LWMT ~16

109 25 2
                                    

BAB 16

Malam sudah berganti pagi, dan sekarang Kiran tengah bersama dengan Radit. Tentu masih di tempat yang sangat membosankan bagi Kiran, tempat yang membuat indra penciumannya dipenuhi bau obat.

Radit dengan setia dan sabar menunggu nonanya itu, duduk di samping Kiran yang tengah beristirahat. Walaupun luka di tangannya tidak parah, tetapi dokter menyarankannya untuk istirahat dan jangan terlalu banyak beraktivitas.

"Permisi."

Radit menoleh ke arah pintu yang sudah menampakkan seorang pria berusia empat puluh lima tahunan dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya. Di belakangnya berdiri seorang pria seumuran Radit yang juga memakai jas yang sama.

"Silakan masuk, Dok," kata Radit seraya berdiri dan memberi ruang untuk dokter pribadi keluarga Malvin.

Kedua dokter itu tersenyum dan kemudian memeriksa keadaan Kiran yang masih menutup matanya. Radit yang berada tidak jauh dari sana, hanya memerhatikan setiap gerak gerik kedua dokter itu.

"Bagaimana keadaan Kiran, Dok?" tanya Radit kemudian.

Dokter Tono menoleh dan tersenyum ramah pada Radit. "Tuan Malvin tidak ke sini?"

"Sepertinya nanti malam baru ke sini. Tadi tuan sudah berpesan kepada saya untuk menjaga Kiran dan mendengar penjelasan dari Dokter soal keadaan Kiran," jelas Radit.

Dokter Tono hanya mengangguk mengerti. Namun, saat hendak memberitahukan kondisi Kiran, tiba-tiba gadis yang tengah terbaring itu terbangun karena batuk yang menyerangnya.

Dokter Reza yang berada di samping Kiran dengan sigap membantu Kiran menepuk-nepuk punggung gadis itu. Tangan kiri Kiran yang digunakan untuk menutup mulut, terasa basah olehnya. Ia menjauhkan tangannya dan melihat darah di telapak tangannya.

Seketika Kiran dan dokter Reza terkejut melihatnya. Kiran batuk darah dan tidak ada yang menyadarinya selain dokter Reza.

Kiran langsung menyembunyikan tangan kirinya ke dalam selimut saat dokter Tono dan Radit mendekat ke arahnya. Ia memberi kode pada dokter Reza agar tidak mengatakan apa pun.

"Ki, lo nggak papa?" tanya Radit yang sudah berdiri di samping Kiran.

Kiran tersenyum dan menggeleng. "Nggak papa, Dit. Tadi cuman batuk bentar."

"Nona, apa ada keluhan lain selain batuk?" tanya dokter Tono ramah.

"Nggak ada, Dok, cuman pusing dikit," jawab Kiran.

Dokter Tono tidak mempercayai Kiran. Ia beralih menatap Reza, putranya, yang sedari tadi hanya diam menatap Kiran. Kiran tahu dokter Tono tidak akan memercayainya, tetapi ia yakin jika dokter Reza tidak akan mengatakannya pada dokter Tono.

"Nona," panggil dokter Tono.

Kiran beralih menatap Radit yang sedari tadi bersikap santai, lantas berkata, "Dit, gue pengen makan martabak keju. Beliin, ya?"

"Lo kan masih sakit. Emangnya boleh makan martabak?" Radit tidak ingin gegabah. Ia tidak ingin membahayakan kondisi kesehatan Kiran.

"Yang sakit tangan gue, Dit. Lagian makan martabak nggak akan ngaruh ke luka gue, kan?"

Kiran beralih menatap dokter Tono dan bertanya, "Nggak papa, kan, Dok?"

Dokter Tono yang mengerti dengan maksud Kiran, langsung mengangguk seraya berkata, "Iya, nggak papa."

"Ya udah, gue beli dulu," kata Radit. "Dok, titip Kiran."

Radit pun pergi untuk memenuhi keinginan Kiran. Ada rasa bersalah di hati Kiran karena membohongi kakaknya itu, tetapi ia tidak ingin membicarakan kesehatannya di depan Radit yang notabennya posesif.

Dari Kiran Untuk Revan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang