Justin memarkirkan mobilnya dengan tak sabaran, lalu setelah terparkir dengan sempurna, Justin langsung keluar dari mobil sambil menelpon entah siapa, diekori olehku.
Kami berlari ke dalam bandara, kemudian seseorang tampak tengah menunggu kami. Justin bicara dengan orang tersebut, memaksa orang itu untuk memberitahu dimana pesawat yang Dokter Myungho tumpangi.
"Tuan, saya nggak bisa—"
"Bisa!" bentak Justin. "Saya yang bakal tanggung jawab kalo bapak dipecat! Perusahaan ayah saya masih punya banyak tempat kosong!!"
"Tapi—"
"Waktu saya nggak banyak!!" balas Justin membuat orang tersebut mau nggak mau menuruti permintaan Justin dan kembali ke ruang staff.
Butuh sekitar lima sampai sepuluh menit sampai orang tersebut kembali dan mengatakan dimana pesawat yang Dokter Myungho tumpangi berada.
Justin menggenggam tanganku sambil berlari, dia terus melihat arloji di tangannya dengan tak sabaran sementara kakinya terus berlari tanpa henti.
Sejujurnya, jauh di dalam hatiku, tersimpan banyak pertanyaan. Kenapa Justin rela mengantarku sampai kesini? Kenapa dia mau repot-repot mempertemukanku dengan Dokter Myungho? Kenapa dia harus melakukan banyak hal untukku?
"Sialan! Dimana sih!!" umpatnya sambil terus berlari.
Aku menarik tangannya dan memaksanya berhenti. Justin menengok kearahku dan bertanya lewat ekspresi wajahnya. Aku tersenyum dan menggeleng.
"Gapapa, Justin. Kita balik aja yah?" kataku.
"Nak—"
"Nggak bakal keburu juga," kataku. "Sepuluh menit lagi pesawatnya berangkat."
"Aku nggak mau nyerah," ujar Justin.
"Kenapa?"
"Hei, emangnya kamu kira enak ditolak tanpa ketegasan? Sampai sekarang kamu belum kasih tau aku kalo aku ditolak karena Dokter Myungho yang mengombang-ambing perasaanmu! Makanya kalo kalian mau selesaiin urusan perasaan kalian itu yah sekarang! Jadi aku juga lega karena ditolak dengan tegas!"
Aku kaget ketika Justin bilang seperti itu, apa sejahat itu sikapku padanya? Tapi kenapa dia mau melakukan ini hanya untuk mendengar penolakan dariku?
Aku larut dalam pertanyaanku sampai akhirnya Justin sudah menarik lagi pergelangan tanganku, berusaha mencari Dokter Myungho kembali.
"Kalo ketemu sama si pengecut itu, pokoknya pukul dia, maki dia, apapun terserah kamu," ujar Justin.
Kupikir kami tidak akan menemukannya. Kupikir inilah saatnya bagi kami untuk menyerah dan kembali, tapi aku justru melihat bahu yang amat aku kenali. Bahu lebar yang tampak begitu kuat namun nyatanya begitu rapuh didalamnya.
"Dokter!!" panggilku.
Lantas sang pemilik bahu lebar itu menengok, ada keterkejutan di balik sorot matanya yang begitu sendu.
"Nakwon?"
Aku berlari kearahnya, melepaskan genggaman Justin. Saat sudah ada dihadapannya aku memukulnya dengan brutal, menyalurkan segala emosiku padanya, tidak peduli jika dia kesakitan atau tidak.
"Kenapa dokter jahat banget sih? Kenapa pindah secepat ini? Nggak ngabarin saya lagi! Terus kemarin apa?! Pengakuan kemarin itu apa? Pelukan itu apa? Ciuman itu apa?!!" kataku sambil terus memukulnya dan tanpa sadar menangis.
Dokter Myungho menahan kedua tanganku dengan begitu lembut, aku berhenti memukulinya, dan hanya tertunduk sambil menangis. Aku sadar bahwa cinta itu rumit. Sangat rumit sampai-sampai bisa mencekikku kapan saja.
"Myungho, hyung bawa si kembar duluan," ujar Om Jun yang entah sejak kapan tidak kusadari keberadaannya. Om Jun kemudian menarik si kembar meninggalkan kami.
"Maaf. Tapi cuma ini yang saya bisa."
"Untuk apa?!!" tanyaku.
"Untuk membuatmu membenci saya. Untuk membuatmu melupakan saya. Untuk membuatmu bahagia tanpa saya."
"Kenapa ... kenapa harus gitu? Kenapa saya cuma boleh bahagia tanpa dokter?"
"Karena saya nggak pantas buatmu, Nakwon," katanya. "Saya nggak pantas. Bahkan untuk air matamu ini aja saya nggak pantas," Dokter Myungho menghapus air mataku dengan ibu jarinya.
"Dokter...."
"Maaf untuk matamu yang kembali basah karena saya."
Aku menggeleng dan hanya mampu menangis. Kurasakan tubuhku direngkuh ke dalam sebuah pelukan yang sama seperti kemarin malam.
"Saya cinta kamu, Nakwon. Makanya...." disatukannya keningnya dengan keningku, ditangkupnya wajahku dengan kedua tangannya sementara kedua ibu jarinya menghapus jejak-jejak air mata yang tertinggal dikedua pipiku. "...saya harus pergi."
"Kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. Pada akhirnya aku hanya bisa mengucapkan pertanyaan itu. Kenapa. Kenapa harus begini? Kenapa harus pergi? Kenapa kita tidak bisa bersama?
"Kamu punya masa depan yang cerah, kamu nggak butuh orang kaya saya. Saya cuma orang yang kebetulan singgah dikehidupanmu sebentar, bukan yang akan menemanimu selamanya. Saya bukan rumah yang tepat untukmu."
Aku menggeleng. "Gimana kalo dokter rumah yang tepat buat saya? Jangan egois..."
"Egois udah sifat alamiah manusia," ujarnya sambil tersenyum. "Dan saya egois untuk kebahagiaanmu."
"Bukan kebahagiaan saya .... ini cuma karena dokter takut. Iya kan?"
"Iya," katanya lembut. "Karena saya takut terluka lagi dan melukaimu tanpa sadar. Makanya lebih baik saya pergi. Jauh dari kehidupanmu. Dengan begitu, baik saya ataupun kamu nggak akan terluka."
Dokter Myungho lalu mencium keningku, kedua mataku, dan hidungku. Dia menggesekkan hidungnya pada hidungku dengan keningnya yang kembali ia tempelkan pada keningku.
"Justin adalah orang yang tepat bagimu. Pergilah bersamanya, bukan dengan saya."
Aku mengeratkan genggamanku pada coatnya. Tidak mau melepaskannya. Tapi Dokter Myungho mundur dan melepaskan genggamanku. Ia tersenyum seakan ini akan jadi terakhir kalinya kami bertemu.
"Selamat tinggal, Nakwon," katanya mundur beberapa langkah. "Saya cinta kamu," lanjutnya dan berbalik, meninggalkanku begitu cepat sementara Justin sudah memelukku yang menangis tak karuan di dalam pelukannya.
Cinta yang awalnya menjadi madu yang mengisi hati kami dengan manis, kini berubah jadi racun yang meracuni hati kami sampai rasanya ingin mati.
Dan pada akhirnya perpisahan tetap tak terelakkan. Sudah selesai. Selamat tinggal.
-end-
EPILOG COMING SOON!
p.s. jangan emosi oke heheheheAku pernah bilang kalo aku mau buat daddyable versi diluar SVT kan? Yap, ini dia daddyable season 4!
DADDY SEUNGWOO!