Aku tersentak kaget ketika sesuatu yang dingin menyentuh kedua pipiku. Aku menengok dan mendapati Justin menempel sekaleng soda dingin disana.
"Belajar atau bengong sih?" tanyanya sambil duduk disampingku.
"Belajar."
"Nih," katanya menyodorkan susu strawberry padaku.
"Makasih," kataku lalu mengambilnya dan meminumnya, soalnya Justin tidak terima kalau pemberiannya tidak langsung dipakai, dimakan, atau diminum. "Kamu udah belajar?"
"Udah. Cepetan hapal, dua menit lagi ujiannya dimulai."
"Hm," kataku dan mulai kembali membaca bukuku. "Kamu punya susu lagi nggak?" tanyaku yang entah sejak kapan susu ditanganku sudah habis.
"Punya. Nih," katanya memberiku susu lagi. "Tumben minta lagi."
"Buat isi semangat," ujarku.
"Tumben lesu?"
"Gitu deh. Nggak tau," jawabku sekenanya.
Yah, tidak bisa kupungkiri bahwa aku tidak kepikiran soal Dokter Myungho kemarin malam. Pindah katanya? Setelah dia mengakui bahwa dia menyukaiku, dia pergi. Pengecut.
"Karena saya hanya seorang pengecut yang terikat dengan bayangan masa lalu yang menyakitkan."
Bayangan masa lalu yang menyakitkan katanya. Maksudnya mantan istrinya—apa bisa kusebut mantan istri? Mereka bahkan tidak terikat pernikahan sebelumnya. Ya, baiklah, mari sebut saja ibu si kembar. Tapi memangnya kenapa kalau dia punya masa lalu yang menyakitkan? Semua orang berhak bahagia!
"Good luck, My lady," ujar Justin mengusak rambutku, tepat saat pengawas ujian sudah masuk.
Astaga, aku bahkan belum mengulang materi apapun.
🥀
Selesai ujian kali ini, aku menidurkan kepalaku di meja, tapi bukannya jatuh ke meja, kepalaku malah jadi pada sebuah lengan.
"Justin, jangan ganggu aku," ujarku.
"Aku nggak ganggu. Ini kupinjami lenganku, khusus buat jadi bantalmu."
"Lenganmu nggak enak jadi bantal."
"Loh? Kenapa?"
"Kurus."
"Hei!"
Aku tidak membalasnya lagi dan hanya diam saja, menutup kedua mataku. Berusaha untuk tidur dan melupakan sejenak banyak kejadian yang menimpaku akhir-akhir ini. Tapi sefokus apapun aku untuk terlelap, pada akhirnya aku gagal karena kedatangan Chaeyeon, Chaewon, dan Minju yang sudah heboh menanyaiku tentang ujian sebelumnya.
"SUSAH BANGETTTT," ujar Chaewon.
"Itu lunya aja yang nggak bisa," sshut Justin.
"DIEM, PREMAN!"
"Apa sih semuanya nyebut gua preman mulu? Darimananya!!"
"Liat tuh banyak tindikan! Mukanya sangar, nyolot lagi! Khas preman!"
"Diem, cebol!"
"PREMANNNNN!"
"Diem dulu kenapa sih?! Aku pusing!" kataku marah sambil menegakkan tubuhku, membuat mereka semua malah jadi menatapku bingung. "Udah kamu nggak usah nyari masalah sama orang!" omelku padaku Justin.
"Nakwon, kamu kenapa? Kok tumben marah?" tanya Minju.
Aku bahkan sampai lupa kalau aku tak pernah marah didepan mereka dan hanya memaklumi sikap mereka yang kekanak-kanakan.
"Maaf, lagi pusing," kataku. "Jangan berisik yah."
Setelahnya Chaewon dan Justin mulai berdamai walau mereka ada sedikit cekcok juga sih. Awalnya kukira, Siyeon dan teman-temannya tidak akan datang ke fakultasku, tapi ternyata mereka malah datang dan mulai membicarakan banyak tempat untuk kami menghabiskan waktu bersama setelah ini.
Hyunjin menyarankan kami untuk berkumpul di kantin saja, lalu kami semua pindah ke kantin. Somi membawa banyak snack di tasnya, membagikannya bagi kami, seakan-akan dia tau bahwa kami semua lapar.
"Berenang aja yuk!" ajak Chaeyeon.
"Bosen ah," ujar Daehwi.
"Hei, aku lagi datang bulan," ujar Minju.
"Ke bioskop? Nonton film?" saran Somi.
"Gua sih fine-fine aja ke bioskop, tapi masalahnya nih," ujar Hyunjin menunjuk Daehwi. "Manusia ini udah nonton semua film di bioskop yang tayang sekarang. Yang ada di spoiler nanti."
Semuanya tampak bingung menentukan pilihan. Aku yang mendengarkan pun jadi ikut bingung, masalahnya selalu saja ada kendala di setiap saran.
"Nakwon, kalo kamu mau kemana?" tanya Siyeon.
"Kemana aja deh. Ke taman bermain juga boleh."
"Mau ke taman bermain yang lain?"
"Ayo deh," celetuk Chaewon.
"Nggak ada kendala juga kayanya kalo kesana," tambah Felix.
"Katanya taman bermain deket sih kalo bawa banyakan dapet diskon," ujar Daehwi.
"Heran yah manusia ini kalo diskon aja tau banget."
"Nomor siapa nih?" gumam Justin melihat handphonenya. "Guys, gua angkat telpon dulu yah," katanya meminta izin lalu menjauh dari kami.
Sesekali aku melirik Justin, dia tampak mengerutkan keningnya seakan bingung dengan apa yang dibicarakan si penelpon. Lama-lama ekspresi wajahnya tampak marah dan bahkan dia sedikit berteriak, walau yang lain tidak melihat atau mendengarnya, tapi sepertinya Justin dibuat kesal oleh si penelpon.
Justin lalu mengacak rambutnya frustasi, sepertinya pembicaraannya dengan si penelpon tidak berjalan baik. Kemudian dia kembali ke meja, lalu mengambil tasnya, dan menarik tanganku.
"Hm?" aku bingung, kenapa malah aku yang ditarik?
"Ikut aku."
"Kemana?"
"Lu mau culik Nakwon apa gimana dah?" tanya Jeno. "Orang lagi bahas tempat main."
"Gua sama Nakwon nggak bisa hari ini. Ada urusan. Lupa."
Aku mengerjap-erjap. Urusan apa? Kayanya nggak ada. Lagian kenapa harus aku yang ditarik sih?
"Urusan apa? Jadian apa gimana lu berdua?" tanya Daehwi.
"Janganlah gila aja! Nakwon sama preman kaya gini!" sungut Chaewon yang langsung dipukul mulutnya oleh Felix.
"Pokoknya nggak bisa. Sorry," ujar Justin menarikku menjauh dari kantin dan berjalan cepat menuju parkiran mobil.
Justin menyuruhku untuk masuk ke dalam mobilnya dengan buru-buru, lalu dia segera menyalahkan mobilnya, dan tancap gas keluar area kampus.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Ke bandara."
"Ngapain?"
"Si pengecut itu mau pindah tanpa ngomong apapun ke kamu."
Aku mengerutkan keningku. "Pengecut? Pindah? Justin, kamu kenapa sih?"
"Dokter Myungho," ujar Justin tak sabaran. "Dia mau pindah hari ini."
-tbc-