Musim ujian benar-benar membuatku stress. Ditambah lagi dengan suasana apartemen baruku yang tidak kondusif.
"HEI, PREMAN! YANG BENER DONG TUANG AIRNYA!"
"HEI, GALAK! KAMU BISA MASAK RAMYEON NGGAK SIH? TUNGGUIN SAMPE AIRNYA MENDIDIH DULU!"
"Bisa nggak sih kalian nggak teriak-teriak?" ujarku malas. "Aku pusing dari kemarin denger kalian teriak-teriak."
"DIA TUH YANG MULAI!!" ujar Siyeon dan Justin bersamaan sambil menunjuk satu sama lain dan melotot bersamaan.
Aku hanya menghela nafasku, tidak ingin terlibat dalam pertengkaran tak berguna mereka dan melanjutkan sesi belajarku yang sempat terganggu.
Jangan tanya padaku kenapa Justin ada di apartemenku. Hampir setiap hari Justin datang kemari setelah selesai ujian, katanya mau belajar bersamaku. Tapi ujung-ujungnya malah bertengkar dengan Siyeon.
"Besok udah hari terakhir ujian. Mau main nggak?" tanya Siyeon padaku.
"Nggak," jawab Justin.
"Nggak nanya kamu!!" sungut Siyeon. "Mau nggak?"
"Nggak ah, aku mau hibernasi aja. Aku begadang terus ujian kali ini," jawabku.
"Bukannya emang setiap ujian kamu begadang?" cibir Siyeon. "Ngomong-ngomong konsultasimu sama Dokter Myungho lancar?"
Aku bahkan hampir melupakan keberadaan Dokter Myungho pada hari-hariku. Konsultasiku masih berjalan, tapi aku justru konsultasi di rumah sakit tempatnya bekerja. Aku yang memintanya, setidaknya untuk meminimalisasi jam kerja Dokter Myungho yang padat dan setidaknya membuatnya tidak kelelahan.
Terakhir kali, hasil konsultasiku lusa lalu cukup bagus. Katanya aku bisa dinyatakan sembuh kapanpun. Itu kabar baik, sangat baik. Tapi ada yang mengganjal dihatiku. Ada perasaan tak rela karena konsultasiku dengannya bisa berakhir kapan saja.
Haruskah aku mempersiapkan diri untuk sebuah perpisahan?
"Hei, kenapa malah bengong sih?" tanya Siyeon.
"Oh? Ah, ya, bagus kok konsultasinya."
"Kata Dokter Myungho apa?"
"Ya ... bagus katanya. Aku bisa sembuh kapanpun kok," ujarku pelan, seakan tak senang dengan kabar itu, sementara Siyeon sudah berteriak kesenangan.
"Ah!" Siyeon memekik. "Lupa beli susu buat stok! Justin, kamu lanjutin masaknya. Aku mau beli susu!" lanjut Siyeon sudah buru-buru berlari keluar apartemen.
"Hei, sini bantu aku," ujar Justin.
Aku bangkit dari kursi meja makan dan berdiri di samping Justin. Dia memberiku daun bawang dan pisau, memintaku memotongnya. Aku pun memotong daun bawang tersebut tanpa bicara sepatah kata pun dengan Justin.
"Hei," panggil Justin.
Aku menengok. "Ke—" ucapanku terpotong ketika tubuh Justin menabrak diriku. Dia memelukku. Begitu lembut, seakan takut aku akan hancur jika dia memelukku terlalu kuat. "Justin?"
"Kamu udah nggak takut skinship? Aku peluk gini gapapa?"
"Kamu kenapa sih?" tanyaku mendorongnya pelan agar bisa melihat wajahnya.
Justin masih tetap dalam posisi memelukku, dia hanya sedikit mengendurkan pelukannya agar aku bisa menatapnya.
"Kamu udah nggak takut skinship?" tanyanya ulang.
"Nggak ... begitu takut ... mungkin."
"Jadi kupeluk gapapa?"
"Ga ... papa."