17. Laki-laki Tua dan Salmon

350 15 0
                                    

"Kalau aku masih jadi konselor sekarang. Aku akan suruh klien-klienku bilang sendiri sama anak-anak mereka kalau mau cerai. Itu tanggung jawab orangtua. Bukan tanggung jawabku, konselornya!" Haya tersenyum pahit.

"Kamu mestinya bangga pernah punya arti dalam hidup mereka," Raga tersenyum. Senyum yang masih semenawan dulu. Senyum yang penuh pengertian, pemahaman. Senyum yang serasa menghentikan napas Haya.

"Kamu tahu ikan salmon?" tanya Raga. Tanpa menunggu jawaban Haya, Raga melanjutkan bicaranya. "Suatu hari ada seorang pemuda dan laki-laki tua yang berebut seekor salmon yang terdampar di hilir sungai," lanjut Raga. "Laki-laki tua itu lebih cekatan. Jadi dia yang mendapatkan salmonnya dan langsung mengembalikan lagi ke sungai."

Haya mengerutkan dahi. Tapi tidak bersuara.

"Tahu, kenapa dikembalikan?" tanya Raga. "Karena salmon itu sangat berharga.

Salmon itu ikan yang tumbuh dewasa di laut. Tapi bertelur di aliran sungai. Jadi mereka berenang melawan arus, meloncati bebatuan, bahkan melompat ke atas air terjun, untuk sampai ke sungai dan bertelur."

"Terus?"

"Perjalanan salmon itu panjang dan sulit. Mereka bisa mati ditangkap pemangsa, terbentur batu, kelelahan, atau terdampar seperti barusan," lanjut Raga. "Dengan mengembalikannya ke sungai, belum tentu juga mereka selamat sampai tujuan. Tapi setidaknya orang tua itu membantunya mendapat kesempatan itu."

"Maksudmu, aku dulu seperti laki-laki tua itu?" tanya Haya begitu Raga mengakhiri cerita.

Raga mengangguk. "Kurang lebih begitu. Bukan berarti setelah sesudah kamu bantu, masalah selesai. Tapi setidaknya mereka pernah keluar dari satu masalah, bisa melanjutkan hidup lagi karena bantuanmu. Kalau habis itu mereka tersandung lagi ya..." Raga membentangkan kedua lengan sambil mengangkat bahu.

Haya terdiam sesaat.

"Kalau laki-laki tua itu aku, kamu jadi apanya?" Haya memandang Raga. Sebagian mendung di wajahnya mulai menyingkir. Entah terhibur oleh cerita Raga atau pertemuan itu sendiri sudah menjadi hiburan baginya. Haya tak tahu yang mana. Bisa jadi keduanya.

"Bisa jadi sungainya. Jadi batunya juga nggak apa-apa," jawab Raga.

Mereka berdua tertawa.

"Itu yang bikin aku kadang perlu ketemu kamu," kata Haya kemudian. Dan itu yang bikin aku terus mencintaimu. Lanjut Haya. Tapi kalimat lanjutan itu hanya ia ucapkan dalam hati saja.

Raga nyengir lebar. Tentu saja ia senang Haya merasa perlu menemuinya. Bukankah ia juga senang bertemu Haya?

***

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang