15 : A Piece of You

71 14 6
                                    

Hari demi hari berlalu, ujian akhirnya selesai juga. Ini adalah hari terakhirnya. Aku memang tidak terlalu banyak belajar tetapi aku cukup sering membaca. Grace beberapa kali mengajakku ke atap sekolah untuk belajar bersama untuk ujian. Rutinitasku tak bisa hilang begitu saja, aku masih sering merokok di atap sembari menunggu kedatangannya di atap. Dia juga masih sering membaca bukunya hingga sore dan aku dengan musikku. Satu per satu informasi mengenai Grace sudah kuketahui dan satu per satu sifat Watson lamaku pun tumbang. Aku menjadi ingin tahu mengenai lingkungan sekolahku.

Kelas Grace adalah satu kelas yang sudah kuketahui letaknya. Kelasnya berada di lantai 5, sama dengan letak pusat kesehatan sekolah.

"Hai Watson. Bagaimana ujiannya?"

"Begitulah"

"Apa kau akan ke gereja mingu ini?" tanyaku pada Grace.

"Iya. Kenapa? Lagian aku setiap hari ke gereja"

"Aku ingin berdoa" Grace tertegun mendengarnya. Dia merasa hangat mendengar perkataan dari temannya itu.

"Kau bisa berdoa setiap hari dimanapun kapanpun Watson. Tuhan itu adalah sahabat kita" jelasnya lembut. Aku mengingat kedamaian yang kurasakan saat aku berdoa di gereja minggu lalu.

"Kalau begitu apa kau mau ke sekarang saja?" tanyaku tergesa.

"Kemana? Ke gereja?" tanyanya heran.

"Sudah kubilang kau bisa berdo..." mulut Grace disumpal olehku. Aku tahu apa yang akan dibilangnya. Tapi aku ingin sekali pergi ke gereja hari ini. Aku khawatir doa yang kupanjatkan minggu lalu tidak dikabulkan olehNya.

Aku dengan cepat menyalakan mesin motorku menuju ke gereja. Di gereja aku berdoa di bangku paling depan. Grace sama sekali tidak kupedulikan. Dia masih belum kelihatan. Kututup mataku rapat dan kegelepan melanda penglihatanku. Kedua tanganku kusatukan dan melipat, kepalaku kutundukkan sedikt. Kufokuskan diriku dan mulai berkomat-kamit. Bibirku dengan lancar bercerita dan menyampaikan kegelisahanku.

Grace melihat punggung pria yang berdoa dari depan pintu. Dia berdiri disitu sambil menatap teman pria yang membelakanginya. Gadis itu senang melihat progres dari pria yang memang sudah ditargetkannya itu. Grace juga menatap salib itu damai seolah berkata 'terimakasih'. Kedua bola mata biruku sudah terbuka dan hatiku sudah merasa tenang. Aku yakin Tuhan akan menjawab doa-doaku.

"Sudah selesai?"

"Udah"

"Kali ini apa yang kau doakan? Rahasia lagi?" ketua UKS ini bercanda.

"Tidak. Aku hanya ingin kuliah disini. Aku minta Tuhan mengubah pikiran ayahku"

"Oh. Hanya itu?"

Sebenarnya ada lagi. Ini ibarat jika kita sudah mengenal seseorang yang nyaman bagi kita, kita akan menceritakan banyak hal dan berbagi banyak hal serta meminta banyak hal pula. Aku pun begitu, akan kuminta apapun yang kumau pada Tuhan karena dia sahabatku kan?

"Grace, bagaimana Tuhan menjawab doa kita?" tanyaku penasaran.

"Hmm. Kau akan tahu sendiri. Semua akan dijawab meskipun jawabannya adalah tidak" aku mengerti maksudnya.

"Mau ke Panti, Watson?" tawar Grace. Aku mengangguk perlahan.

Kami pergi berjalan seperti biasa, menyusuri gang sebelum sampai di panti asuhan Kasih Bapa. Sesudah sampai, ada banyak sekali kata terimakasih yang datang padaku dari anak-anak panti.

"Kak Watson, Makasih buat kemarin" Barbie datang menujuku.

"Makasih kak, Watson" sekumpulan anak di ruang tengah dengan buku berucap serentak. Aku hanya tersenyum membalas mereka. Mereka kelihatan sangat senang dengan kegiatan di hari minggu lalu.

Kami melanjutkan langkah menuju atap panti asuhan. Atap ini seolah menjadi pengganti atap sekolah dan gereja pengganti bar yang selama ini kukunjungi. Ku keluarkan batang rokok dari sakuku. Di atap ini adalah tempat yang aman untuk merokok karena tersembunyi dari anak-anak panti asuhan. Belum ada yang tahu bahwa aku adalah perokok yang handal di panti asuhan, kecuali 2 pengurus panti asuhan dan Grace tentunya.

"Satu batang saja ya Grace. Menjauhlah jika tidak mau mati" tawaku sedikit berniat bercanda dengannya.

"Baiklah. Dasar!" dia mengerucutkan bibirnya kesal.

Jauh di dalam hatiku, aku teriris mengatakan hal yang demikian karena sebentar lagi dia tidak akan terlihat. Dia adalah gadis penyelamatku. Aku bangga padanya, dia tidak pernah mengeluh kesakitan pada saat-saat kritisnya. Gelora semangatnya selalu membuatku malu dengan hidupku yang tampak sia-sia jika dbandingkan dengan hidupnya.

"Grace, Mengapa kau sering ke panti ini?"

"Panti ini diwadahi oleh gereja. Aku suka anak kecil. Daripada menghabiskan waktu dengan kegiatan tidak jelas, jauh leih baik membantu para pengurus panti. Aku harus cepat pulang dari sekolah untuk membantu menyiapkan makanan malam dan mengajar anak-anak dengan tugas sekolahnya. Seperti yang kubilang, hidup itu harus jadi berkat. Jika kita tidak berdampak di lingkungan maka kita akan tercampak"

Aku menunduk malu mendengar perkataannya. Perbuatannya yang kecil tapi bisa berpengaruh besar. Mungkin dialah definisi dari berdampak dan akulah yang tercampak. Pemikiran seperti itu harus kubuang jauh-jauh. Aku harus seperti Grace. Penyesalan harus membuahkan pertobatan, itulah pelajaran yang ingin diajarkan Grace.

"Bagaimana dengan tumormu?"

"Tenanglah, kau tak akan lama berteman denganku. Aku tahu kau sudah bosan. Mungkin kedepan kau akan membenciku Watson, aku minta maaf" dia tersenyum getir. Aku merasa kasihan dengannya. Dia semakin mirip dengan ibuku kalau begini dan ku ingin terus dengannya, melihat tawanya dan semangat hidupnya. Tapi apa maksudnya dengan meminta maaf denganku? Apa dia pikir aku benar-benar bosan dengannya atau ada maksud lainnya?

"Oiya Watson, mengapa kau tak ingin dipanggil Christian?" Grace mengalihkan perhatianku. Aku diam sebentar mendengarnya, tak tahu alasan tepatnya.

"Nama itu tidak cocok untukku, terlalu menonjol. Beban yang diberikan juga terlalu banyak, makanya aku hanya memakai nama belakangku. Hehehehe" aku mencoba tertawa dengan jawaban yang kuberikan. Semuanya benar, tapi apalah arti nama.

"Nanti. Entah kapan pun itu. Cobalah memperkenalkan nama depanmu!" Grace menyarankan dengan lembut. Suaranya selalu merdu terdengar oleh telingaku. Aku diam tak menanggapi.

"Grace, apa kau tahu mengapa aku membantumu" kucoba untuk mencari topik baru. Aku penasaran mengapa membuka diri untuk berteman dengannya. Aku menyadari kalau sekarang aku sudah tidak seperti dulu dan aku ingin menceritakan padanya mengenai ibuku yang sakit seperti dia.

"Aku tahu. Karena ibumu kan?" Grace keceplosan dan langsung menutup mulutnya.

"Ma...ma.. maksudku mungkin karena ibumu. Apa aku benar? Apa tebakanku benar? Aku memang jago dalam menebak." Dia tersenyum pura-pura. Jantung gadis itu sudah mau copot dari tempatnya. Takut kalau ketahuan berbohong.

Ada yang aneh dengan sikap Grace. Aku tidak pernah cerita mengenai kehidupan keluargaku. Apa dia juga tahu mengenai ibuku yang mati karena sakit? Dia selalu tahu banyak hal mengenaiku. Kembali pertanyaan siapa Grace menghantuiku sebentar. Tapi tak lama dia kembali bersikap normal.

To be continued....

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang