Simpan rasa kasihan dan iba kalian. Kalian iri, aku tahu itu. Aku bisa dengan mudah mendapatkan barang mahal bahkan limited edition. Sedangkan kalian? Hah, mungkin hanya barang sekunder yang bagi kalian bahkan sudah super tersier. Jangankan barang mahal, hukum pun bisa kubeli. Rasa iri kalian seolah terdengar mengasihaniku. Shit! Tak perlu ujarkan itu. Urus saja apa yang ada di hidup kalian, jangan berpura-pura bak sahabat yang mengerti aku. Seolah kalian yang bersih dan aku yang dekil, yang sebenarnya terjadi adalah kalian yang ingin mengotoriku dan menjadi lintah darat.
Kedua mataku menutup rapat. Kutarik nafas terpenggal-penggal. Paru-paruku belum bisa berfungsi normal akibat sepakan dari 5 siswa berandal tadi. Mungkin hari ini akan aku habiskan lagi di atap ini. Aku belum bisa berdiri dan tak mau memaksa diri untuk berdiri. Pelajaran di kelas juga tidak terlalu penting. Sosiologi merupakan pelajaran yang memuakkan karena membahas tentang interaksi atau hal lain mengenai cara bersosial. Bolos juga tak akan berpengaruh banyak, aku sudah sering melakukannya. Hari ini menambah jadwal bolosku tentunya.
Terik mentari juga tidak membuatku berpindah tempat. Aku masih tetap berbaring dan berencana akan tidur. Lagu-lagu dari Iphoneku masih terus berputar. Sampah-sampah tadi yang sudah kukumpulkan kembali berserak karena perkelahian kami tadi. Seolah dunia mengatakan padaku kalau aku dan sampah itu sama – tidak dinginkan dan terbuang.
Kring. Kring.
Itu adalah bunyi jam pulang. Aku terbangun masih dengan keadaan yang sama. Aku mencoba berdiri dan bisa. Kutegakkan badanku dan mengutip sampah berserak. Kumasukkan kedalam tong sampah. Mau gimana lagi? Jika tidak kulakukan, aku harus melakukannya besok. Semuanya itu kulakukan dengan tertatih-tatih. Aku melanjutkan aktivitasku dengan turun kelantai 5. Lantai 5 memiliki ruangan yang bernama Pusat Usaha Kesehatan di Sekolah atau lebih sering disingkat PUKS di sekolah ini. Kucari ruangannya dan ketemu. Tidak ada orang disini. Lemari-lemari di dalam ruangan itu menyediakan obat-obatan. Mataku memandangi setiap lemari berusaha mencari obat Betadine untuk kuoleskan pada lukaku. Tiba-tiba suara pintu terbuka, bisa kudengar dari posisiku saat ini. Aku tak mau tahu dan tidak penasaran pula. PUKS adalah tempat umum bagi warga sekolah apalagi saat ini aku sedang kesakitan. Jadi aku tak memerhatikan siapa yang datang.
"Kamu cari apa?" suara seorang gadis bertanya. Aku tidak menjawab, tidak berniat untuk menoleh kearahnya. Sepertinya dia menunggu jawabanku sambil berusaha melihat wajahku.
"Apa kamu tuli?" tanyanya lagi dengan suara sedikit penasaran. Seketika aku menoleh kearahnya, menatapnya dengan sinis. Itu upaya yang kulakukan untuk memberitahu bahwa aku bisa mendengar.
Dia melihat wajahku khawatir dan berjalan kearahku. Aku menggeser tubuhku ke pinggir agar dia bisa lewat. Kulihat dia membuka lemari cepat dan mengeluarkan kotak kecil. Gadis itu mengambil Betadine dari dalamnya dan meneteskannya ke kain kassa.
"Sini" perintahnya kepadaku. Dia memukul-mukul kasur yang ada disitu.
Aku heran dan tetap diam pada tempatku. Kutatap dia selidik sambil maju menujunya dan merebut obat itu dari tangannya. Aku tidak tampak sekacau itu juga. Jangan berlebihan dan jangan berlagak peduli dengan orang yang baru dijumpai. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Gadis dengan ikat rambut berwarna merah itu menghela nafas dan membuang kapas itu ke lantai dengan kasar. Dia berjalan dengan ekspresi marah melewatiku.
Cklek.
Pintu ditutup. Dia memegang kunci dan kembali kearahku. Apa-apaan ini? Dia ikut terkunci di dalam ruangan ini.
"Duduklah. Aku ketua UKS dan kewajibanku mengurus siswa nakal yang kesakitan sepertimu" Perintahnya lagi. Dia berdiri jinjit dan merebut kembali obat luka itu dari tangan kananku. Siswi yang satu ini cukup berani denganku. Aku tak mengenalnya dan tak mau mengenalnya. Aku duduk mengikuti perintahnya. Dia dengan telaten membersihkan luka yang ada di bibirku lalu meneteskan obat yang berwarna merah itu. Siswi itu kembali pergi dan berkeliling ruangan mencari sesuatu. Kulihat dia akhirnya berhenti di sebuah lemari kaca. Dia menunduk dan membuka pintu lemari bawah.
Ada jenis obat lain yang tidak kuketahui namanya di tangan kirinya dan dibawa untukku. Dibukanya dan diolesi ke lebam merah kebiru-biruan yang ada di wajahku. Obat itu sejenis salep yang mungkin meringankan sakit lebam. Aku tak mau bertanya karena harus menahan sakit ketika dia mengoleskannya sambil memijat lebamku perlahan. Untuk seorang gadis, menolong tanpa berisik adalah hal baru bagiku. Dia tidak bersuara tapi menunjukkan ekspresi khawatir terhadap luka yang ada di sekujur tubuhku.
"Apa ada luka atau lebam lainnya?" Akhirnya dia bersuara setelah cukup lama hanya giat memperhatikan lukaku. Aku menggeleng lalu cepat berdiri. Aku sudah bosan dalam ruangan berbau obat ini. Tiba-tiba tumbukan dia berikan di bagian perutku. Apa sebenarnya maksud gadis ini? Dia mau menyembuhkanku atau tidak?
Bugh. Bugh.
Tumbukan dia berikan lagi pada perutku yang sakit.
"Auhh" rasa sakit muncul semakin parah hingga aku mengeluarkan suara kesakitan.
"Apa kau yakin memang tidak ada lagi?" dia meremehkanku sekarang. Dia tersenyum mengejek, mengetahui bahwa ada juga luka di perutku.
Kuputuskan untuk mengabaikannya dan pergi dari ruangan ini. Aku juga tidak mau memarahinya atas tindakan pukulan itu. Aku pergi meninggalkannya dengan sikap meremehkan itu. Ternyata di dunia ini bukan cuma aku yang bisa menganggap orang lain lemah – gadis ini juga. Tubuhku sudah sampai di pintu dan tersadar kalau pintu ini dikunci dari dalam oleh siswi ini. Aku melihatnya dengan kesal lalu meminta kunci. Dia hanya menggeleng dan kembali memasang wajah menjengkelkan.
"Biar aku obati dulu lukamu" Gadis ini bersuara dan membuka kemejaku pelan. Dia menyisakan kaos putih di dadaku dan menariknya keatas tubuhku. Sepertinya wajahnya juga khawatir melihat kondisi perutku. Warna merah dan sebagian biru memang terlihat cukup memprihatinkan. Wajar saja karena aku malas mengobatinya. Jika memang ditakdirkan untuk sembuh maka akan sembuh juga.
Gadis itu melulurkan semacam salep itu ke otot-otot perutku pelan. Kali ini dia tidak memijatnya sama sekali. Dia hanya memperbanyak salep itu ke kulit putihku secara halus. Dari posisiku saat ini, bisa kucium bau rambut panjangnya yang diikat. Meskipun ini sudah jadwal pulang, baunya masih sedap untuk dihirup. Tampaknya dia juga telaten mengurus dirinya. Tak sadar aku memperhatikan dirinya yang tengah sibuk dengan lebam di bagian perutku.
"Selesai" Dia berdiri dari posisi menunduknya tadi. Sekilas mata kami beradu pandang. Tak berselang lama, mata gadis itu berkedip dan menghentikan kontak mata kami. Dia berjalan dan membuka pintu yang tadi dia kunci.
"Pulanglah. Aku mau menutup ruangan ini. Sudah lama bel pulang berdering nanti aku kelamaan sampai rumah" sikap cerewet layaknya gadis pada umumnya muncul juga setelah cukup lama dalam diamnya. Tadi dia mengurungku disini dan sekarang dia mengusirku. Ck, aku tersenyum sedikit lalu pulang tanpa pamit apalagi ucapan terima kasih. Andai kami tidak satu sekolah, aku bisa saja menjadikannya perempuan one night stand malam ini.
To be continued....

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
SpiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...