Setelah berkali-kali ragu, akhirnya Kiky berhasil juga mengirim pesan untuk Nares. Ma, bisa kita ketemu di luar siang ini? Sebenarnya Kiky mau menuliskan satu kalimat lagi. Aku mau ngomong. Tapi sebelum kalimat itu sempurna dituliskan, ia menghapusnya. Tanpa kalimat itu pun Nares pasti tahu, ia ingin membicarakan sesuatu. Batin Kiky.
Satu setengah jam kemudian mereka bertemu di sebuah tempat makan. Di pertengahan antara rumah dan kampus tempat Nares mengajar. Kiky tidak ada kuliah hari ini. Pertemuan yang canggung. Seperti dua orang yang pernah melakukan kesalahan satu terhadap yang lain.
Kiky bingung mau memulai. Begitu juga Nares. Basa-basi soal kabar sudah mereka lakukan saat Kiky baru tiba dari Yogya. Gimana papamu, tanya Nares waktu itu. Baik, sehat, jawab Kiky. Usahanya lancar, tanya Nares lagi. Eng... kami nggak sempat ngobrol soal itu, jawab Kiky.
"Ma," kata Kiky setelah keduanya menyesap minuman masing-masing. "Aku bicara sama Papa kemarin," lanjut Kiky. Meski sudah berusaha menguatkan hati, tapi berterus terang tentang apa yang ingin ia ketahui tetap terasa berat. Menekan. "Tentang... diriku."
Hening. Kedua orang itu saling diam. Tidak saling memandang. Sesekali Kiky melirik Nares tapi kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke lantai atau ke minuman di depannya. Begitu juga Nares. Ia tidak menunduk tapi memilih melempar pandangannya ke sudut yang jauh.
"Ma, bukannya aku mau menyakiti hati Mama," akhirnya Kiky memberanikan diri bersuara lagi. "Juga bukan karena aku kurang mencintai Mama atau apa. Tapi... aku merasa perlu tahu asal-usulku," katanya tersendat.
Kiky memberanikan diri menatap Nares. Menunggu kata-kata keluar dari bibirnya. Tapi tak satu pun kata terucap dari bibir perempuan itu.
"Maaf, Ma," ulang Kiky, setelah kata-kata yang ia harapkan keluar dari bibir Nares tetap tidak terdengar. "Sebenarnya..." Kiky menghela napas dalam. "Siapa bapakku?"
Perlahan Nares menatap Kiky. Dengan sorot mata beku. "Kamu barusan ketemu." Nares tahu jawabannya kebohongan yang sia-sia. Tapi setidaknya ia bisa mengulur waktu.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Kiky. "Bukan," bisiknya parau.
Ia yakin Danar sudah memberi tahu Nares tentang pembicaraan mereka di Yogya. Mestinya itu lebih memudahkan Kiky berbicara pada Nares. Tapi kenyataannya tidak. Nares berpura-pura tidak tahu. Atau mengingkari kalau ia tahu.
"Siapa, Ma?" desak Kiky. Ia sudah menyiapkan diri, menguatkan hati mendengar apa pun jawaban Nares.
Nares memejamkan mata. Air mata pertama mulai menitik. Membasahi pipi.
"Ma, tolong katakan. Aku ingin kebenaran. Siapa bapakku?" suara Kiky hampir tak terdengar.
Mata Nares semakin rapat terpejam.
"Mama... selingkuh?" desis Kiky.
Mata Nares terbuka seketika. "Jaga omonganmu!" katanya tajam. Setajam tatapan matanya. Kesedihan dan kemarahan tampak menyatu dalam tatapan itu.
"Jadi siapa bapakku?" tanya Kiky. Tangannya menggapai tangan Nares. Menggenggamnya. Erat.
Nares menghela napas. Menggeleng lemah. "Aku tidak tahu," bisiknya hampir tidak terdengar. "Aku tidak menanyakannya..."
Butuh sepersekian detik bagi Kiky untuk memahami jawaban Nares. Ketika akhirnya ia paham, air mata tak lagi terbendung. Mengalir deras di pipinya. Juga di pipi Nares.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
General FictionKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...