LWMT ~24

111 17 1
                                    

BAB 24

Malam ini, Revan masih setia menunggu kabar dari sang kekasih. Sejak pulang dari bandara sampai malam tiba, Revan tidak pernah keluar kamar dan jauh dari ponsel. Bahkan, makan pun harus disuapi Dina.

Sampai kemudian, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk. Ia dengan cepat membuka pesan itu yang ternyata dari nomor baru.

+49 379363** : 'Van, ini aku. Aku mau ngabarin kalau aku udah sampe di Jerman. Maaf baru sempet ngabarin. Kalau ke depannya aku jarang ngabarin, kamu nggak usah sedih. Kamu harus tetep jadi Revan yang rese. Good Night, Van'

Senyum Revan terbit di wajah tampannya. Ia yang semula berbaring, kini duduk bersila menatap ke arah jendela. Dengan cepat ia membalas pesan Kiran. Jarinya menari di atas ponsel.

Beberapa menit kemudian, lelaki itu tidak mendapat balasan lagi dari Kiran. Ia kemudian mencoba menghubungi Kiran, tetapi nomornya sudah tidak aktif. Revan melempar ponsel miliknya itu sembarang, lalu kembali merebahkan tubuhnya.

Mata terpejam bersamaan dan dengan bersamaan kenangan bersama Kiran berputar di kepalanya. Ia kemudian kembali duduk bersila, mengusap wajahnya gusar seraya bergumam, "Belum juga sehari, Van! Sialan!"

Revan berusaha untuk tidur. Saat matanya sudah mulai terpejam tiba-tiba saja ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Ia dengan cepat berlari mengambil ponselnya yang ada di dekat jendela, lalu mengangkat telepon itu tanpa melihat siapa nama yang tertera di sana.

"Halo, Ki. Kamu tega banget, sih, sama aku? Kenapa cuman ngirim pesan? Kenapa nggak telepon aku? Terus kenapa nomornya langsung dimatiin? Kamu tau nggak, sih, kalau aku kangen banget sama kamu? Aku masih mau ngomong sama kamu, Sayangg," cerocos Revan tanpa henti.

"Ini gue, bego! Nyebut woy nyebut. Kuping gue panas denger lo nyerocos terus! Kebayang kalau Kiran yang denger, udah dimatiin lo sama dia," ucap seseorang dari balik telepon.

Revan mengenal suara itu. Suara lelaki yang sudah bersahabat dengannya sejak lama. Galuh. Ia kemudian menjauhkan ponselnya untuk melihat nama yang tertera di sana, dan benar saja, itu nomor Galuh.

"Sorry, Luh. Gue kira Kiran," kata Revan.

"Lo udah dapet chat dari dia?"

"Udah, tapi pas gue bales langsung nggak dibales. Pas gue coba telepon, nomornya nggak aktif."

"Sama, tadi gue sama Zahra juga gitu. Aneh banget tuh, anak."

"Positif thingking gue mah. Mungkin langsung istirahat, makanya matiin HP."

"Oke. Ya udah, gue matiin, ya. Mau bobo ganteng guenya. Bye, sadboy."

"Sialan, lo, Luh! Gue nggak ...."

Ucapan Revan terhenti saat panggilannya sudah terputus. Galuh memutus sambungannya sebelum Revan mencacinya.

"Si kampret, emang minta dihajar!" gumam Revan seraya kembali membaringkan tubuhnya, berusaha terlelap dan menghilangkan penat.

***

Enam bulan berlalu setelah Kiran berangkat ke Jerman dan baru sekali gadis itu menghubungi keluarganya di Indonesia. Semua mencemaskan keadaan gadis itu, dari mulai keluarganya hingga sahabatnya.

Revan yang kini tengah duduk di atap kampus, tempat biasa ia bertemu kekasihnya itu, hanya bisa melamun dan memendam rindu. Sudah sering ia mencoba menghubungi telepon Kiran, tetapi tidak ada satu pun panggilan yang tersambung.

Lelaki itu mengeluarkan ponselnya, menatap layar dengan gambar dirinya bersama Kiran. Ia benar-benar merindukan gadisnya itu.

"Ran, aku kangen kamu. Kenapa kamu belum hubungi aku lagi, sih? Kamu udah lupa sama aku? Aku masih nunggu kamu di sini, Ran! Aku mohon kabarin aku secepatnya," gumam Revan.

Dari Kiran Untuk Revan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang