"Kukira dulu aku mencintaimu," Haya memaksa diri bersuara. Lebih seperti bisikan. Ia bisa mendengar, merasakan. Suaranya bergetar.
"Ya," kata Raga. Setelah menghela napas. "Kukira dulu aku juga begitu."
Haya merasakan kepalanya berputar mendengar jawaban Raga. Kukira dulu aku juga begitu. Ia mengulang kalimat yang baru saja diucapkan Raga itu dalam hati. Berkali-kali. Jadi Raga sempat punya rasa itu, batin Haya. Sempat mencintainya. Tapi kemudian laki-laki itu merasa itu bukan cinta. Begitukah? Haya ingin menanyakan. Tapi tidak punya nyali.
Ia ingin menangis. Sejadi-jadinya. Saat itu juga. Kalau saja yang duduk di depannya bukan Raga. Haya mencintai Raga. Sudah sejak lama. Sejak mereka sering bertemu di forum alumni pelatihan waktu itu. Atau malah sebelumnya. Waktu mereka masih sama-sama menjalani pelatihan. Bertemu di kelas setiap hari selama hampir seminggu. Lalu berkumpul, ngobrol, bercerita, tertawa-tawa malam harinya di ruang makan atau aula, sambil menyanyi dan berjoget.
Haya tidak percaya perasaan Raga padanya sekedar kukira dulu aku juga begitu. Raga pasti bohong. Sama seperti dirinya yang bilang kukira dulu aku mencintaimu. Senyatanya Haya mencintai Raga. Cinta yang ia pendam dalam-dalam. Berharap suatu hari Raga akan menggali ke dasar hatinya dan menemukannya. Ya. Ia berharap Raga yang menemukan perasaan itu. Bukan ia yang harus mengungkapkan.
Awalnya Haya yakin suatu hari Raga pasti melakukannya. Apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya tidak akan dilakukan seorang teman biasa. Haya merasa Raga selalu memperlakukannya dengan istimewa. Bukan karena Haya ge-er, gede rasa. Tapi karena Haya tahu, bagaimana Raga bersikap pada teman-teman perempuan mereka lainnya.
Dua hari sebelum pertemuan itu Raga menghubunginya. Mengajak bertemu. Berdua. Seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Haya sempat berpikir. Mungkin inilah saatnya. Raga akan membukakan perasaannya. Berterus terang. Mengatakan bahwa ia mencintai Haya.
"Bulan depan aku akan menikah."
Ternyata itu yang Raga ucapkan. Haya hampir limbung mendengarnya. Untung ia bisa menopang tubuh dan perasaannya. Dengan berbagai ucapan. Yang banyak di antaranya tidak tulus sama sekali. Bahkan bohong belaka.
"Oh, ya? Selamat, ya? Kok nggak pernah cerita?"
"Belum lama kenal. Di diskusi beberapa bulan lalu."
"Oh! Secepat itu?"
"Ya. Aku merasa cocok. Dia juga. Nunggu apa? Keburu tua juga..."
Haya terus berbicara. Ia tahu. Hanya dengan berbicara ia bisa menahan luka di hatinya tidak semakin menganga. Dan ia terus berbicara. Memaksa diri tersenyum. Sesekali tertawa. Dengan kedua tangan mengepal yang ia sembunyikan di bawah meja.
Bulan depan aku akan menikah. Tapi bukan denganmu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Ficción GeneralKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...