LWMT ~14

118 30 2
                                    

BAB 14

Radit sengaja memberitahu Zahra, Galuh dan Revan soal keadaan Kiran saat ini. Setelah Radit membawa gadis itu pulang, Kiran terus menangis dan mengurung diri di kamar. Tidak peduli dengan panggilan Radit dan Bi Ijah.

Jangan tanya di mana keluarga gadis itu, semua orang masih sibuk di acara perusahaan Lesham. Radit memang sudah memberitahu keluarga Kiran, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang pulang untuk melihat keadaan penerus mereka.

"KI, GUE MOHON BUKA PINTUNYA!" teriak Radit dengan terus menggedor pintu kamar Kiran.

Radit merasa frustrasi karena tidak mendapat jawaban dari nonanya itu. Namun, ia tidak juga menyerah.

"KI, BUKA! JANGAN BIKIN GUE KHAWATIR!" teriak Radit.

Bukan suara Kiran yang menjadi jawaban untuk Radit, tetapi suara barang yang dilempar keras membentur tembok, dan bahkan ada suara pecahan kaca. Lelaki itu benar-benar khawatir dengan nonanya itu. Ia takut terjadi sesuatu dengan Kiran.

"KIRANIA, BUKA PINTUNYA!" Radit semakin keras menggedor pintu kamar Kiran. "KI, JANGAN NGELAKUIN HAL GILA ATAU GUE BUNUH COWOK BRENGSEK ITU!"

Radit berharap ancamannya mampu membuat Kiran berhenti melempar barang-barang. Sampai akhirnya, ia tidak lagi mendengar suara lemparan barang.

"Ki, gue mohon buka pintunya!"

"KIRANIA!"

Sekeras apa pun Radit mencoba, nonanya itu benar-benar keras kepala. Tidak ada jawaban apa pun dari dalam sana, yang ada hanya suara tangis yang keluar dari mulut gadis yang tengah tersakiti.

Radit berhenti. Ia memilih untuk duduk di depan pintu kamar Kiran, menyandarkan tubuhnya di pintu berwarna putih itu. Kakinya sengaja ditekuk agar bisa menopang kedua tangannya.

"Ki, gue mohon buka pintunya! Gue tau lo sakit hati gara-gara cowok brengsek itu, tapi sekarang lo nggak sendiri." Radit menjeda ucapannya. "Lo masih punya gue, Bi Ijah, Zahra sama yang lain. Dunia ini nggak cuman tentang Zidan, Ki."

Radit mendongak, berharap Kiran akan membuka pintu kamar. Namun, sayangnya gadis itu masih setia menangis di dalam sana. Radit berharap Zahra akan cepat datang dan membantunya menenangkan Kiran.

"Lo tau?" tanya Radit. "Waktu gue denger lo punya sahabat, rasanya gue tenang banget. Gue seneng karena akhirnya lo nggak terus-terusan ada di zona nyaman lo. Gue bersyukur karena Tuhan mempertemukan lo sama Zahra."

"Takdir nggak pernah salah, tapi Takdir tau mana yang salah. Kalau emang Takdir lo harus kecewa sama cowok itu, berarti Takdir udah nyiapin kebahagiaan lo sama cowok yang lebih baik. Percayalah! Suatu saat lo pasti ketemu sama cowok itu."

Hening. Tidak ada lagi kata yang keluar dari mulut Radit. Ia sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia hanya khawatir pada nonanya di dalam sana.

Radit mendengar suara isak tangis Kiran mulai mereda. Bahkan, suaranya semakin mendekat ke arah pintu. Dengan cepat ia berdiri karena yakin Kiran akan membuka pintu. Namun, sayangnya harapan Radit kandas. Kiran sama sekali tidak membuka pintu.

"Ki," panggilnya kemudian. Tidak ada jawaban dari dalam sana membuat Radit menghela napasnya kasar.

"KIRAN!" terdengar suara seorang perempuan dari arah tangga.

Radit dengan cepat menoleh dan seketika senyumnya terbit meski tidak tampak jelas. Akhirnya dateng juga, batinnya.

"Kiran mana, Bang?" tanya Zahra saat sudah berdiri di depan Radit.

"Masih di dalam. Saya sudah mencoba supaya dia mau membuka pintu, tapi dia benar-benar keras kepala. Saya mohon, bantu saya untuk membujuk Kiran," jawab Radit.

Dari Kiran Untuk Revan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang