13 : DOA RAHASIA

85 13 3
                                    

Lemari kayu, cermin besar, dan benda-benda yang ada di kamar terlihat senyum heran disertai penuh tanya melihat tuannya. Aku bak pengantin pria yang gugup setengah mati. Aku tak tahu pakaian apa yang harus kukenakan ke gereja walaupun kemeja-kemeja mahal di dalam lemari sepertinya berebut untuk dikenakan pertama kalinya ke tempat ibadah umat kristiani. Tak mau terlalu banyak menghabiskan waktu dalam merias diri, kukenakan kemeja biru dongker merk Christian Dior dengan celana panjang yang senada sebagai keputusan final. Tak ketinggalan arloji mahal kuambil dari tempatnya sebagai tambahan aksesoris di tubuhku. Tampang gagah dan rapi terlihat di cermin masih dengan kegugupan yang melingkupi setiap inchi tubuhku. Aku berusaha membuang rasa itu dan berjalan dengan perlahan, melewati beberapa ruangan dan tumpukan anak tangga. Hari ini aku tidak pergi dengan motorku melainkan dengan mobil hitam yang selalu ada di garasi. Aku harus lebih sering menggunakannya sebagai pemanasan sebagai supir untuk anak panti asuhan.

Aku memutar musik di mobil untuk meredam gugupku. Perjalanan ke gereja tidak terlalu lama, sekitaran 45 menit dari mansionku. Di sekitar tempat tinggalku sebenarnya ada gereja bahkan aku juga melewati beberapa di dalam perjalananku tapi aku tak mau sendirian. Aku tak tahu sama sekali perkara itu. Janji harus ditepati, Grace sudah membuatku berjanji padanya mengenai hal ini. Kejadian kemarin malam membuatku bertekad untuk menilik sejauh mana sebenarnya takdir menginginkanku berubah. Apakah sebatas tadi malam atau justru hari ini aku di perbaharui lagi?

Ting. Ting. Ting.

Lonceng gereja berbunyi secara beruntun. Apa maksudnya? Apakah di gereja ada juga kegiatan belajar mengajar sama seperti di sekolah? Aku pernah mendengar lonceng gereja tapi tak pernah tahu apa alasannya. Kulihat pekarangan gereja sudah sangat ramai dan jemaatnya sudah pada masuk. Bibirku hanya membentuk huruf O merasa bahwa alasan adanya suara itu untuk memanggil para jemaatnya. Aku ingin masuk karena sudah lonceng tapi, dengan siapa? Tidak ada Grace di halaman ini. Nomor teleponnya pun aku tak punya. Kurasa aku memang tak ditakdirkan untuk pergi ibadah – pikirku sejenak. Namun, tak mau langkahku sia-sia, aku turun dan pergi menuju rumahnya. Beberapa orang melihatku dengan tatapan biasa.

"Grace" panggilku dari luar setelah mengetuk pintunya. Pintu berwarna coklat itu terbuka.

"Hai Watson! Mau apa?" Grace bertanya padaku sambil melirik apa yang kupakai.

"Kau mau ke gereja?" dia terkejut disertai senyum bahagia. Aku hanya diam kikuk dengan perkataan Grace. Dia membuatku malu dengan 2 pertanyaan itu. Apa aku kecepatan? Ini kan sudah pukul 08.00 WIB.

Grace mempersilahkanku masuk rumahnya. Aku sudah pernah masuk kesini ketika memindahkan barang sumbangan untuk panti asuhan. Hari ini adalah hari minggu dan aku tetap tak melihat orang tua Grace di rumah ini. Padahal Ayahnya pendeta. Mau bertanya tapi mulutku masih keluh untuk banyak bicara meskipun dia sudah bilang aku adalah temannya. Aku hanya mengamati setiap sudut rumahnya dari tempat dudukku tapi sepertinya rumah ini hanya berisi Grace seorang.

"Orang tuaku pergi ke luar kota untuk memberikan pelayanan. Hal itu biasa dilakukan pendeta" gadis ini melihat sikapku yang memang sangat kelihatan sedang mencari sesuatu. Lagian kurasa dia memang sudah terlahir dengan bakat pembaca gestur. Aku manggut-manggut mengiyakan dia.

"Grace, lonceng gereja sudah berbunyi. Apa kita boleh terlambat?" aku mengingat alasanku datang kemari.

"Masih ada lagi ibadah pukul 10, pukul 1 dan juga petang. Kita ambil yang jam 10 aja ya!" Aku baru tahu jadwal semacam itu ada di gereja. Aku hanya menunduk mengiyakan saja.

"Kita jadi kan hari ini pergi dengan anak panti? Aku sudah bawa mobil" anak perempuan pendeta yang ada di depanku mengangguk. Dia tersenyum lebar dan mengiyakan pertanyaanku. Dia mengangguk senang. Terlihat jelas betapa bahagianya dia saat ini. Senyumannya tak habis-habis dari wajahnya. Apa hari ini begitu spesial buatnya?

Sembari menunggu Grace yang melakukan persiapan untuk ke gereja, aku hanya sibuk dengan teleponku di ruang tamu. Kedua telinga milikku mendengar bunyi-bunyi merdu dari gereja. Lagu-lagunya tidak ada yang kuketahui dan juga tak tahu kegiatan apa yang sedang berlangsung disana. Jam terus bergulir dan kami sudah selesai dengan segala persiapan. Grace melihatku terus dengan lengkungan indah miliknya. Gadis ini menarik tanganku setelah mendekat padaku. Dia memakai gaun yang indah berwarna merah. Pakaian kami tak serasi sama sekali.

"Ayo" aku mengangguk dalam diam. Kini tanganku dilepaskan dari genggamannya. Dia sedang mengunci pintu rumahnya. Setelah itu dia tidak memegang tanganku justru mendorongku seolah aku sulit untuk melangkah ke gereja.

"Hentikan, Grace" aku merasa malu dengan tingkah lucunya.

"Hei, Grace. Ini tidak lucu sama sekali" perlakuanku bertolak belakang dengan perkataanku. Aku malah tertawa lepas saat ini. Tingkah kami saat ini tak jauh beda dengan anak-anak yang bermain kereta api yang gerbongnya bersambung.

Aku diam setelah sampai di depan pintu rumah ibadah itu dan tidak merasa gugup. Grace sungguh ahli dalam hal seperti ini. Kurasa dia sengaja melakukan hal tadi untukku agar aku tidak berjalan kaku ke arah gereja. Kulihat dia dari samping sekilas dan berlanjut dengan menatap dalam gereja. Bisa kulihat altar, salib ukuran cukup besar, ukiran-ukiran dan beberapa gambar dari kisah-kisah Alkitab. Lampunya pun menyala indah dengan suasana yang tenang dan cukup hening. Aku belum masuk, masih di perbatasan antara luar dan dalam. Aku menghela napas dan masuk. Grace memilih bangku yang ditengah. Dari sini bisa kuteliti setiap bangku di dalam gereja ini.

"Ini. Aku bawa untukmu. Simpan dan kalau bisa baca juga" dia mengeluarkan Alkitab dari tasnya. Aku diam. Aku belum pernah membacanya walau selembar pun, meski masuk sebagai buku terlaris di jagat raya ini. Warna hitam sampulnya dipadu tulisan keemasan entah mengapa membuat mataku berbinar melihatnya. Kuusap secara halus dan saat itu pula lonceng gereja berbunyi. Kami akan memulai ibadah. Para pelayan gereja termasuk pendeta memasuki ruangan dan mengambil posisi masing-masing.

"Buat dirimu nyaman. Kalau kau merasa tidak nyaman kau boleh keluar" Grace berkata setengah berbisik seusai lonceng itu berbunyi.

Grace melipat tangan dan menutup matanya. Pria disamping kananku pun melakukan hal yang sama. Bukan hanya mereka, tapi semuanya. Aku tak yakin melakukan hal demikian. Apa yang akan aku ucapkan dalam hatiku jika aku melipat tangan dan berdoa? Perlukah ada perkenalan di dalam doaku? Atau aku hanya diam saja? Sampai mereka semua selesai dengan kegiatan itu, aku hanya diam sambil meneliti tiap orang disini. Mereka fokus dan tak terusik bahkan tak ada yang memberikanku tatapan aneh meski aku baru disini.

"Kita memasuki ibadah" kata pelayan gereja yang berdiri di depan sana.

Ibadah merupakan suatu penyembahan pada Yang Mahakuasa. Itu definisi umum yang kuketahui. Dan memang sepanjang ibadah ini, aku merasa nyaman dan tidak terusik sama sekali dengan musik, lagu dan nyanyian hari ini. Aku merasa bisa mengeluarkan nafas lega dan menghirup udara segar, serasa selama ini aku dalam penjara dan baru di keluarkan. Setiap doa yang dipanjatkan membawaku kedamaian dan diriku ikut bernyanyi kala musik dilantunkan. Harus kuakui ada gejolak di dalam diriku yang mendorongku ikut bernyanyi dan melakukan ritual ibadah ini. Meski tak dapat dipungkiri juga, kekakuanku masih sangat terasa. Tapi, satu kata buat saat ini yaitu luarbiasa. Jam sudah pukul 12.10 WIB dan ibadah berakhir.

"Sekarang kau bisa berdoa sesukamu. Minta apa saja pada Tuhan, terutama ujian kita besok" Grace akhirnya bersuara lagi. Aku bahkan sampai lupa kalau ternyata di sampingku adalah dia. Dari tadi aku hanya menatap salib yang didepan dan menikmati penyembahanku. Gadis itu menutup kembali matanya dan berdoa. Aku bisa mencobanya. Aku sudah tau bagaimana harus berdoa dari ibadah yang telah berlangsung tadi.

Aku menutup mataku dan melipat tanganku perlahan dan melihat orang-orang disekelilingku. Mereka juga melakukan hal yang sama padahal tidak ada kegiatan seperti itu di tata acara.

Gelap.

Aku tak bisa melihat apapun.

Amin.

Aku selesai berdoa dan melihat uluran tangan dari samping kiriku. Dia adalah gadis yang bernama Grace. Dia menyalamiku sambil mengucap selamat hari minggu. Pria di samping dikiriku pun, belakangku, depanku dan banyak lagi yang melakukan demikian padaku, seolah dunia ini menerimaku. Mereka membuka diri untuk mengenalku. Pengalaman ini lagi-lagi membuat diriku nyaman.

***

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang