24 : Obat luka dan obat jiwa

70 13 3
                                    


"Ayah, dimana tiket pesawat itu? Aku harus berangkat besok." Kataku sesampainya di mansion.

Kembali lagi wajahnya heran mendengar perkataanku. Terlalu plin plan dan bukan seperti diriku lagi. Takdir sudah disuratkan ketika keinginanku menjauh dari ayahku muncul. Ada orang yang berkata 'yang pertama diucap, itulah yang akan di dengar atau dianggap benar'. Itu terjadi padaku. Keinginanku yang pertama yang kupanjatkan tanpa doa dan ibadah, itulah yang dikabulkan oleh Tuhan.

Kuambil tiket itu. Tempatnya belum berubah, masih diatas meja meski satu hari sudah berlalu. Beberapa pasang pakaian dan perlengkapan kumasukkan kedalam koper. Kususun dengan asal. Aku bisa membeli hal-hal seperti ini disana bahkan jauh lebih mudah untuk didapatkan. Hatiku teramat kesal dengan pertemuan beberapa bulan terakhir. Sesaat Grace mengingatkanku pada ibuku, mengajarkan arti hidup, memberi semangat tapi dia juga membohongiku. Dia membuatku tampak bodoh dan hidup dalam bayangan semangat hidup milik ibuku.

Keesokan harinya.

Dua pengawal ayahku mengantarkanku ke bandara Soekarno-Hatta. Mereka adalah pengawal yang dulu menjemputku. Mereka menggantikan ayahku. Selalu saja begitu, terkadang hanya untuk memukulku saja dia meminta para pengawal menghajarku jika tangannya kesakitan. Memori hidupku yang dulu berputar di otakku. Kulihat ke jalanan. Ada banyak pedagang kaki lima di jalanan. Ingatan mengenai traktiran Grace ketika dia lulus di Universitas Indonesia ikut tayang di ingatanku. Aku diam termenung dengan semua yang tinggal kenangan itu. Grace begitu banyak mempengaruhi kehidupanku.

"Bisakah kalian berhenti di supermarket depan. Aku mau membayar rokok yang kupinjam pada hari itu" keheningan di mobil ini juga mengingatkanku pada kejadian di masa lalu.

Limosin mahal milik ayahku yang kami pakai berhenti di pinggir jalan. Aku keluar dan memasuki supermarket. Aku ingin membeli rokok. Dua pengawal itu tidak membawa rokok dan aku juga mau membayar janjiku. Sebelum meminta rokok, aku mau membeli beberapa camilan. Rak- rak snack terpajang rapi. Mataku berhenti pada satu jajanan yang diberikan Grace padaku pengganti rokok sewaktu di atap.

"Nah, ayo berangkat!" ajakku pada mereka berdua.

"Ini rokoknya" mereka menerima barang yang kubeli tadi di dalam supermarket. Kulemparkan dengan hati-hati kedepan karena aku berada di belakang. Awalnya mereka bersikap biasa tetapi, kemudian mereka saling tatap heran dengan apa yang kuberi.

"Ehhh, ayolah. Kalian harus mengurangi kegiatan merokok bahkan kalau bisa berhenti saja. Itu bisa jadi penggantinya. Harganya lebih murah" aku menasehati mereka seperti seorang pendeta yang bertatap muka pada seorang jemaatnya. Kami bertiga diam hingga sampai di bandara. Mereka memakan juga pengganti rokok yang sebenarnya disarankan oleh Grace. Nama jajanan itu ada Yupi. Ada banyak variannya ternyata. Aku memilih yang kenyal berukuran panjang, sama persis seperti yang dibawakan Grace padaku.

Pukul 11.00 WIB, kami sudah berada di Bandara. Penerbanganku tercatat di layar pemberitahuan 45 menit lagi. Aku harus menunggunya. Satu pengawal menawarkanku kopi yang dibelinya. Miris memang, pengawal yang ada di mansion kami sudah lama bekerja. Tapi tak satu pun yang kutahu namanya. Ralat. Lebih tepatnya aku tak mengingat namanya.

"Kalian sudah boleh pulang!" mereka menggeleng. Itu artinya perintah dari atasan mengharuskan menungguku benar-benar pergi.

"Ya sudah jika tidak mau" aku cuek dan mulai menyeruput kopi hitam panas yang diberikan padaku.

***

Gadis itu menangis setelah bercerita segalanya pada ayahnya. Dia tak tahu lagi harus cerita pada siapa. Niat terbesarnya setelah melihat Watson menyia-nyiakan waktunya adalah membuatnya berubah. Tidak ada yang lain selain itu. Cara untuk mencapai sesuatu yang baik harus dilakukan dengan baik. Jika tidak, bisa saja hal baik itu diperburuk oleh cara kita memperolehnya. Grace pun tahu akan hal itu. Dia sudah mau jujur. Berulang kali di mencoba untuk mengatakannya pada Watson tentang semuanya tapi tidak pernah bisa.

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang