3 : Dosa yang Kian Memerah (2)

111 16 4
                                    


Aku pergi ke tempat parkiran dan menemukan motor berwarna merah disana. Kunaiki dan pergi mengendarainya untuk pulang. Aku tak bisa bertahan lama dengan seragam ini. Seragam ini bisa membuat orang berpandangan bahwa aku adalah orang yang cerdas yang tampak lebih culun menurutku. Aku berganti pakaian dan setelah aku bertelanjang dada, kulihat memar dan lebam yang ada di perutku tampak lebih berminyak akibat salep yang oleskan gadis berikat rambut merah itu. Rasanya sudah cukup baikan bila diobati dengan benar.

Hari ini kukenakan kemeja dengan lengan pendek tanpa mengetahui merknya, yang pasti ini adalah baju mahal. Tampaknya isi lemariku telah diperbaharui. Semua pakaian di lemari, koleksi jam yang disusun rapi sampai sepatu dan juga hal lain yang ada dikamarku memiliki merk terkenal yang telah diatur oleh orang ayahku. Bukan karena dia peduli padaku melainkan demi menjaga standar kekayaannya di depan teman-temannya. Mungkin kata 'popularitas' dan juga image adalah 2 kata yang cocok untuk itu.

Selanjutnya aku akan pergi ke bar untuk menikmati tubuh wanita disertai minuman di gelas kecil. Membayangkannya saja sudah membuat air liurku mau keluar. Kupercepat laju kendaraan dan sampai. Sinar matahari masih ada bercampur gelap yang semakin datang mengusir keberadaan surya. Melihat suasana diluar ini, aku yakin inilah yang dinamakan senja. Warna oranye dari langit menyinari jalan menuju bar. Jalanan ramai dihuni oleh kendaraan roda empat dan dua yang kejar-kejaran menuju tempatnya masing-masing.

Sesampainya di bar, aku membuka pintu. Belum terlalu ramai karena waktu belum mendukung. Aku memesan bir biasa sebagai pembuka. Kumakan juga kacang di meja bartender sambil menikmati suasana bar yang masih sepi. Musik yang diputar juga belum heboh menunggu tengah malam. Rasanya tidak puas jika hanya memakan kacang, jadi kubeli rokok yang ada di situ dan menghisapnya cepat. Inilah yang tidak bisa dilakukan semua orang. Aku bisa hidup tanpa harus bekerja. Aku menikmati hidupku tanpa harus ada yang menjadi beban. Keyakinan besar bahwa banyak orang diluar sana yang iri dengan keadaanku yang mudah kesana kemari atau mungkin mereka ingin mendekatiku agar aku bisa mengajaknya ikut serta.

"Aku minta wiski" suara perempuan di sampingku terdengar. Dia ikut memesan minuman di malam yang dingin ini. Orang-orang sudah mulai berdatangan, siap untuk menikmati surga dunia. Perempuan yang memesan wiski memakai gaun ketat berwarna merah senada dengan warna lipstick di bibirnya.

"Sendiri?" kutanya dia. Aku ingin beraksi dulu malam ini. Kulihat wajahnya lamat-lamat. Dia cukup cantik dan bentuk tubuhnya juga boleh dijadikan pemuas nafsu. Dia cocok dijadikan edisi malam ini. Perempuan mengangguk dengan senyuman disertai kerlingan mata. Itu adalah salah satu ciri gadis yang sering ke bar.

Kudekati dia dan mengangkat gelas minumku. Dia juga melakukan hal yang sama. Ini adalah salah satu signal bahwa dia membalas dan tidak keberatan untuk ditemani. Kulanjutkan lagi aksiku dengan menatapnya intens. Kuberikan tatapan seolah dia sangat berharga layaknya berlian dimataku. Kugerakkan juga mulutku dan kepalaku menandakan aku terpukau dengan kecantikan fisiknya. Itu adalah cara lama untuk menggoda wanita seperti dia.

"Kau sangat cantik" pujiku setelah melihat dia tersipu malu.

Aku maju semakin mendekat dan mendekatkan kepalaku. Aku mengantarkan napas hangat diwajahnya. Dia mendesah dan menikmati hembusan napasku lalu menciumku. Ck, dia gampang sekali didapatkan. Kuletakkan sejumlah uang di meja bartender untuk membayar minuman yang kupesan dan juga minuman perempuan ini. Aksi selanjutnya adalah kutarik tangannya untuk pergi meninggalkan bar ini. Dia mengikutiku tanpa bertanya. Belum lagi larut malam tetapi mangsa sudah datang menyerahkan diri. Perempuan mana pula yang akan sanggup menahan dirinya dihadapanku jika di bar? Tidak ada selain yang buta dan tak tahu merk yang kupakai.

Kunyalakan mesin motorku cepat. Aku tak mau dia menunggu lama begitu juga denganku. Aku tak sabaran lagi untuk melepaskan nafsu yang sudah memuncak. Perempuan itu memegang perutku kuat. Sekilas kurasakan rasa sakit akibat lebam dan memar yang masih melekat disana. Namun hal itu pudar dikalahkan oleh birahi yang telah terangsang. Secepat kilat kukendarai motor dan terburu-buru kupesan kamar hotel terdekat. Sampai. Kami sudah sampai di hotel, kamar 105 lebih tepatnya. Kubuka dan kucium dia setelah kututup pintu.

Aku memandunya menuju kasur. Tak lupa pagutan bibir tak kulepaskan sembari kulucuti pakaiannya. Dia juga ikut melepas setiap kancing kemejaku. Kuhentikan kegiatannya yang ingin juga melepas kaos putihku. Aku tidak mau dia melihat perutku yang merah kebitu-biruan meski sebenarnya otot perutku berbentuk kotak-kotak. Perempuan itu tak menyadari hal itu dan melanjutkan aktivitas kami yang tertunda. Kusempatkan untuk memasang pengaman untuk menghindari hal-hal yang tak kuinginkan. Jika kemarin malam aku membuang stress dengan tidur diluar dengan rokok ditemani lagu, malam ini aku memilih melepaskan rasa stressku dengan berhubungan intim dengan wanita yang bahkan belum kutahu namanya. Hal ini sudah sangat biasa bagiku dan jika ini sudah kebiasaan akan sulit untuk tidak dilakukan bukan?

***

Pukul tiga dini hari. Ini sudah hari berbeda dari hari kemarin. Aku terbangun dari tidurku. Mataku masih mengantuk tapi aku harus segera pergi keluar dari hotel ini. Kulihat perempuan yang kutiduri semalaman ini masih pulas. Dia mungkin lelah karena kehabisan tenaga dengan kegiatan kami kemarin. Kukenakan semua pakaianku kembali dan melihat teleponnya untuk memastikan. Tidak ada yang direkam dan kutahu dia ternyata duduk dibangku perkulihan. Tampaknya dia merupakan mahasiswi tingkat awal karena hasil screenshoot dalam galeri teleponnya menampilkan nilai yang diperoleh semester 1. Itu artinya dia adalah mahasiswi semester 2 mungkin. Aku tak heran sama sekali dengan ini. Aku selalu meniduri perempuan yang lebih tua satu sampai lima tahun dariku.

Kubuka dompetku dan meletakkan sejumlah uang berwarna merah dimeja. Setidaknya aku harus memberinya ongkos pulang tapi aku yakin itu lebih dari itu meski harus pulang ke negara tetangga. Aku tak mau terikat dengannya. Aku meninggalkan dia seorang diri di kamar hotel yang terletak di lantai 3 itu. Bagiku perempuan adalah suatu alat untuk mencapai kepuasan semata, tidak lebih dari itu. Sudah kubilang cinta merupakan hal yang memuakkan untuk dibicarakan. Aku tak mau menyatu dengan seseorang. Dengan begitu aku bisa terus melakukan kebiasaanku. Satu-satunya hal yang boleh kutukar dengan kemerdekaannku adalah kematian bukan kehidupan.

To be continued.... 

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang