5 : Gadis Anonim (2)

88 14 1
                                    

Terkunci.

Sial.

Ini adalah trik yang kutahu. Siswi itu mengunci pintu kebawah. Pantasan saja dia tidak menghentikanku. Aku berbalik sambil tersenyum merasa dikadalin. Siswi yang mengaku sebagai ketua UKS ini memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan kemauannya. Kulihat dia di ujung sana sedang tertawa menang. Kakiku jadinya berbalik kembali menuju ketua UKS itu. Kutatap matanya lekat agak lama. Awalnya dia merasa biasa, lama kelamaan dia merasa canggung dan ciut melihat ekspresiku. Aku bisa saja bejat disini. Tidak ada kamera pengawas dan pintu sedang dikunci.

"Kalau kamu tahu aku anak yang broken home, kamu juga harus tahu bahwa aku pria yang bejat" aku berbicara didepannya. Kujatuhkan kotak P3K dari genggamannya dan membuka kaos putih dari tubuhku. Dia hendak berteriak minta tolong dan pastinya tidak ada orang yang akan mendengar. Dia kelihatan agak ketakutan saat ini tapi masih belum meneriakkan kata tolong mengetahui memang tidak akan ada yang bisa menolong. Bisa kupastikan gadis ini cukup berani karena tak melawanku atau mencari apapun untuk memukulku. Dia juga bukan kelihatan pasrah hanya saja gadis ini mungkin menerka bahwa aku tak berniat dengannya.

"Obatilah jika itu kemauanmu" suaru baritonku bergema. Dia heran dan berhenti dari gerakan mundurnya. Aku hanya menakut-nakuti gadis kecil ini agar dia tidak mencoba mendekatiku.

Tampaklah kini otot-otot perutku yang sedang membiru. Kami berpindah tempat mencari tempat yang cocok untukku bersandar. Dia membiarkanku dengan posisi tidur dengan tumpuan kedua tanganku menahan berat badanku. Gadis ini membungkus es batu dalam handuk putih kecil, menaruhnya pada luka dan ya, harus kuakui rasa dingin menenangkan panas dari lebam itu. Dia diam sambil aktif melakukan pengobatan itu. Setelah cukup lama, es batu tersebut sudah mencair dan tidak bisa digunakan lagi. Dia mengelapnya sampai kering.

"Sudah. Biar aku oleskan salep ini dulu" dia melanjutkan dengan memberikan olesan lembut di perutku. Nama obatnya ternyata Thromboflash, salep yang mengadung Heparin Sodium dan bagus untuk memar dan lebam.

Selepas itu dia menyuruhku untuk memakai pakaianku. Jujur aku tak tahu apa sebenarnya maksud gadis ini sampai repot-repot mengikutiku hanya untuk mengobati. Mengetahui maksud seseorang juga tak ada gunanya bagiku. Diam adalah sikapku yang terus kupelihara. Itu lebih bagus daripada ikut pusing memikirkan terkaan yang cocok untuk tujuan gadis ini menolongku.

"Kali ini kau harus ucapkan terimakasih" dia bersuara di depanku selepas aku siap memakai kaos putih.

Ah, satu lagi kata yang sangat jarang aku ucapkan adalah terimakasih. Asal usul kata itu aku tidak tahu, apakah pembentukan katanya dengan cara adopsi, adaptasi atau apapun itu.

Apakah mengucapkan itu penting setiap kali merasa tertolong?

Kali ini aku mengamati wajah gadis ini. Mudah untuk dijelaskan -  cantik. Wajahnya bersih dengan mata hitam mengkilap. Itu aja yang kuamati, tak mau lebih jauh.

Kedua bola mata biruku beradu pandang dengan bola mata hitamnya. Gadis ini menunggu balasan dari mulutku. Lucu melihat bagaimana gadis ini menunjukkan ekspresi menunggunya. Pada akhirnya dia menyerah dan memutus kontak mata. Kejadian di ruang pusat kesehatan sekolah terulang lagi – dia yang memutus kontak mata. Aku menggelengkan kepala tidak mau menurutinya dan berdiri untuk pergi.

"Kunci masih ada samaku" dia ikut berdiri.

"Ayo kita pulang!" ajaknya mengikutiku.

Gadis dengan mata hitam mengkilap diam dibelakangku, menggiringku ke pintu. Dia mempercepat langkahnya dan menipiskan jarak diantara kami. Dia sudah berada di sampingku, berjalan beriringan layaknya pengantin berjalan ke altar. Tas ranselku kugendong sebelah kanan dan tangan kiriku memegang kemeja putih sedangkan gadis itu berada di sisi kiriku dengan ransel yang digendong lengkap dengan tangan kedua tangan memegang satu kotak P3K dihadapkan kedepan.

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang