LWMT ~3

186 56 3
                                    

BAB 3

Suasana malam menemani kesendirian Kiran. Setelah Zidan berpamitan pulang, Kiran memilih berdiam diri sebentar sebelum pulang ke rumah.

Kiran duduk di balkon apartemen, memandang lurus ke langit penuh bintang. Pikirannya berkelana mengingat bagaimana pedihnya hidup sendiri, bagaimana sepinya hidup tanpa seorang teman.

"Kiran bosen sendiri terus, Pa. Boleh nggak, sih, Kiran punya temen yang bener-bener tulus? Yang nggak pernah mandang status papa sama mama," gumam Kiran sambil menatap ke atas langit.

Kiran terus melamun, membayangkan bagaimana hidupnya jika mempunyai teman, bagaimana hidupnya jika diperhatikan orang tua, dan bagaimana hidupnya jika penuh kehangatan. Kiran ingin seperti orang-orang, hidup berdampingan dan penuh kasih sayang.

Lamunan Kiran terhenti saat ponsel di sampingnya berdering. Ia melihat ada panggilan masuk dari ponselnya itu. Keningnya mengerut saat melihat nama yang tertera di layar.

"Bi Ijah? Tumben nelepon?" gumamnya.

Kiran mengangkat telepon dari Bi Ijah, asisten rumah tangga yang sudah bekerja di kediaman Lesham selama kurang lebih dua puluh satu tahun. Sejak kecil, Kiran selalu bersama Bi Ijah, seolah Bi Ijah adalah ibu keduanya.

"Halo, Bi, ada apa? Tumben telepon Ki?" tanya Kiran saat telepon sudah tersambung.

"Non Kiran nggak pulang? Bibi udah siapin makan malam buat Non."

Kiran tersenyum mendengar penuturan Bi Ijah. Selalu saja hatinya tersentuh saat mendengar perhatian dari wanita paruh baya itu.

"Bentar lagi Ki pulang, Bi. Nanti kita makan bareng, ya?" ajak Kiran dengan senang hati.

"Bibi tunggu ya, Non."

"Iya, Bi."

Kiran memutus sambungan teleponnya. Ia senang karena bi Ijah selalu memperhatikannya, tetapi ia selalu sedih jika berharap mamanya yang berada di posisi bi Ijah. "Ki sedih kalau diperhatiin bi Ijah," lirih Kiran.

"Ki pengen mama yang kayak bibi," lanjutnya.

Kiran menghela napasnya panjang, menahan segala keinginan dan harapannya. "Ki akan selalu berdoa supaya mama bisa kayak bi Ijah."

"Ki berharap banget, Ya Tuhan."

***

"Apa kita kasih tau semuanya sekarang? Aku udah nggak bisa sembunyiin semuanya lagi, Mas. Aku pengen mereka tau."

"Nggak, Honey, ini bukan waktu yang tepat buat kasih tau semuanya."

"Tapi mau sampe kapan, Mas? Ki udah besar, mereka udah besar. Mau sampe kapan lagi, Mas, kita sembunyiin semuanya dari anak-anak kita?!" tanya Citra kesal.

"Nanti saat anak-anak kita sudah siap menerima semuanya," jawab Malvin lembut yang diakhiri kecupan lembut di kening istrinya itu.

"Kamu sabar dulu, ya. Aku janji akan cari waktu yang tepat buat mempertemakan mereka. Kamu tenang, oke."

"Janji?" tanya Citra memastikan. "Aku pengen cepet-cepet kumpul sama anak-anak kita."

Malvin mengangguk dengan senyum yang tidak pernah hilang. "Aku janji, Honey."

Citra tersenyum mendengarnya. Ia sangat berharap Malvin akan menepati janjinya itu. Tanpa menyiakan kesempatan, Malvin menarik tubuh sang istri ke dalam pelukannya, memeluknya erat untuk memberi kehangatan dan bukti ketulusan.

Di sisi lain, alis Kiran saling bertautan. Dengan keras ia mencerna dan memikirkan ucapan Malvin pada Citra. Anak-anak kita? Apa maksudnya. Batinnya.

Dari Kiran Untuk Revan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang