6. Tanpa Cinta

784 29 1
                                    

Aroma ayam bumbu ketumbar yang direbus di dapur tercium dari dalam kamar. Gurih dan harum. Sesekali terdengar suara para pekerja yang menyiapkan pesanan makan siang, berbicara sambil bercanda. Haya menutup pintu dan merapatkan jendela kamar. Ia sedang tidak ingin diganggu dengan berbagai aroma dan suara. Pikirannya sedang beku.

Pada saat-saat seperti ini ia merasa membutuhkan Raga. Setelah menghela napas, Haya meraih telepon selulernya. Membuka halaman pesan. Mengetikkan dua huruf pertama. Lalu berhenti. Sesaat kemudian dihapusnya pesan yang belum jadi itu. Telepon seluler ia letakkan lagi. Dan menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang. Lebih dalam.

Ia merasa harus segera menangani masalahnya. Kalau bisa bercerita saja pada orang lain, tanpa harus mencari jalan keluar, itu sudah mengurangi lima puluh persen beban. Ia punya banyak teman untuk bersenang-senang. Tapi tidak punya cukup teman untuk menceritakan masalah pribadi. Hanya Raga orang yang ia percaya. Haya merasa laki-laki itu orang yang paling mengenal dirinya. Ia pendengar yang baik, toleran, dan tidak pernah menghakimi.

Seingat Haya, Raga menjadi tempat bercerita hampir semua masalahnya. Satu hal yang belum ia ceritakan pada Raga. Masalahnya dengan Bayu. Tidak mungkin rasanya ia menceritakan hal itu pada Raga. Bukan karena ia pegikut paham menceritakan masalah rumah tangga sama dengan membuka aib keluarga. Tapi karena ia tidak mau Raga tahu kalau pernikahannya dengan Bayu itu pelarian. Bukan karena cinta.

Jadi sebenarnya, bukannya ia punya masalah dengan Bayu. Tapi masalah dengan diri sendiri. Haya mengoreksi pernyataan yang muncul dalam pikirannya.

Semua perilaku Bayu tampak salah di matanya sekarang ini. Tidak ada lagi sesuatu dalam diri laki-laki itu yang bisa membuatnya senang. Termasuk sapaan dan ucapan seperti selamat pagi, selamat tidur, aku cinta kamu, dan entah apa lagi, yang justru membuat Haya muak.

Berkali-kali, belakangan lebih sering, Haya mengingat lagi. Apa yang membuatnya memutuskan menikah dengan Bayu. Bayu orang baik. Kalau ditanya baik seperti apa, Haya akan kesulitan menjelaskannya. Setidaknya tidak pernah ada cerita buruk tentang laki-laki itu.

Mereka masih saudara. Kakek Haya saudara sepupu ibu Bayu. Jadi ia seharusnya memanggil Bayu dengan sebutan paman. Tapi Haya dan kakak-kakaknya memanggilnya mas. Karena masih saudara, keduanya sudah saling kenal sejak kecil. Saudara-saudara yang sebaya sering mengolok-olok keduanya waktu bertemu di pertemuan keluarga. Mereka bilang Haya pacar Bayu. Itu membuat Haya jengkel.

Ia tidak naksir laki-laki itu. Bahkan setelah mereka dewasa. Tapi tampaknya Bayu beda. Olok-olok itu membuatnya memperhatikan Haya sampai akhirnya jatuh cinta. Atau bisa jadi sebaliknya. Sejak masih kanan-kanak Bayu sudah memperhatikan Haya, makanya diolok-olok.

Di umurnya yang sudah jauh lewat dari tiga puluh, waktu menikah umurnya hampir empat puluh, dipinang laki-laki lajang yang baik dan sungguh-sungguh mau menikahi, sudah cukup untuk membuatnya berkata "ya".

Kedua orangtua Haya waktu itu sudah merasa tua. Mereka khawatir tidak sempat melihat pernikahan Haya. Itu yang jadi pertimbangan terbesar Haya menerima Bayu.

Ia sempat bertanya pada diri sendiri. Apa bisa menikah tanpa cinta? Ia jawab sendiri. Bisa! Jaman dulu banyak begitu. Menikah tanpa saling kenal. Dijodohkan. Tanpa cinta. Cinta itu akan tumbuh seiring waktu. Witing tresna jalaran saka kulina, kata pepatah Jawa. Cinta akan tumbuh karena terbiasa bersama.

Haya percaya pepatah itu benar, untuk sebagian orang. Tapi untuk sebagian yang lain tidak. Termasuk dirinya. Ia sempat merasa bahagia sebentar. Di awal pernikahan. Setelah itu Haya mulai kesal harus tinggal berdua dengan Bayu. Selanjutnya ia merasa muak.

Berkali-kali ia menyesali keputusannya menikah dengan Bayu. Berkali-kali juga ia membayangkan, seperti apa kehidupannya sekarang kalau tidak menikah dengan laki-laki itu. Bisa jadi ia masih lajang sampai kedua orangtuanya dipanggil Tuhan. Bisa jadi ia bertemu dengan laki-laki lain yang dicintai, menikah, dan hidup bahagia. Atau bisa juga menikah dengan laki-laki yang dicintai tapi tidak bahagia. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang