Terdengar pintu ruang konsultasi diketuk. Kiky dan Haya mengangkat kepala. Zulfa sudah berdiri di depan pintu. Matanya menyiratkan sesuatu. Tampaknya ada hal yang tidak beres.
"Hm... Mbak Haya, Mbak Kiky," katanya terbata-bata. "Barusan Bu Warsi telepon."
"Ya?" tanya Haya.
"Katanya ia nggak bisa ke sini," lanjut Zulfa.
Langit serasa berputar di atas kepala Kiky. Berbulan-bulan ia berusaha melacak keberadaan ibu kandungnya. Ketika selangkah lagi ia sampai tujuan, tiba-tiba perempuan itu menolak menemuinya.
Kiky kecewa. Dan kekecewaan itu muncul menjadi air mata.
"Saya akan hubungi dia lagi, Mbak," kata Haya sambil mengelus lengan Kiky. "Mungkin dia hanya belum siap saja."
***
Sori baru balas. Ngantar isteri cari jajanan pasar.
Gimana tadi? Lancar kan?
Haya membaca dua pesan dari Raga.
Jadi isterinya pulang. Batin Haya. Dadanya sedikit sesak. Seperti ada udara yang tertahan di sana mendapati kabar seperti itu.
Raga sudah beristeri. Sudah diketahuinya sejak lama. Ia cemburu pada isteri Raga. Iya. Tapi itu dulu. Sudah lama berlalu. Tampaknya kedekatannya dengan Raga akhir-akhir ini kembali memunculkan rasa itu.
Selama isterinya di Yogya, Haya tidak akan bisa bertemu Raga. Padahal ada yang harus ia bicarakan. Soal Warsi. Ia butuh dukungan Raga menemui perempuan itu kembali. Bagaimanapun Raga punya andil melibatkannya dalam kasus ini. Tapi dalam kondisi sekarang, ia tidak mungkin berharap bantuan laki-laki itu. Sementara kasus ini harus segera dilesesaikan. Kiky menunggu. Dan ia tidak tega membiarkan perempuan muda itu tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan.
***
Mata Kiky segera tertumbuk pada seorang perempuan di belakang Zulfa. Itukah Warsi? Tanyanya dalam hati. Tanpa sadar ia mencari kemiripan perempuan itu dengan dirinya. Kiky menemukannya. Wajah lonjong dan hidung mungil itu seperti miliknya. Bedanya kulit perempuan itu lebih gelap. Kusam. Di wajahnya juga banyak terdapat flek hitam.
Cepat menua, batin Kiky. Mestinya perempuan itu belum empat puluh tahun umurnya. Tapi bila disandingkan dengan Nares, mereka tampak sebaya. Mungkin perjalanan hidup yang berat membuatnya cepat menua.
"Mbak Kiky, ini Bu Warsi ini Pak Nono," kata Zulfa memperkenalkan dua orang yang datang bersamanya.
Kiky menatap Warsi sambil beranjak dari kursi. Mengangguk dan mencoba tersenyum pada perempuan yang tampak canggung dan gelisah itu. Lalu menoleh pada laki-laki di sebelahnya yang sejak tadi luput dari perhatiannya.
"Bu Warsi, ini Mbak Kiky."
Warsi mengangkat wajahnya. "Kiky," bisik Warsi mengulangi ucapan Zulfa. Seolah berusaha menghafal sebuah nama.
"Iya. Putri Ibu," jawab Zulfa. "Namanya Kiky."
Warsi mengedip-ngedipkan matanya. Kiky. Ulangnya lagi. Kali ini dalam hati. Perempuan muda itu anaknya, batin Warsi. Tapi bahkan namanya pun Warsi tidak tahu. Alangkah ganjil rasanya. Kenangan lama itu datang seperti gulungan ombak yang menghempas tubuhnya. Ia ingat rasa sakit yang menyergap tubuhnya saat kelahiran anak pertamanya. Anak yang tidak pernah ia lihat wajahnya. Hanya suara tangisnya saja yang masih terekam dalam ingatan. Tangis kencang si bayi dalam gendongan Bidan Tinuk.
Mengingatnya membuat Warsi berurai air mata. Anak itu, yang pernah dikandung dan dilahirkannya dulu, telah menjadi perempuan dewasa. Perih rasanya mengingat bagaimana ia meninggalkannya. Tidak pernah mengenalnya. Tidak pernah melihatnya tumbuh.
Warsi ingin memeluk anak itu. Ingin meneriakkan permintaan maaf. Seratus kali. Seribu kali. Meski ia tahu itu tidak akan cukup menghapus rasa bersalahnya. Ia ingin mengatakan bahwa ia terus memikirkannya, merindukannya. Tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Ia merasa ada jarak membentang antara dirinya dan perempuan muda itu. Perempuan muda itu tampak begitu tinggi dan jauh. Cantik, bersih, terawat, dan terpelajar. Berbeda dengan anak-anaknya yang lain.
Tiba-tiba perempuan muda di depannya itu maju. Menghampiri Warsi. "Ibu, saya Kiky. Anak Ibu," katanya canggung. Lalu memeluk Warsi.
Warsi menyambutnya meski awalnya tampak sungkan dan kaku. Ia memeluk perempuan muda itu erat-erat. Seolah takut terpisah lagi. Takut kehilangan untuk kedua kali. Tangis keduanya pecah. Sampai beberapa saat keduanya saling memeluk. Mencium. Mengelus. Seperti berusaha menebus kerinduan dan apa yang seharusnya sejak lama mereka lakukan.
Zulfa menyeka matanya. Suami Warsi tertunduk dalam. Haya memalingkan wajah dari pemandangan di depannya. Ia bersyukur Warsi menepati janji. Hanya tertunda sehari dari rencana semula.
***
Kiky kembali ke penginapan sendirian. Sebenarnya Zulfa menawarkan diri mengantar. Tapi ia meyakinkan perempuan itu bahwa ia bisa pulang sendirian. Ia sungkan menambah kerepotan Zulfa.
Ia pulang ke penginapan dengan perasaan lega dan ringan. Meski sepanjang perjalanan tak henti meneteskan air mata. Sulit menerjemahkan apa yang sejatinya ia rasakan. Tentu saja ia bahagia akhirnya bertemu dengan ibu kandungnya. Sudah berbulan-bulan ia mencari.
Lebih dari itu, ia bersyukur. Awalnya ia kecewa, bahkan marah, terlahir sebagai anak yang tidak dikehendaki, yang dibuang oleh perempuan yang melahirkannya. Tapi melihat kondisi Warsi, Kiky bersyukur Nares mengasuhnya.
Tinggal satu pe-er lagi. Menemukan bapaknya. Belum ada pembicaraan itu dengan Warsi. Ia harus berhati-hati. Bapaknya adalah laki-laki yang menggoreskan kenangan buruk dalam hidup Warsi. Kalau Warsi tidak mau membuka hal itu, ia mungkin akan menerima. Ia bisa membayangkan dirinya berada dalam posisi Warsi. Menceritakan musibah yang dialami tak ubahnya mengalami musibah itu untuk kedua kali.
Sebelum turun dari taksi, Kiky merapikan diri dan membersihkan wajahnya. Semoga hari ini Raga ke penginapan, batinnya. Begitu turun, ia segera melangkah memasuki penginapan. Dilihatnya Raga di meja penerima tamu. Senyumnya mengembang. Sekilas diliriknya seorang perempuan yang duduk sambil menekuni telepon seluler di kursi tamu. Tamu. Bantinnya.
"Halo Om," sapa Kiky riang.
"Hai. Selamat, ya? Sukses pasti."
Kiky mendekat. Menerima uluran tangan Raga. "Makasih," katanya. Ia merasa tak sabar mau menceritakan pertemuannya dengan Warsi.
"Oh, ya. Kenalkan. Itu isteriku," kata Raga sebelum Kiky berkata-kata lagi, sambil menunjuk perempuan yang duduk di kursi tamu.
Oh... isterinya! Kiky berusaha menutupi kekagetannya. Ia melangkah mendekati perempuan itu. Bersalaman sambil menyebutkan namanya.
"Oke. Saya ke kamar dulu," pamitnya begitu selesai bersalaman.
Ia melangkah cepat-cepat menuju kamar. Hasratnya untuk bercerita pada Raga sudah tak ada. Ternyata Raga sudah beristeri, batinnya. Hatinya terasa tercubit. Ia memang tidak pernah berpikir Raga seorang perjaka. Raga terlalu menarik untuk menjadi perjaka tua. Tapi Kiky juga tidak berpikir laki-laki itu punya isteri. Mungkin ia kemarin berharap Raga seorang duda. Ya, duda. Sehingga ia bisa bebas pergi ke mana-mana. Dengan siapa saja. Termasuk mengantarnya ke Laras Wanodya. Dan tampaknya Raga juga berkencan dengan Haya. Kiky menduga dari cara komunikasi dan sikap tubuh keduanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Ficção GeralKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...