Bayangan itu menarik pakaian dalam si gadis dengan paksa. Hingga terlepas. Lalu sebuah benda asing mulai menempel di selangkangan si gadis. Sekuat tenaga gadis itu mendorong bayangan yang kini menindihnya. Tapi bayangan itu justru mencengkeramnya lebih kuat. Benda asing itu kini tak hanya menempel di selangkangan si gadis. Tapi mulai memasukinya. Memaksanya.
Si gadis menjerit tertahan. Tubuhnya terasa sakit. Ngilu. Tapi hatinya lebih sakit lagi. Ketika akhirnya bayangan itu melepaskannya, gadis itu merasakan perih di selangkangannya. Perih yang sangat.
"Jangan bilang siapa-siapa!" kata bayangan itu sebelum bangkit dari dipan dan meninggalkannya.
Bayangan itu pergi. Meninggalkan si gadis yang basah. Oleh keringat. Luka. Dan air mata.
***
Mendadak sekelompok orang naik ke panggung. Memporak-porandakan segala yang ada di atasnya. Wayang yang tertata rapi di depan kelir seketika berantakan. Api di blencong padam. Alunan gamelan terhenti. Lantunan waranggana berubah menjadi jeritan. Orang-orang berlarian sambil berteriak gaduh meninggalkan tempat pertunjukan.
Dalang yang memainkan wayang terlempar dari tempatnya. Sempat mencoba bangkit, mau menyelamatkan diri. Tapi sesosok bayangan tiba-tiba menebaskan senjata. Dalang itu terjerembab. Darah muncrat dari tubuhnya. Matanya nyalang. Dengan sisa kekuatannya berusaha bangun. Tapi yang bisa dilakukannya hanya menggerakkan kepalanya sedikit. Dan mengalihkan tatapan matanya.
Sisa obor yang belum padam dan sinar bulan yang hampir purnama mengantarkan sebuah tatapan mata pada Kiky. Tatapan si dalang. Hanya sesaat. Lalu meredup. Sebelum akhirnya menutup. Selamanya. Hanya dalam beberapa helaan napas saja, kesenangan di tepi danau itu berubah menjadi kekacauan.
Kiky terengah-engah di tempatnya berdiri. Sambil berpegangan erat pada laki-laki tua di sebelahnya. Ia ingin segera berlari meninggalkan tempat pertunjukan. Seperti orang-orang. Tapi ia tidak bisa pergi. Kakinya seperti tertancap ke tanah. Gadis itu berteriak sekuat tenaga. Mengajak laki-laki tua di sebelahnya pergi. Tapi si laki-laki tua tetap berdiri tegak di tempatnya. Tak goyah oleh apa yang terjadi.
Kiky berteriak. Menangis ketakutan. Menarik-narik lengan si laki-laki tua sampai kelelahan. Lalu sibuk mengusap air mata dengan punggung tangannya. Membersihkan ingus dengan lengannya. Ketika tangannya berkelebat hendak berpegang lagi pada laki-laki tua sebelahnya, laki-laki itu sudah tidak ada. Kiky mengedarkan pandangan. Tak ada apa-apa. Tak ada siapa-siapa. Ia seorang diri di kamarnya.
Oh, aku sudah kembali. Batinnya sambil menghela napas lega.
Perempuan muda itu termenung. Entah ini kali ke berapa laki-laki tua itu mengajaknya menonton pertunjukan wayang. Meski tidak persis benar. Tapi pertujukan itu selalu berakhir sama. Kacau. Rusuh. Dalang tertebas pedang. Kiky bergidik mengingatnya. Terlebih mengingat sinat mata dalang di detik-detik terakhir hidupnya. Sinar mata itu menyiratkan sesuatu yang tidak Kiky ketahui artinya.
Pertama kali Kakek -begitu ia menyebut laki-laki tua itu- mengajaknya menonton wayang, ia pikir Kakek keliru. Kakek tidak pernah berkata-kata. Beliau hanya membawa Kiky pergi ke suatu tempat ketika Kiky menanyakan sesuatu. Dibiarkannya Kiky melihat apa yang terjadi di tempat itu dan menemukan sendiri jawaban pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Ficción GeneralKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...