20 : Congrats, Grace!

81 11 6
                                    

Hari pengumuman SNMPTN.

Beberapa Minggu berlalu sejak hari itu, aku masih belum mengetahui alasan Grace sedikit berubah. Mingu-minggu yang berlalu kami isi dengan belajar bersama. Aku memintanya untuk mengajariku Matematika. Dia adalah gadis yang sangat cerdas dan hari ini aku yakin dia lulus hasil seleksi SNMPTN tidak sepertiku, penyaringan saja aku sudah kalah karena kebebalan selama ini. Kukirim pesan teks padanya agar datang ke atap sekolah. Aku sudah punya kontaknya, Bu Ester yang memberikannya.

Lagu-lagu berbahasa Inggris terputar di dalam Iphone. Aku meletakan telepon seluler sambil merokok, memandangi pemandangan yang sudah cukup lama tak kulihat. Aku sudah berbeda sekarang. Angin sore menerpa kulitku, menembus baju kaos Chanelku. Langit di sore hari memang sungguh mengagumkan, banyak warna yang bercampur di atas sana.

"Grace?" aku berbalik menoleh orang yang baru datang.

"Kau tidak tuli lagi sekarang, Watson" aku kekeh kecil mendengarnya.

"Bagaimana hasilnya? Apa kau diterima?" dia mengangguk dengan bibir yang melengkung. Aku sudah menduganya.

"Jurusan Apa?" aku semakin penasaran melihat raut wajah yang berseri.

"Kedokteran UI. Aku senang sekali, Watson" dia melompat-lompat kecil sekarang. Kegirangannya mengembalikannya pada sifat Grace yang lama.

"Selamat. Apa kau mau merayakannya? Kita bisa merayakannya dengan anak panti? Pesta Barbeque atau gimana?" saranku ikut antusias mendengar kabar gembiranya. Dia diam berpikir sejenak.

"Semua aku yang tanggung" aku khawatir bahwa dia tidak memiliki uang.

"Tidak perlu. Aku hanya mau kau memfokuskan diri untuk ujian masuk PTN. Siapa tahu kita bisa satu kampus." Dia bertingkah layaknya motivator.

"Baiklah" aku menyerah dan sedikit kecewa. Itu adalah kabar yang membahagiakan, sayang saja jika tidak dirayakan. Sehabis itu kami diam, hanya lagu menemani. Kami sama-sama menatap matahari yang membenamkan dirinya.

"Harus kuakui pemandangan disini lebih indah daripada di panti asuhan" kata Grace.

"Watson?" dia menolehku.

"Apa kau akan tetap memakai nama, Watson? Tidak bisakah kau dipanggil Christian saja. Itu terdengar lebih cocok sekarang. Christian kan nama depanmu sedangkan Watson itu seperti nama keluarga." aku menggeleng ragu.

"Entahlah Grace. Aku tidak yakin. Masih berat untuk memakai nama itu" balasku. Kali ini dia yang menggerakkan kepalanya.

"Kalau kau sudah siap, berjanjilah untuk mengenalkan dirimu sebagai Christian."

"Baiklah. Kau bertambah cerewet setelah lulus kedokteran UI." Aku menggodanya. Grace tertawa renyah dan memukul dadaku pelan.

"Grace, kalau begitu aku mau kau mentraktir aku atas kelulusanmu!" aku menagih kelulusannya.

Telusuk angin dingin bisa kurasakan apalagi aku tidak memakai jaket. Asap hasil residu kendaraan pun bisa tercium aromanya. Aroma bahan bakar bercampur dengan aroma makanan yang ada berjajar di sepanjang jalanan. Bau sate, nasi goreng dan makanan lainnya berebut melayang di udara berusaha memenangkan hati pelanggan. Aku dan Grace sendiri memilih makan sate bakar. Ini adalah traktiran dari Grace. Dia sama sekali tidak bertanya padaku apa aku merasa nyaman atau tidak. Tapi tak apalah. Sudah ada 15 tusuk di depanku dan juga teh manis panas. Ini merupakan menu yang tak cocok menurutku.

"Kamu harus menghabiskannya" cerewetnya sambil menunjukku. Tusukan sate yang pertama kuambil dan kutunjukkan padanya.

"Ini bahkan kurang untukku" aku mengomelinya. Kumakan potongan daging yang ditusuk itu lahap. Rasanya nikmat tapi terlalu pedas. Aku menjulurkan lidahku seperti anjing. Lidahku kurang nyaman dengan rasanya yang teramat pedas. Segera kuminum teh manis yang tersaji di depanku.

"Ahhhhh" rasa manisnya membantuku. Aku sadar ternyata ini adalah menu yang cocok. Sementara Grace cekikikan melihat aku mengipas-ipas lidahku.

"Apa kau sengaja melakukannya?" tawanya bertambah kencang.

"Aish" aku cemberut melihatnya senang.

"Hahahhaha, maaf maaf" dia akhirnya berhenti tertawa sejenak.

Dengan penuh perjuangan aku menghabiskan tusukan daging pedas itu. Tak lupa juga total 4 gelas teh manis menemani santapanku itu. Grace tak habis-habisnya tetawa terpingkal-pingkal melihat keringat yang ada di keningku yang terus bercucuran.

Pukul 21.45 WIB, aku dan Grace pulang ke rumah masing-masing. Kuantarkan dia sampai ke rumah dan berpamitan dengan kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya itu tak jauh berbeda dengan Grace. Mereka memiliki sikap yang positif terhadap seseorang. Buktinya mereka tidak berpikiran aneh-aneh terhadap aku. Kurasa Grace sudah menceritakan tentangku. Waktu, kini mengajari aku kalau memiliki teman, kita juga memiliki tempat bercerita. Kata Grace berbagi harapan. Itu adalah memori yang membuatku semakin mengingat ibuku.

***

Kaki tegapku melangkah masuk kedalam mansion. Motor merahku telah terparkir cantik di dalam garasi. Kunci motor dimainkan oleh jemari telunjukku, menggoyangnya berputar sambil bersiul. Kutemukan ayahku, Surya Watson di ruang tengah. Tidak ada wanita yang menyertainya. Dia duduk santai sambil bermain telepon selulernya.

"Ini tiket pesawatmu. Kamu sudah diterima oleh salah satu univeristas di AS. Keberangkatannya 3 hari lagi. Bersiaplah! "

"Sudah kubilang aku akan kuliah disini" aku mengingatkannya pada pada pernyataanku terakhir kali.

"Jangan mencoba melawanku. Semua fasilitasmu akan kucabut nanti" dia memberi peringatan.

"Kenapa kau selalu yang memilihkan sekolah untukku?" dia tidak bergeming. Ekspresinya tak berubah walau aku sudah memelas wajah sedih di hadapannya. Aku berpikir mengenai Grace. Dia sudah pasti akan kuliah di Indonesia. Aku sudah teramat nyaman dengannya. Dia adalah sahabatku yang selalu mau menemaniku. Aku tak mau jika harus berpisah dengannya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku belum pernah memohon padanya. Mataku berpandangan lagi dengan ayahku, tatapannya dingin menantang. Tak habis pikir, aku berlutut di depannya, menundukkan kepalaku rendah dan diam sejenak. Aku ingin tetap disini, memperbaiki diriku. Aku harus memohon padanya.

"Aku berjanji tak akan mengganggu ayah. Kumohon! Setidaknya kali ini aku yang memutuskan " kedua tangannya kupegang lembut. Surya terdiam melihat anaknya. Anaknya ini tidak seperti dirinya lagi.

Dilain sisi, perempuan yang dulu berjabatan sebagai ketua UKS sedang menutup matanya. Dia sedang berada di dalam gereja yang ada disamping rumahnya. Jari-jari tangannya disatukan dan siap berdoa. Gadis itu hendak bercerita tentang pergumulan hatinya. Dia hendak bercerita pada sang Pencipta mengenai kesalahan fatal yang dilakukannya selama ini. Air matanya menetes sementara bibirnya komat-kamit. Gadis itu tampak sedang curhat dengan sahabat karibnya. Dia ingin meminta pendapat Sang Ilahi untuk menelusuri sejauh mana dia bisa membendung kebohongan itu.  

Time for Vote and Comment.

To be continued...

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang