Cerita ini akan segera berakhir, tersisa 2 Chapters lagi. Video diatas adalah trailer untuk Part II dari cerita ini.Happy Reading!
"Grace, apa kau bilang kalau kau sakit kepada Watson?" pengurus panti asuhan, Bu Ruth menanyai Grace.
"Dari mana ibu tahu?" perempuan yang baru saja datang itu menanggapi heran.
"Tadi dia bertanya tentangmu dan kakakmu. Terus , Watson terkejut ketika ibu bilang kau tidak sakit" gadis itu langsung berlari meninggalkan pengurus panti di dapur. Dia bergegas mengejar pria yang mereka bicarakan tadi. Pantasan saja dia marah. Rahasianya kini telah terbongkar. Dia khawatir kalau pria itu akan kembali lagi seperti dulu. Gadis itu bergegas ke rumahnya untuk mengambil kendaraan agar bisa mengejar Watson yang tidak bisa dia kejar lagi tadi. Dia pasti ke atap sekolah sekarang. Dia harus segera menyusul dan menjelaskan semuanya. Mengapa ini menjadi rumit? Dia terlalu lama menutupi kebenaran hingga kebenaran itu melarikan diri darinya. Dia diungkap oleh orang lain.
Motor berwarna putih bercampur biru melewati beberapa kendaraan yang ada di depannya. Mesinnya dibuat bekerja dengan cepat agar menghasilkan kecepatan yang sesuai dengan keinginan tuannya. Gadis itu masih dengan raut wajah khawatir.
Sampai.
Dia telah sampai di kawasan sekolahnya. Sudah ada motor berwarna merah yang terparkir. Itu adalah motor milik Watson. Gadis itu mengenalinya. Dia turun dengan terburu-buru dan berlari dengan tergesa menuju lantai paling atas. Dia ingin ke puncak gedung sekolah. Nafasnya belum lagi normal setelah sampai di puncak gedung. Tapi, orang yang dicarinya tidak ada disitu, hanya ada bekas bungkus rokok dan botol-botol minuman keras. Dia sudah pergi. Dia melihat kebawah dan ternyata benar kalau pria itu sekarang sedang keluar dari kawasan sekolah dengan motornya. Mungkin lift mereka tadi berpapasan sehingga dia tidak melihat. Dengan cepat dia berlari lagi mengejar pria itu. Nafasnya masih sulit diatur karena kelelahan. Meskipun demikian, dia harus bisa menghalangi Watson.
***
Mataku terbuka sedikit menilik dunia. Sinar matahari berebut masuk menerobos gorden putih tipis. Kepalaku sedikit pusing karena alkohol yang kemarin kuminum. Mata biruku masih mencoba menyesuaikan kadar cahaya yang masuk ke retinaku. Aku tidak tahu dimana ini, tapi sepertinya gedung ini kukenal. Catnya yang masih terbilang baru membuatku yakin kalau ini adalah gedung panti asuhan. Tapi ini bukan kamar anak panti. Tidak ada juga Ari di sampingku.
"Apa kau sudah bangun? Ini minumlah" bu Ruth datang membawa teh hangat.
"Ini adalah gudang. Tidak baik jika anak panti melihatmu seperti semalam, jadi kami menaruhmu disini"
"Terimakasih, bu. Maaf soal kemarin malam." balasku. Ada rasa segan dan malu ketika para pengurus panti mengetahui kemabukanku.
"Watson, jika ada masalah kita harus menghadapinya bukan menghindar. Ibu yakin kamu dan Grace sudah sama-sama dewasa. Tau mana yang baik dan buruk." Nasihat bu Ruth padaku.
"Ibu tinggal dulu ya" wanita itu keluar dari gudang.
Aku membawa teh hangat keluar dan memandangi anak panti yang bekerja sama. Wajah mereka yang giat membuatku sedikit nyaman. Kulanjutkan langkahku lagi agar bisa sampai di atap gedung panti asuhan. Kubuka bungkusan rokok dan memantikkan api. Aku diam, menghirup udara dari atas sini. Kudengar derap langah kaki datang mendekat. Aku tak menoleh, tak penasaran dengan siapa yang datang. Tetap diam membisu di tempatku dan menghisap batang rokok.
"Watson!" panggil seseorang.
"Aku tahu kau tak tuli." Aku tertawa benci mendengar ucapan itu. Kini dia datang mendekat dan sudah sejajar dengan posisiku, menghadap kedepan menatap pohon mangga dan anak-anak panti.
"Mengapa kau berbohong?" kataku tak serius. Bisa saja jawabannya merupakan kebohongan lagi, pikirku.
"Watson, Aku minta maaf. Aku tahu aku salah. Aku tak sakit sama sekali dan.... dan membawa anak panti ke tempat wisata pun itu bukanlah tujuanku. Tapi semua itu bukan karena aku ingin memanfaatkanmu, Watson" dia menghadap aku. Dia hanya bisa melihat bagian sampingku saja karena aku tak mau berhadapan dengannya. Aku diam mendengarnya.
"Benar kalau aku membohongimu dengan mengatakan aku sakit, tapi itu kulakukan itu agar aku menarik simpatimu, supaya kau mau berbicara denganku. Benar juga kalau membawa anak panti itu adalah kebohongan, tapi semua itu kulakukan untukmu. Demi kebaikanmu Watson. Agar kau tahu bagaimana hidup seseorang yang memiliki tujuan. Aku berbohong tentang sakitku itu agar kau mau terbuka dan merasa iba sehingga aku bisa mengubahmu, Watson...."
".... Maafkan aku. Itu memang bukan hal yang benar. Sekali lagi, aku minta maaf, Watson" dia menjelaskan semuanya itu dengan penuh penyesalan. Kulihat wajahnya yang meminta maaf dengan air mata.
"Apa kau tahu ibuku mati karena sakit seperti itu, sehingga kau mempermainkan mentalku, begitu?"
"Maaf. Hanya itu ide yang terpikirkanku. Maaf, Watson" Wajah Grace amat menyesali ide bodohnya itu.
"Sudah? Apa kau sudah selesai berbicara? Ini adalah pembicaraan kita yang terakhir. Jangan coba datang kedalam kehidupanku lagi. Aku harus pergi sekarang." Kutatap dia dingin. Aku tak habis pikir dengannya.
"Katamu aku temanmu. Apa kau selalu berteman dengan cara yang begini?" kubelakangi Grace lalu meninggalkan gadis itu diam.
Grace sedih mendengar pernyataan itu. Matanya perih menahan penyesalan. Dia menengadah agar air matanya tak jatuh. Wanita pada dasarnya adalah makhluk yang mengedepankan perasaan. Bulir air matanya jatuh membentuk aliran di pipinya yang putih bersih. Dia tidak berani menghentikan teman prianya yang telah memutuskan untuk menjauh darinya. Air matanya begitu deras berjatuhan. Wajahnya memerah dan dahinya keringatan. Suara merdunya mulai terdengar serak dan parau. Penyesalan selalu datang terlambat. Dia pikir hanya dengan begitulah Watson bisa berubah. Hanya dengan mengingatkannya pada ibunya agar dia mau berbicara dengannya. Dia berbohong demi Watson. Demi kebaikannya. Tapi tetap saja kan, sebaik apapun maksud dari sebuah kebohongan, kejujuran akan tampak lebih menyenangkan meskipun itu pahit sekalipun.
Sementara Watson pulang ke mansion. Dia harus berkemas untuk kepergiannya besok. Dia sudah memutuskan akan pergi meninggalkan kenangan aneh ini. Semuanya seperti mimpi yang datang sebentar. Mimpi itu sudah berakhir. Itu akibat dia mau berbagi harapan pada orang dan tidur malam bersama mereka. Itu sudah cukup. Kini sudah pagi, dia harus bangun dari mimpi dan hidup normal seperti dulu lagi.
"Ayah, dimana tiketpesawat itu? Aku harus berangkat besok."
to be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
EspiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...