38. Harapan Yang Terkabul

227 13 0
                                    

Ia menunggu di dalam kamar. Memasang telinga. Begitu terdengar suara Raga, ia akan keluar. Tapi lama-lama ia tak yakin bisa mendengar suara Raga. Belum tentu Raga akan mengecek kamar seperti kemarin. Sementara ia tak mungkin mendengar suara Raga di ruang tamu.

Jadi dengan agak ragu Kiky keluar kamar. Ke ruang tamu dan berpesan pada pegawai yang menerima tamu, sebenarnya tidak terlalu ada spesialisasi kerja di penginapan kecil ini, agar memberi tahunya kalau Raga datang. Mungkin ia tertidur. Kalau begitu, petugas bisa saja membangunkannya. Harapannya Raga tak perlu menunggu siang benar untuk datang.

Harapan Kiky terkabul. Matahari belum tepat di atas ubun-ubun ketika pintu kamarnya diketuk seseorang. Kiky yang tertidur, menganggur bikin gampang ngantuk, segera membuka mata dan bangkit, membuka pintu.

"Pak Raga sudah datang, Mbak," seorang pegawai laki-laki berkata, begitu pintu terbuka.

Kiky mengiyakan. Mengucap terima kasih dan berjanji akan segera ke lobi.

Raga duduk di kursi, di belakang meja penerima tamu, ketika Kiky masuk ruangan itu. Ia mempersilakan Kiky duduk sementara ia menyelesaikan pekerjaan, memeriksa laporan yang disusun pegawainya. Beberapa kali ia bertanya ini itu pada pegawai yang tadi memanggil Kiky.

Tak sampai lima menit kemudian Raga sudah duduk di kursi tamu bersama Kiky. Di depan mereka terhidang secangkir teh untuk Kiky dan secangkir kopi untuk Raga. Raga meminta pegawainya menyiapkan minuman itu untuk mereka. Juga setoples keripik pisang.

"Menganggu nggak, Pak?" tanya Kiky. Sedikit berbasa-basi.

"Oh, tidak," jawab Raga.

"Ehm... mau tanya yang kemarin itu, Pak."

"Labuhan?"

Kiky mengangguk. "Bapak kemarin cerita, itu kan, kegiatan baru. Kayak jadi promosi wisata gitu. Setahu saya upacara tradisi itu kan, bukan hal baru?"

"Iya. Upacara tradisinya memang sudah lama ada. Saya tidak tahu pasti, tapi yakin begitu. Dulu upacara saja. Tidak ada pertunjukannya. Kalau ada ya, sekedarnya. Sekarang semua dibuat jadi pertunjukan," jelas Raga.

Kiky ingat apa yang dilihatnya kemarin. Warga, laki-laki dan perempuan, berbaris di belakang kuda lumping membawa hasil bumi. Mereka memakai busana jawa. Para perempuan bahkan seperti mau datang ke kondangan. Pakai sanggul dan rias lengkap. Bedanya mereka tidak mamakai alas kaki hak tinggi. Apalagi hak lancip. Tentu saja. Karena hak begitu akan terbenam di pasir.

Dulu orang sekitar desa itu saja yang datang. Intinya mereka melakukan upacara untuk mengungkapkan rasa syukur atas rejeki yang mereka terima. Tidak semua rejeki itu mereka nikmati sendiri. Tapi sebagian harus dikembalikan lagi pada alam. Karena alam yang memberi. Itulah kenapa Kiky kemarin melihat hasil bumi dihanyutkan. Itu adalah cara mereka bersedekah.

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang