LWMT ~4

144 49 5
                                    

BAB 4

Hari sudah berganti malam, kini Kiran sudah berada di apartemen, duduk sendiri di balkon sambil menatap langit gelap penuh bintang. Sejak selesai kelas, Kiran tidak bisa menghubungi Zidan, entah apa yang membuat lelaki itu susah dihubungi yang pasti itu membuat Kiran kesal.

Kiran tidak lagi menghubungi Zidan. Jika Zidan memang tulus padanya, maka lelaki itu akan mencarinya. Namun, jika Zidan tidak menghubunginya, maka Kiran tidak akan percaya lagi pada lelaki itu.

Dua puluh menit berlalu, waktu sudah menunjukkan pukul 20.10 WIB tetapi Zidan belum juga meneleponnya. Kiran mengembuskan napas kasar sebelum akhirnya memilih untuk masuk, menaruh ponsel di atas nakas dan merebahkan tubuhnya di kasur.

"Zidan ke mana, sih?" tanyanya pada diri sendiri.

Kiran melentangkan tubuhnya, menatap langit kamar dan terus membayangkan wajah Zidan juga senyum manis lelaki itu. Sampai ia dikejutkan oleh suara ponselnya.

Dengan cepat Kiran mengambil ponsel dan melihat siapa yang meneleponnya. Hatinya senang saat tertera nama Zidan di layar ponsel. Ia mengangkat telepon itu sampai terdengar suara Zidan dari balik telepon.

"Sorry, Ki, tadi nggak sempet ngabarin lo. Gue ada tugas kelompok dulu soalnya," ucap Zidan.

"Iya," jawab Kiran singkat.

Kiran senang meski Zidan terlambat meneleponnya. Setidaknya lelaki itu bisa dipercaya olehnya.

"Lo udah di rumah?"

"Gue di apartemen, belum sampe rumah."

"Ngapain? Lo pasti belum makan, kan? Gue ke sana sekarang bawa makanan, oke? Lo tunggu gue."

"Nggak us ...."

Sebelum Kiran menyelesaikan perkataannya, Zidan dengan terlanjur mematikan sambungannya secara sepihak. Kiran berdecak kesal saat melihat sambungannya sudah terputus.

"Nyebelin banget, sih!" gerutunya.

Meski mulutnya memaki Zidan, tetapi hati Kiran sangat senang dan bahagia. Ia semakin yakin jika Zidan adalah lelaki baik yang Tuhan kirim untuknya.

Dua puluh lima menit berlalu, Kiran sudah menunggu Zidan di ruang televisi. Ia mulai bosan menunggu Zidan, sampai akhirnya bel berbunyi. Kiran dengan cepat beranjak untuk membuka pintu. Namun, sebelum membukanya, Kiran sedikit merapikan baju dan rambutnya.

Saat pintu sudah terbuka, Kiran mendapati sosok lelaki tampan bertubuh tegap, berkulit sawo matang yang terlihat manis dengan rambut pendek dan jambul tebalnya. Tidak lupa pakaian simpel tetapi tetap membuatnya tampan dan keren, kaos putih polos dengan dibalut jaket levis yang dipadankan dengan celana jeans.

Senyum dari keduanya tidak pernah hilang. Mereka sama-sama mengagumi ciptaan Tuhan yang ada di hadapan mereka. Manik mereka saling bertemu, menyalurkan sesuatu yang membuat satu sama lain candu.

"Nggak bakal nyuruh gue masuk? Berat, nih," keluh Zidan memecah keheningan di antara mereka.

Kiran tersadar dan mempersilakan Zidan untuk masuk. Zidan masuk dengan beberapa kantong keresek di kedua tangannya yang sudah dipastikan berisi camilan. Kiran hanya mengikuti dari belakang, dan kemudian duduk di sofa setelah Zidan menaruh camilannya di atas meja.

Kiran terus menatap camilan yang tersimpan di atas meja. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang ada di sampingnya itu. Bisa-bisanya membawa camilan sebanyak itu? Pikirnya.

"Kenapa, Ki? Kurang banyak?" tanya Zidan yang sudah menyandarkan punggungnya di kepala sofa.

Kiran menoleh, menatap Zidan yang tengah menutup matanya. "Bukan kurang banyak, tapi kebanyakan, Zid! Emang bakalan abis?" tanya Kiran kesal.

Dari Kiran Untuk Revan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang