[from chapter: 2.1]
"Hao."
"Eh? Gege kebangun?"
"Iya. Berantem yah kamu?"
"Hah? Kedengeran yah?"
"Ya kedengeran lah! Orang teriak-teriak!"
"Maaf."
"Kenapa nggak jujur aja sih? Kalo kamu suka sama pasien mungilmu itu? Siapa tadi namanya? Nakwon?"
"Jangan konyol, Ge. Udah sana tidur lagi, aku mau lanjut kerja."
"Tau nggak? Apa persamaan dirimu yang sekarang sama yang dulu?"
"Gege—"
"Sama-sama pengecut."
"..."
"Kalo dulu kamu berani nyari Jianyi dan memintanya untuk tetap tinggal, mungkin sekarang si kembar nggak akan nanya tentang siapa mama mereka. Sama kan kaya sekarang? Kalo sekarang kamu berani ngomong ke Nakwon soal perasaanmu, dia—"
"Nggak akan ada bedanya! Dia bakal tetap pergi kaya Jianyi! Memangnya siapa yang mau nerima orang kaya aku? Yang punya anak tanpa istri hanya karena kesenangan semata saat lelah dengan skripsi? Nggak ada, Ge. Jadi udah stop."
"Tapi Nakwon punya perasaan ke kamu dan dia tulus. Kenapa nggak coba melangkah sekali lagi?"
"Buat apa melangkah sekali lagi kalo pada akhirnya aku cuma nyakitin Nakwon? Nggak ada bedanya!"
"Bukan nyakitin Nakwon."
"Apa?"
"Kamu cuma takut kalo kamu melangkah sekali lagi, kamu akan terluka. Iya kan? Kamu cuma takut kamu terluka untuk kedua kalinya dan berhenti melangkah."
"..."
"Hao, gege tau semuanya berat buatmu. Gege tau gimana tersiksanya kamu dulu, saat mama menolak kehadiran si kembar, saat papa yang ingin mencoretmu dari kartu keluarga. Gege paham. Tapi apa gunanya jadi pengecut selamanya? Sakit kan hidup dengan perasaan begini terus?"
"..."
"Hao, semua orang berhak bahagia. Termasuk kamu."
"Buat apa aku bahagia kalo aku ngerenggut kebahagiaan Nakwon? Apa Nakwon bakalan bahagia kalo sama aku?"
"..."
"Ge, Nakwon punya masa depan yang cerah, dia nggak butuh aku yang punya masa lalu kelam begini. Aku nggak mau merenggut masa depannya yang cerah hanya karena perasaan semata yang sia-sia ini."
"..."
"Ge, mengertilah. Aku begini juga untuk Nakwon. Untuk kebahagiaannya."
"Hao—"
"Karena kebahagiaannya bukanlah aku."