Haya berharap bisa segera bertemu Raga. Bukan soal Kiky dan Warsi. Itu sudah selesai. Mereka sudah saling bertukar nomor telepon dan akan saling menghubungi. Warsi berjanji akan mengenalkan dua anaknya pada Kiky. Juga kedua orangtunya, kakek dan nenek Kiky.
Urusan mempertemukan anak dan ibu kandungnya itu ternyata lebih mudah dari yang ia perkirakan. Kekhawatirannya tidak terjadi. Mereka bahagia bisa saling bertemu. Suami dan anak Warsi juga bisa menerima masa lalu Warsi. Tampaknya yang selama ini memberati dirinya hanyalah ketakutan-ketakutannya saja. Ketakutan yang juga dirasakan Warsi hingga ia sempat membatalkan janjinya untuk bertemu Kiky.
Kasus Kiky dan Warsi dianggapnya sudah selesai. Dan ia bisa mulai fokus pada kasusnya sendiri. Kasusnya dengan Raga, lebih tepatnya. Ia tak mau menghubungi Raga lebih dulu. Berberharap Raga yang akan menghubungi. Dan itu tidak mungkin selama isterinya masih di Yogya.
Tidak seperti sebelumnya. Kali ini ia merasa cemburu dengan kepulangan isteri Raga. Kecemburuan yang membuatnya marah. Perasaan yang sama dengan yang ia rasakan saat mengetahui Raga hendak menikah.
Haya memandangi layar telepon selulernya. Ada beberapa pesan masuk. Berharap salah satunya dari Raga. Ia membuka pesan-pesan itu. Setelahnya mendengus. Kecewa. Tentu saja isteri Raga masih di rumah. Ia biasanya di rumah cukup lama. Terkadang tidak di rumah, tapi berlibur ke luar kota. Mungkin saat ini keduanya sedang tidak di Yogya...
Pikiran itu membuat hati Haya membara.
Sebenarnya Haya sudah lama tidak berharap apa-apa lagi pada Raga. Ia hanya berniat berteman saja. Ia merasa cukup menghidupkan laki-laki itu dalam ingatan. Tapi kebersamaan mereka belakangan, membuat gairahnya kembali menyala. Ia masih mencintai Raga. Cinta yang sebenarnya. Cinta yang tak pernah berubah.
Ia merasa inilah saatnya ia berterus terang pada laki-laki itu tentang perasaannya. Ia tak peduli bagaimana Raga akan menanggapi. Sudah terlalu lama ia memendam perasaan. Terkadang ia berpikir sebenarnya Raga tahu yang ia rasakan. Tapi laki-laki itu sengaja membiarkannya. Karena dengan begitu ia akan tetap leluasa berteman dengan Haya, menjadikannya keranjang sampah yang selalu siap menampung masalahnya.
Dulu ia berpikir akan memendam perasaan ini seorang diri. Sampai mati. Membiarkan hubungan mereka tetap seperti sekarang. Itu sudah cukup daripada tidak bisa mendapatkan laki-laki itu sama sekali. Tapi sekarang ia berubah pikiran.
***
Malam usai bertemu Warsi pada siang harinya, Kiky dijemput Danar dan keluarganya. Mereka makan malam bersama di sebuah rumah makan dalam perjalanan pulang ke Pakem. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa memiliki keluarga yang lengkap seperti keluarga pada umumnya. Ada ayah, ibu, juga adik-adik. Ia sangat menikmati. Ini pertama kalinya ia berkumpul dengan Danar dan keluarganya. Ia merasa menjadi bagian keluarga Danar. Tanpa peduli pada hubungan darah.
Tiba di rumah, Mita menunjukkan kamar untuk Kiky. Kamar yang sama dengan saat ia menginap di rumah ini sebelumnya. Danar membawakan tas pakaian Kiky ke dalam kamar.
"Makasih, Pa," kata Kiky
"Ya," kata Danar sambil melangkah meninggalkan kamar Kiky.
"Makasih juga untuk kasih sayangnya," kata Kiky lagi.
Danar menghentikan langkah. Menoleh.
Kiky maju. Mendekati Danar. "Kalau nggak jadi anak Papa sama Mama, mungkin aku nggak akan seberuntung sekarang," bisiknya.
Danar tersenyum. Meraih bahu Kiky. "Makasih juga tetap mengangggapku papamu. Maafkan Papa selama ini tidak pernah punya waktu untukmu."
Kiky tersenyum. Menghadap Danar dan memeluk laki-laki itu. Entah kapan terakhir kali ia memeluk Danar sebelum ini. Rasanya sudah lama sekali. Mungkin sebelum Nares dan Danar berpisah.
"Aku sayang Papa. Dan mau terus jadi anak Papa," bisik Kiky.
"Iya," balas Danar. "Sampai kapan pun kamu anakku."
"Kalau anaknya kenapa nggak pernah dijenguk?" Kiky melepaskan pelukannya. Pura-pura merajuk. Cemberut.
Danar tersenyum geli melihat ekspresi Kiky. "Oke, Papa bikin pengakuan," katanya sambil berkacak pinggang. "Sebetulnya aku beberapa kali mau mengajakmu liburan ke Yogya. Biar bisa kumpul sama Papa, Ibu, dan adik-adikmu. Tapi tidak boleh sama mamamu."
"Oh ya?" dahi Kiky berkerut.
"Sudahlah. Itu sudah lewat," Danar melambaikan tangan. Menepis udara di depannya. "Kupikir sekarang mamamu sudah berubah. Kamu sudah dewasa. Bisa datang ke Yogya kapan saja."
"Papa!" Kiky mencubit lengan Danar. "Bilang aja maunya dikunjungi."
Danar tertawa. "Sudah! Tidur sana," kata Danar kemudian sambil melangkah keluar.
Kiky tersenyum lebar. "Makasih, Pa," ucapnya sekali lagi.
Tapi kali ini Danar tidak menghentikan langkah. Bahkan menoleh juga tidak. Hanya menggeram pendek, "Hm."
"Besok aku mau ke rumah kakekku!" teriak Kiky sebelum Danar benar-benar hilang dari pandangan.
"Ya."
Kiky naik ke ranjang. Senyumnya masih tinggal. Ia merasa mendapatkan Danar yang dulu lagi. Yang suka mengajaknya berkebun, bersepeda, dan mengajarinya bicara. Setelah hancur oleh berbagai kenyataan yang dihadapi, kali ini Kiky merasa hatinya berbentuk lagi. Lebih indah, lebih penuh dari sebelumnya. Ia merasa bahagia dan kaya. Punya banyak orang yang menyayangi, juga pengalaman yang tak dirasakan sembarang orang.
***
"Gila," desis Raga sambil membaca ulang obrolannya dengan Haya di aplikasi pesan. Laki-laki itu menggelengkan kepala keras-keras. Seolah sesuatu yang menganggu menempel di kepalanya.
Kalau terjadi sesuatu dengan perkawinanku, apa yang akan kamu lakukan padaku? Sebuah pesan dari Haya mengawali obrolan mereka. Raga mengerutkan dahi membacanya. Laki-laki itu merasa perlu membaca ulang sebelum membalasnya.
Maksudmu apa? Balas Raga.
"Sesuatu"
Aku akan dengarkan ceritamu.
Hanya itu?
Memangnya apa yang bisa kulakukan?
Kamu tidak ingin menikahiku?
Aku punya isteri.
Jadi apa artinya kamu masih terus menghubungiku?
Kamu temanku. Kita berteman Ay.
Hanya itu?
Ya.
Ok. Sekarang aku tahu laki-laki seperti apa dirimu.
Haya memang terkadang agak "gila". Ia tahu itu sejak lama. Ia perempuan unik. Berbeda dengan perempuan lain yang pernah dikenalnya. Mungkin karena itu ia tertarik padanya.
Raga bisa memaklumi. Karena sejak awal tahu perempuan itu menyimpan kegilaan dalam pikirannya. Tapi untuk kegilaan Haya yang sekarang ini, Raga susah menerima. Entah karena Haya sudah terlalu gila atau karena kegilaannya sendiri sudah susut digempur usia.
Raga termenung sesaat. Ia memang mencintai Haya. Tapi merasa tidak perlu memilikinya. Terlalu banyak persamaan antara dirinya dan Haya. Ia tidak ingin memiliki Haya dan mengikatnya dengan tali perkawinan. Tapi juga tidak mau sepenuhnya kehilangan.
Kamu nggak mau lagi membalas pesan-pesanku kan?
Oke. Aku akan hapus nomormu.
Dua pesan Haya kembali Raga terima. Raga menghela napas membacanya. Ia benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Jadi ia memilih mendiamkannya. Tapi suatu saat nanti, setelah kegilaan Haya mereda, mungkin butuh waktu agak lama, ia akan menghubungi perempuan itu lagi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Narrativa generaleKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...