Ibadah berakhir.
"Kau mau berkunjung ke panti Watson?" Grace bertanya padaku sembari berjalan menuju rumahnya.
"Iya" aku diam, masih ragu dengan niatanku tadi.
"Hmm. Grace, apa aku bisa menyumbang baju bekasku ke panti? Aku punya cukup banyak pakaian sewaktu kecil yang bagus" aku memberanikan diri.
"Benarkah? Tentu boleh. Apalagi bajumu selalu bermerk mahal, mereka pasti senang" Gadis ini memuji niatku. Ketua UKS ini tersenyum melihat tingkah anehku saat mengungkapkannya.
Anak-anak panti menyapa kami ramah. Mereka sudah terbiasa dengan kedatangan kami berdua. Kami membawa masing-masing satu kardus. Aku memberikan kunci mobilku kepada Ari agar membawakan 2 kardus lainnya ke panti asuhan.
"Kali ini apa lagi, Watson?" Bu Ester datang bercanda.
"Aku membawakan beberapa pakaian"
"Wah, terimakasih lagi Watson. Kau sangat banyak membantu meskipun baru kenal dengan kami semua. Kau sangat baik sekali" aku terharu dengan perkataan bu Ester ini. Pakaian ini tidak lain hanyalah barang lama yang kubawa. Tetapi melihat anak-anak tampak senang dengan membuka lem pada kardus itu membuat suasana hatiku ikut merasakan kebahagian mereka.
"Watson memang sudah lama baik, bu" Grace menyenggol badanku bercanda. Dia membuat gelak tawa ditengah-tengah kami.
"Kami ke atas dulu, Bu" aku izin permisi untuk meninggalkan mereka.
Sebatang rokok kusundutkan di bibirku. Rokok memang hal yang candu, belum bisa kuhapuskan dari kebiasaanku. Kalau begini Grace hanya menunggu sebatang rokok habis kuhisap zat-zatnya. Gadis ini tidak pernah mau memaksakan kehendaknya padaku. Dia berdiri diam memakan jajanan. Kulirik dia sebentar.
"Apa kau mau mati lebih cepat? Kenapa dekat-dekat denganku?" Grace hanya kekeh mendengar cerewetanku.
"'Aku sudah bilang pada ayahku kalau aku akan kuliaih disini. Lantas dimana kau akan kuliah?"
"Sudah kubilang aku belum tahu. Aku masih berharap pada hasil SNMPTN"
"Oiya Grace. Di sekolah kau peringkat berapa?"
"Pertama" dia menjawab dengan lemah. Kubelalakkan mataku cepat. Aku tak menyangka hal itu. Gadis ini benar-benar istiComment
Sikapku sebagai teman memang hancur, masa aku tidak banyak mengetahui tentang dia."Bisa mengajariku?" dia hanya mengangguk mengiyakan sambil menutup hidungnya samar-samar.
"Grace" aku mematikan api rokokku dan mendekat kearahnya. Kulihat dia dengan baik. Matanya hitam pekat, rambutnya lurus panjang dan hitam mengkilap, wajahnya putih bersih dan bibirnya tipis merah. Aku menatapnya intens, mengagumi kecantikan, baik itu hati maupun fisiknya.
"Tidak bisakah kau sembuh dari penyakitmu? Kau bisa operasi. Aku bisa minta ayahku untuk membiayainya" keinginanku yang lainnya.
"Itu adalah salah satu doaku, Grace. Doa pertama dan yang kurahasiakan minggu lalu." Grace tertegun melihatnya. Dia melirik mata Watson yang memohon keras agar dia tetap hidup.
Kebiasaan lama mereka kembali. Mereka saling beradu pandang satu sama lain. Watson dengan tatapan takut kehilangan sedangkan Grace dengan tatapan takut mengecewakan.
"Maafkan aku Watson, aku..... sebenarnya.... aku...."
"Aku tahu" jawabku cepat.
"Apa? Apa kau tahu?" Grace merespon dengan terkejut. Dia tidak seperti biasanya bereskpresi seperti ini.
"Iya aku tahu, kalau kau sudah divonis. Aku tahu itu tak bisa dilawan. Aku hanya takut kehilanganmu. Kau temanku yang pertama" Grace menghela nafas lega. Rahasia Grace sejauh ini masih tetap aman. Dia takut kalau Watson akan kecewa jika mengetahui semua kebenaran tentang dirinya. Tapi jika dia tidak memberitahu Watson sekarang, kapan lagi?
"Alasanku untuk mau membantumu adalah karena ibuku juga punya penyakit yang sama denganmu" Grace sudah tahu akan hal itu, jauh sebelum dia mengobati luka di atap sekolah.
"Ibuku selalu bilang kalau aku harus menjaga ayahku. Tapi ayahku justru mencampakkanku. Dia tidak pernah tidur di rumah ketika ibuku meninggal. Dia menitipkanku pada PRT yang dipekerjakannya di mansion. Semakin aku besar semakin aku tahu kalau maksud ibuku menjaga adalah untuk bisa mengubah ayahku tapi.....
".... aku justru jadi seperti dia. Sampai kau datang dan mengenalkanku pada Christian, diriku yang lama." aku bercerita tentang masa laluku.
"Dulu aku pikir ibuku salah memintaku untuk menjaganya. Tapi kini aku tahu berkat kau. Aku harus melakukan hal yang sama ketika kau menjagaku dari godaan-godaan yang selama ini kunikmati"
Grace diam tak tau harus bagaimana dia bereaksi. Dibalik semua kebaikan itu ada sebuah kebohongan, rahasia yang sudah sempat dijalankan. Kebohongan yang mampu membawanya pada perubahan bahkan sikap baiknya sampai sejauh ini. Dia senang dengan pengakuan Watson tersebut.
"Watson, kumohon kau mau memaafkanku karna... kar..."
"Udah ahk. Kamu selalu aja minta maaf. Aku hanya ingin cerita. Itu saja"
"Lagian itu sudah rencana, Tuhan. Kan?" timpalnya lagi.
"Dan apa kau tahu?" aku bertanya dengan gembiranya.
"Tujuan hidupku memang harus jadi berkat. Aku sudah tahu maksudnya itu" aku senyum lebar di hadapannya.
"Apa kau tidak senang?" eskpresi Grace justru khawatir dengan semua cerita dan perkataanku dari tadi.
Ekspresinya hampir sama ketika dia melihat luka di perutku. Semakin kesini Grace semakin menunjukkan beberapa kejanggalan. Dia tidak terlalu bersemangat ketika bertemu denganku seperti ada yang ditahan. Kutepis semua dugaan kotor yang di dalam pikiranku. Grace adalah gadis yang menyebutnya teman, tidak mungkin Grace tidak bahagia mendengar ucapanku tadi.
Time for Vote and Comment
to be continued ...

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Atheism, I am (A) Christian
SpiritualCOMPLETE Read first and then you may comment! Mungkin dunia ini bukan untukku. Dia kelam dan juga gelap, penuh derita dan juga rasa sakit, sesak pun terus terasa. Tidak ada kata bahagia selama ini yang mampu mengubah itu semua. Sama sekali tak perna...