18 : Sisi Lain dari Kehidupan

70 15 16
                                    

"Aku pamit pulang bu Ester, bu Ruth. Terima kasih telah mengizinkanku menginap" ujarku. Kata terima kasih lolos juga dari mulutku, setelah lama aku kurung dalam langit-langit mulutku. Aku sendiri tak sadar akan hal ini.

"Kami yang harusnya berterima kasih. Terimakasih. Hati-hati dijalan ya!" Bu Ester, wanita paruh baya menepuk pundakku halus.

"Jangan lupa kenakan helm!" kali ini bu Ruth yang mengingatkanku.

"Iya bu. Oiya, beritahu Grace kalau aku sudah pulang" aku mengingat Grace karena dia tidur di rumahnya. Kemarin malam aku mengantarkannya sampai di pekarangan gereja.

"Baiklah"

Jalan raya di pagi hari macet luarbiasa. Aku tidak masalah akan itu sama sekali hari ini. Aku memperhatikan jalanan dengan seksama, suara klakson yang bersahutan menjadi pengingatku pada pemandangan yang ada di atap. Semuanya bisa berbeda jika dipandang dari berbagai sudut, sama halnya dengan sekarang, jarak pandangku hanya pendek ke depan tidak seperti saat berada diatas atap. Aku bisa memandang jauh ke depan. Lampu hijau yang menyala membuat kendaraan berlomba-lomba menuju tujuannya. Aku pun begitu, melanjutkan perjalanan untuk bisa sampai di mansion dengan selamat.

"Pagi yah" sapaku begitu sampai di mansion.

Pri bejat yang selama ini kupanggil dengan ayah harus ikut kuubah. Pria itu saat ini membaca koran di ruang tamu dengan teh hangat di depannya. Dia heran dan menaikkan alisnya sedikit. Aku belum pernah berlaku seperti ini sebelumnya.

"Kamu sudah didaftarkan ke universitas swasta di Amerika Serikat. Bersiaplah untuk pergi" dia tidak membalas sapaan pagiku itu.

"Menunggu kamu lulus, jangan pernah lagi membuat masalah" dia berkata lagi.

"Aku tidak mau kuliah di luar negeri" aku menolak dengan suara yang dingin. Di tidak tahu bersikap baik sama sekali. Aku sudah berusaha melakukan negosiasi yang baik dengan menyapanya terlebih dulu.

"Maksud kamu apa? Mau buat masalah lagi disini, begitu? Kalau kamu disana kamu bisa puas dengan dirimu tanpa repot mendengarkan ocehan dan keluhan dari pihak yang kamu rugikan. Kamu harus kuliah di luar negeri!" Surya Watson meninggikan nada bicaranya.

"Aku tidak mau. Aku tetap akan kuliah tapi disini"

"Disini? Kuliah? Kamu pikir universitas mana yang akan menerimamu? Apa kau mau asal kuliah disini dan memuatku malu dengan nama universitas yang tak beraturan? Itu mau kamu? Kamu memang tak layak sama sekali jadi kebanggaan" lagi-lagi Surya Watson lebih mementingkan nama besar univeristas untuk citra dan nama besarnya.

"Kalau kamu di luar negeri setidaknya sudah lebih terdengar lebih baik. Jadi jangan coba menentangku atau kamu tidak dapat sedikit pun" Surya Watson mengeluarkan ancaman pada anaknya.

"AKU TETAP TIDAK MAU" aku tak kalah bengisnya melawan ancaman itu.

"Dasar anak sialan" tangan kanannya menampar pipiku kencang. Dia marah besar dengan penolakan.

"Ayah harus berubah. Ayah memang punya wasiat dan warisan di dunia ini, tapi tidak di akhir zaman. Ayah pikir karena ayah kaya semua orang harus hormat denganmu, mengikuti kemauanmu? Karena kau pemilik perusahaan besar, kau harus berada di kelas paling atas, begitu? Tidak yah, semuanya bisa saja berubah" itu mungkin ungkapan yang paling panjang yang penah kuutarakan padanya. Aku cerewet dan mencermahinya dengan tatapan keras. Raut wajah Surya berubah dari marah menjadi heran dengan perubahan sikap anaknya. Dia sudah berani melawannya.

Aku pergi meninggalkannya di ruangan itu. Dia hanya terpaku dengan perlawanan yang kuberikan. Setelah aku memutuskan untuk bisa menjadi berkat, di sinilah kurasa tempatnya. Aku akan memulai lembaran baru dengan meminta bantuan Grace dan orang-orang yang telah mengubah hidupku. Anak-anak panti, pengurus, gereja, Grace dan hal-hal baru yang kuketahui seolah menjadi hasrat panggilan untuk keluar dari zona hitamku. Sudah kurencanakan bahwa akan belajar bersama Grace untuk bisa kuliah sama dengannya atau setidaknya aku bisa dekat dengan kampusnya. Jujur saja aku tak tahu seberapa cerdas dia. Aku tak tahu soal peringkatnya di kelas. Maklum saja aku baru mengenalnya beberapa bulan terakhir.

***

Dengan berakhirnya jadwal sekolah, berakhir pula kegiatanku di atap sekolah meskipun aku masih seorang pria perokok. Aku mengintip lemariku, kubuka lalu kututup lagi. Aku ragu dengan niatku, apakah kulanjutkan atau tidak. Ini adalah hari minggu pertama setelah masa putih abu-abu berakhir. Ibadah menjadi jadwal kegiatan yang akan kulakukan. Aku tidak sabar mengingat bagaimana ibadah yang kulakukan minggu lalu. Aku ingin memperoleh ketenangan seperti itu lagi. Seminggu penuh setelah ibadah itu, aku tidak pernah berpikiran sedikit pun untuk pergi ke bar atau menghabiskan waktu dan rokok yang banyak di atap atau tidur di sekolah. Itu adalah hal yang di luar kebiasaanku dulu tapi itu sudah mungkin sekarang. Pengaruhnya sungguh diluar dugaanku. Aku bisa memandang dengan cara yang lebih luas bahwa tidak hanya ada satu pandangan untuk hidup ini. Ada masih banyak lagi sudut pandang.

Akhirnya kumasukkan juga kedalam kardus pakaianku yang masih bagus ke dalam kardus coklat. Aku menyusunnya dengan cukup rapi. Kemeja, kaos sampai sepatu, kususun rapi pada 4 kardus yang ada di kamarku. Aku berniat untuk menyumbang barang-barang bekas yang masih layak pakai. Kulanjutkan pergi ke dalam kamar mandi untuk malakukan ritual mandi. Kubersihkan badanku. Aku menatap bekas luka yang ada di sekujur tubuh. Masih ada beberapa bekas luka terlebih lagi pada punggungku. Setelah itu, aku siap untuk pergi ke gereja. Kardus-kardus itu kuletakkan di belakang mobil.

Seorang wanita keluar dari dalam mansion yang kutinggali. Ck, kebiasaan ayahku tampak semakin merajarela. Wanita dengan rok mini dan juga badan bagai gitar spanyol itu tak bisa manarikku. Aku tak tertarik sama sekali. Aku ingin pergi ke segera, menyingkir dari hadapannya. Tak kuasa dengan kemurahannya. Terlalu muak dengan penawaran semacam itu. Mesin mobil hidup dan pergi menjauh dari lokasi mansion ini.

"Grace!" panggilku setelah tepat di depan pintu rumahnya.

Pintu coklat itu terbuka dan aku cukup terkejut dengan siapa yang ada di depanku. Aku yakin pria yang memakai setelen sopan ini adalah ayah Grace. Dia sepertinya sedang terburu-buru.

"Eh, pagi om. Saya Watson, teman Grace" kusapa dengan sopan.

"Ah, Watson. Grace banyak cerita tentangmu. Silahkan masuk, om harus ke gereja" dia bersikap hangat menyambutku meskipun baru pertama kali masuk.

"Grace, Watson datang" panggilnya pada anak gadisnya yang masih di rumah.

"Terimakasih om" aku masuk sedangkan pria yang kupanggil om itu keluar.

Grace datang sudah dengan gaun gerejanya. Kali ini dia memakai gaun yang berwarna putih bersih. Dia cantik juga jika diperhatikan lebih lama. Senyumannya selalu tampak manis bagiku dan suara merdu bagai burung merpati yang bernyanyi di pagi hari. Tak banyak bicara, kami hanya langsung ke gereja. Di hari minggu ini kami berjalan beriringan, tidak seperti minggu lalu. Kuhembuskan nafas dan siap untuk memasuki tempat ini. Aku selalu takjub dengan isinya. Ayah Grace yang mengambil bagian kali ini. Aku melihatnya berada di depan dan membawakan rangkaian kegiatan ibadah.

Ibadah berakhir. 


Time for Vote and Comment.😂😂

to be continued ...

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang