, setelah aku di dalam perjalanan pulang. Kepalaku diserang oleh perkataan yang disertai tangisannya yang meminta tolong padaku. Ya memang aku jahat tapi membiarkan orang mati padahal dia ingin berumur panjang? Aku tidak mau sejahat itu, ditambah lagi dia belum tentu meminta uang dariku kan? Jadi mengapa aku harus begitu tadi? Sial. Mengapa gadis itu malah bisa membuatku terikat begini? Tak tahan dengan perkelahian pikiran dan batinku, aku memutar arah dan kembali ke sekolah berusaha menemukan ketua UKS itu di atap. Tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
SpiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...