Berdua. bagian. 22

14 6 15
                                    

Jika aku menawarkan luka, apa kau masih ingin bersama?..


Pernah merasa sangat ingin menghancurkan handphone? Mungkin seperti yang Laras rasakan saat ia tidak berhenti mendapat pesan dari orang asing lagi. Dia -orang yang sebenarnya sudah diketahui Laras- terus mengiriminya pesan. Meminta untuk bertemu. Laras mencengkram handphone-nya sampai jari-jarinya memutih.

Tubuhnya terasa kaku. Ia cepat-cepat memblokir nomor itu.  Tidak mengizinkan dirinya membaca pesan pesan yang lainnya. Laras melepas kacamata dan meletakkannya di samping laptop yang menyala. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarnya. Sudah jam setengah dua belas dan Laras masih betah duduk di depan laptop.  Ia memijat pangkal hidungnya.

Laras merasa lelah. Apalagi di tambah  isi pesan yang dikirim terus-menerus membuatnya merasa tertekan. Ia mengambil nafas. Mencoba menenangkan pikirannya. Biar bagaimanapun, Laras tidak boleh membuat keluarganya khawatir.

Laras menutup laptopnya. Berjalan ke arah tempat tidur. Ia membalut tubuhnya dengan selimut lalu memejamkan mata perlahan.

***
Laras membuka mata ketika mendengar suara menangis sesenggukan. Laras mengenali suara itu.  Ia perlahan bangkit dan berjalan keluar. Di sana ia melihat perempuan dengan seragam SMA sedang menunduk di lipatan lututnya.

Laras merasa jantungnya tidak berada pada tempatnya. Ia tidak bisa merasakan apapun kecuali rasa ketakutan.  Laras memucat. Namun kakinya terus mendekat ke arah perempuan itu.

Sampai tiba, Laras tidak mengatakan apa-apa. Tapi perempuan itu mendongak. Wajah penuh air mata dengan rambut yang acak-acakan serta baju seragam yang tidak terkancing dengan rapi, tapi menatap Laras dengan senyum yang terus tertanam di otaknya dari dulu. Senyum penuh kepiluan. Laras tertohok.  Hatinya terasa di remas. Ia tidak bisa berbicara. Bibirnya terasa kelu dan kakinya tidak bisa melangkah. Laras ingin menangis, tapi matanya terasa kering.

Laras membalas tatapan perempuan yang sangat dikenalinya itu. Wajah cantik dengan poni menghiasi wajahnya. Sama dengan penampilannya ketika SMA dulu. Perempuan itu menatap Laras sendu.  Namun senyum pilu tetap terukir membuat sayatan di hati Laras bertambah. 

"Laras.. pergi.. pergi dari sini.."

Hingga ketika perempuan itu berbicara, Laras mematung. Kemudian seolah waktu menariknya, ia terbangun dalam keadaan pucat. Nafasnya tidak teratur. Laras melihat sekelilingnya dan ternyata itu hanya mimpi. Laras menangkup wajahnya.  Keringat dingin bisa di rasakan oleh telapak tangannya.

Nafasnya masih memburu. Ia menekan dadanya. Di sana terasa amat sangat sakit. Laras menarik kedua lututnya.  Ia memeluk tubuhnya. Menundukkan kepala dan tiba-tiba merasakan tangisnya tidak bisa di bendung. Laras menangis sesenggukan dengan pelan. Berharap tidak membuat anggota keluarganya terbangun.

***

Rangga diam-diam memperhatikan Laras dari tempat duduknya di meja kantin kantor. Laras berada kelang empat meja dari tempatnya duduk. perempuan itu tampak pucat hari ini. Meta dan Ridwan tidak tampak di sekitar Laras. Perempuan itu sendiri. Ia hanya mengaduk-aduk makanan dan tatapannya terasa kosong.

Tidak tau kenapa Rangga jadi sering secara tidak sadar menatap ke arah Laras. Bukan karena ia suka. Tapi, mengetahui perempuan itu mengidap androphobia membuatnya penasaran. Laras memang terkesan dingin.  Tapi perempuan itu kadang terlihat rapuh. Seperti saat itu..

LNRNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang