22 : Panggilan Bermisi

60 10 3
                                    

KRING. KRING.

Perempuan juara umum jurusan IPA pergi ke kamar mandi sebelum menuju ruang PUKS, ingin membuang residu yang terbenam di tubuhnya. Dia mencuci wajahnya dengan air keran yang ada di westafel. Anak-anak rambutnya tampak sedikit cemburu dan ingin dirapikan juga. Dibuka ikat rambut berwarna merah itu lalu di gigit di bibirnya sedikit. Kedua tangannya dijadikan sisir untuk mengumpulkan helain rambut ke belakang. Sudah cukup rapi. Tangan kirinya menahan rambut yang terkumpul di belakang dan tangan kanannya mengambil ikat rambut yang digigitnya tadi. Dia berkaca dan melihat jika masih ada yang kurang rapi. Cukup. Penampilannya sudah lumayan membaik. Rambutnya tidak lagi acak-acakan karena jambakannya tadi sewaktu pelajaran Matematika dan penghitungan rumit Fisika.

Perempuan yang akrab di sapa dengan Grace itu membuka tasnya dan mengambil kunci dari dalamnya. Dia harus bergegas ke PUKS dan menguncinya agar bisa membantu anak-anak panti asuhan Kasih Bapa mengecat ulang gedung panti. Rambutnya yang diikat menari-nari kekiri dan ke kanan karena gaya jalannya yang riang. Dia melihat ada seseorang di dalam PUKS. Ditiliknya sekilas. Pria dengan penampakan yang kacau sedang linglung mencari sesuatu. Mata biru milik pria itu kesana-kemari. Gadis itu masuk dan bertanya tapi nampaknya pria di dalam itu tak mau menjawab. Ketua UKS itu akhirnya mengambil obat-obatan dan mengobati luka pria itu. Pria yang pendiam dan dingin dengan pakaian mahal. Raut wajah khawatir tak bisa disembunyikan Grace. Hampir 3 tahun dia berada di sekolah ini dan ikut organisasi kesehatan disini, tidak ada yang pernah separah ini. Tidak ada yang mengobati pula. Pria itu pergi sesudah gadis UKS mengobatinya dengan baik. Tak ada ucapan terimakasih sama sekali. Bertanya pun dia tidak ada. Pria itu seperinya tidak manusia.

Keesokan harinya, gadis itu pergi ke ruang kepala sekolah. Dia adalah langgangan dari lomba-lomba sekolah. Kali ini dia akan diberikan suntikan dana atas kemenangannya dari lomba biologi yang diikuti sebulan lalu. Pertemuan itu singkat karena dia harus kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran. Dalam perjalanannya kembali ke kelas, dia berpapasan dengan pria yang telah diobatinya. Grace tersenyum ramah tapi siswa itu tak membalas bahkan menoleh pun tidak. Benar. Siswa yang satu itu bukanlah manusia atau pria itu tidak mengingat aku, pikir Grace. Dia sudah jauh dari ruang kepala sekolah. Grace melanjutkan langkahnya tapi ada sesuatu yang tertinggal di ruang kepala sekolah. Tadi sewaktu pergi, dia membawa buku catatan Biologi dan tertinggal di ruang kepala sekolah. Terpaksa, gadis itu harus kembali ke sana.

"Seperti yang saya katakan tadi. Watson sudah sering sekali menginap di sekolah, datang terlambat, berkelahi dan nilainya pun buruk, Pak Surya. Bukankah begitu Watson?" pak Jimmy mengulangi perkataan yang sudah dia bicarakan dari tadi. Wajah dan mulut siswa yang ditanya, tak mau bergeming menanggapi percakapan tersebut. Jadi nama pria itu adalah Watson.

"Iya, Pak, saya mengerti apa yang sudah Anda sampaikan tadi. Tinggal beberapa minggu lagi dia akan lulus dari sekolah ini. Saya akan menanggung segala kerugian sekolah. Saya mohon sekali kepada bapak sekalian" pria berjas bagus mengemis. Itu pasti ayahnya.

Dan kata pak Jimmy dia sering berkelahi, datang terlambat dan bahkan menginap di sekolah. Ayahnya pun tahu akan hal itu. Itu sepertinya cara hidup seseorang akibat broken home. Kuperhatikan pria dingin itu hanya diam dan menatap ayahnya benci. Aku kasihan dengannya.

Sejak saat itu aku penasaran dengan pria yang satu itu. Aku mencari informasinya dari Pak Jimmy dan kutahu kebiasaannya yang sering pergi ke atap sekolah. Aku semakin mengasihaninya setelah penuturan dari pak Jimmy. Tentu semuanya itu aku peroleh dengan tidak mudah. Aku harus pandai-pandai membujuknnya.

Sore ini aku pergi ke atap sekolah dengan membawa kotak P3K. Dia pasti belum sembuh. Lagi-lagi keadaannya yang membisu dan tak mau bersosial membuatku semakin ingin menjadi temannya. Itu adalah pertemuan kedua kami dan sesudahnya aku tak pernah melihatnya di atap. Kutanya teman sekelasnya kalau ternyata dia sakit. Kuminta alamat rumahnya dan berkunjung dengan membawa buah-buah segar. Sebelum aku bertemu dengannya terlebih dulu aku menggali informasi mengenai Watson dari PRT paruh baya yang bekerja di mansion tempat dia tinggal. Mansion yang begitu luas dan megah. Lantainya marmer dan ada barang-barang berharga yang terpajang di dinding. Tak salah lagi, keluarga ini kaya raya. Ada juga foto dengan ukuran jumbo yang terletak di tengah-tengah. Seorang anak kecil yang berada di tengah dirangkul oleh kedua orang tuanya. Dapat kukonfirmasi kalau ayah di foto itu adalah pria yang memakai jas mahal sewaktu di sekolah. Itu artinya itu adalah foto keluarga.

Setelah mendapatkan informasi dan kontak PRT itu, aku izin untuk bisa menjenguk Watson. Kurang lengkap. Nama lengkapnya adalah Christian Watson. Aku tahu itu dari PRT yang baru kutanya. Pandanganku tepat pada pria yang berbaring tengkurap di kasur dengan ukurang king. Badannya lemas seolah tak bertenaga. Hari itulah aku bertekad untuk bisa mengubahkan hidupnya.

Dear Atheism, I am (A) ChristianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang