"Mungkin kamu bisa bantu," jawab Raga tidak terpengaruh reaksi Haya. Ia mulai bercerita.
Siang itu saat Kiky menitip pesan pada pegawai ingin bertemu dengannya, Raga bertanya-tanya. Kalau sekedar ingin mendapat informasi soal paket wisata Kiky bisa menghubunginya lewat aplikasi pesan. Kalau perempuan muda itu merasa perlu bertemu, berarti ada sesuatu yang lebih serius dari itu.
Raga masih ingat, saat mereka bertemu pertama kali, gadis itu mencari tahu tentang pewayangan dan pedalangan. Tepatnya pentas wayang ruwatan. Pertemuan selanjutnya, ia bertanya tentang upacara labuhan tanpa sedikit pun menyinggung tentang wayang ruwatan. Dilanjutkan pertanyaan tentang kerja-kerja Raga di lembaga kemanusiaan. Raga sempat bingung. Terutama ketika ia berkata ingin dikenalkan dengan salah satu temannya yang pernah bekerja di organisasi perempuan.
"Kalau ingin tanya-tanya tentang organisasi atau mau diskusi, datang ke sana saja, Mbak," Raga menyarankan.
Kiky menggeleng. "Bukan itu," katanya. Lalu ia terdiam beberapa saat. "Saya ingin ketemu sama orang yang kerja di organisasi perempuan dua puluh tahunan lalu."
Raga menatap Kiky. Dahinya berkerut.
"Saya ingin melacak orangtua kandung saya," lanjut Kiky setelah beberapa kali menghela napas.
"Maksudnya?"
"Dulu saya diadopsi lewat organisasi perempuan di Yogya."
Raga ternganga.
"Mungkin teman Bapak yang pernah kerja di organisasi perempuan bisa bantu saya. Paling nggak teman Bapak itu bisa menunjukkan siapa yang harus saya tanya."
Kali ini Raga terdiam. Kebingungannya terjawab. Kiky sudah mengungkapkan apa yang sebenarnya sedang ia cari di Yogya. Ia bukan sedang mencari bahan penelitian. Melainkan mencari orangtua kandungnya.
"Saya ingat-ingat dulu ya, Mbak?" kata Raga beberapa saat kemudian. Ia tak tahu kata apa yang harus diucapkan untuk menunjukkan empatinya pada perempuan muda di depannya. Jadi hanya kata itu saja yang terucap.
Tapi pada saat yang sama otaknya mulai sibuk berpikir. Apa yang dicari Kiky bukan sesuatu yang sederhana. Itu terkait dengan asal-usul. Raga meyakini perkara asal-usul adalah hal besar bagi banyak orang. Sebesar kehidupan orang itu sendiri. Kalau ada orang yang mengatakan asal usul bukan sesuatu yang penting, itu karena mereka tidak bisa menemukan asal-usulnya. Atau mengalamai kekecewaan besar pada asal-usulnya.
"Kalau maksudmu mungkin perempuan muda itu anakku, kujawab bukan," kata Haya begitu Raga menyelesaikan ceritanya. "Aku belum punya anak dua puluh tahun lalu."
Raga tersenyum. Geli dengan jawaban Haya. "Kamu tahu, bukan itu maksudku."
Haya cemberut. Mengaduk-aduk jus apel-wortel-jeruk yang dipesannya. Jelas ia tahu maksud Raga.
"Kamu bisa bantu, kan?" tanya Raga. Pertanyaan yang Haya tahu akan meluncur dari bibir Raga.
Haya menggeleng. "Tidak!" jawabnya tegas. Tanpa merasa perlu bertanya lebih lanjut, bantuan apa yang Raga harapkan darinya.
Raga menghela napas. "Setidaknya kamu bisa memberi tahu, siapa temanmu yang bisa bantu."
"Memang adopsinya lewat tempatku kerja?"
"Entah. Dia hanya bilang diadopsi lewat organisasi perempuan di Yogya."
"Aku sudah lama nggak komunikasi sama teman-teman."
"Kamu banyak teman di lembaga perempuan," desak Raga. "Tidak harus yang satu kantor. Masak tidak ada yang masih komunikasi?"
Haya mendengus. Bohong kalau ia bilang tidak pernah komunikasi lagi dengan teman lamanya. Dan Raga pasti tahu kebohongan itu. Tapi kalau ia berkata jujur bahwa sesekali ia masih bertemu dengan teman-teman kerjanya dulu, lalu Raga membawa gadis itu menemui salah satu dari mereka, ia pasti akan terseret masuk dalam persoalan itu. Sedikit atau banyak. Dan ia tak mau. Apa yang dikerjakannya saat masih bekerja di lembaga perempuan itu adalah masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
General FictionKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...