Ternyata bukan. Bagian 21.

15 5 18
                                    

Aku sakit jantung. Iya aku yakin. Jantungku berdebar sangat kencang. Dan dia adalah penyebabnya.  Senyumnya adalah hal paling mematikan di dunia ini.. tolong jauhkan aku darinya..

Riana meletakkan piring berisi bolu
pisang kukus buatan Naomi di hadapan Hendro. Kemudian ia ikut duduk di kursi halaman depan. Memperhatikan Hendro yang sibuk dengan pensil dan kertas di tangannya. Pria ini memang luar biasa. Entah kenapa sekarang ia lebih sering berada di rumahnya di banding rumah pria itu sendiri.
Namun jika Riana mengusir, Hendro akan berkata jika Naomi yang mengundangnya ke sini untuk mencoba masakannya.

Belum lagi saat bundanya mendengar ia mengusir Hendro, bundanya akan berteriak dan mengomelinya habis-habisan. Dan kini Riana sudah pasrah. Ia sudah terbiasa melihat laki-laki itu berada di teras, ruang tamu bahkan dapurnya. Hendro seakan menganggap rumah ini adalah kerumahnya sendiri.

"Gue baru tau kalo lo itu jurusan desain grafis. Gak sesuai gitu sama tampang Lo"

Hendro mendongakkan kepalanya.
" Emang tampang gue gimana? "

"Kaya  orang sengklekan yang gak niat kuliah."

Hendro terkekeh pelan.
"Ya kali gue gak niat kuliah. Asal lo tau aja. Desain gue udah sering di beli sama orang-orang yang ngerti keindahan seni. "

"Ckk. Songong Lo. "

Riana jadi  berfikir mengenai mobil Hendro yang sangat keren itu. Itu bisa jadi salah satu karya Hendro kan?

Riana memperhatikan Hendro yang sesekali melirik ke arahnya. Jika di perhatikan Hendro itu memang bukan orang yang sangat rapi. Tapi Hendro juga bukan orang yang berpenampilan acak acakan. Penampilan lebih ke kata casual. Yang mungkin terlihat apa adanya. Hendro juga tidak pernah bersikap kurang ajar. Ia malah sering membantu bunda atau ayah Riana seperti waktu itu. Ketika membantu mobil ayah Riana yang tidak bisa dihidupkan.
Hendro terlihat baik. Hanya saja sikapnya selalu menjengkelkan jika berada di dekat Riana.

Tapi melihat Hendro diam sambil mengerjakan dengan serius pekerjaannya seperti ini, dia tampak sangat.. keren?

Mungkin bisa di bilang begitu. Riana tidak akan mengelak.

"Hendro.."

"Hmm?" Hendro masih serius menatap kertasnya.

"Maaf.. dan makasih.."

Kali ini Hendro mendongakkan kepalanya. Menatap Riana sambil mengerutkan kening.

"Buat apa? Lo gak lagi kesambet kan?"

Riana menggeleng.
"Gue pikir Lo masih nunggu perminta maafan gue?"

Hendro lagi-lagi mengerutkan kening. Kemudian ingat, ia tersenyum lebar.

"Ohh buat tamparan dan makian Lo di mobil waktu mau ke rumah sakit itu ya?"

Riana mengangguk.

Hendro tertawa.
"Gue pikir Lo gak bakal pernah mau minta maaf."

Suara gerbang yang terbuka membuat Riana menoleh dan mendapati Nadine membawa serta farel di gendongannya. 

Riana dengan sigap meraih farel ke pengakuannya ketika Nadine berjalan dengan belanjaan yang penuh di tangannya.

"Abis dari mana kak?"

"Toko bunda. Di sana lumayan rame tadi. Aku masuk dulu ya. Mau buat makan malam. "

Nadine menyapa Hendro dengan anggukan. Riana mengatur posisi duduk farel yang kelihatan kurang nyaman. Farel sibuk memainkan rambut Riana. Bocah kecil itu tertawa bahagia dengan apa yang di lakukannya.

LNRNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang