51. Tubuh Yang Berkhianat

426 20 0
                                    

Perempuan itu baru sekali ini dilihatnya. Lebih muda dari dirinya. Mungkin tiga puluh lima tahunan. Atau malah kurang dari itu. Badannya agak gemuk sehingga tampak lebih pendek dari yang sebenarnya. Kulitnya kuning bersih. Dandanannya sederhana tapi rapi. Perempuan yang cantik, begitu kesan pertama yang Warsi tangkap saat baru saja membukakan pintu untuk tamunya.

"Betul ini rumah Ibu Suwarsi?" tanya perempuan itu. Terdengar ramah dan sopan.

Warsi mengiyakan. Sesaat ia menoleh ke dalam rumah. Berpikir mempersilakan tamunya masuk, tapi merasa kurang percaya diri. Rumahnya tampak terlalu berantakan untuk tamu serapi dan secantik itu. Tapi ternyata tamu itu sendiri yang meminta masuk setelah mengenalkan diri. Namanya Zulfa. Jadi Warsi mengajaknya masuk dengan perasaan sungkan sambil berkali-kali meminta maaf dan merapikan ruangan. Menyingkirkan baju-baju dan barang lain yang bergeletakan di kursi dan meja tamu.

"Maaf. Ada orang lain di rumah?" tanya Zulfa yang tampak tidak terpengaruh dengan keadaan rumah Warsi.

"Tidak," jawab Warsi sedikit heran dengan pertanyaan tamunya. "Saya sendiri."

Zulfa tersenyum. Seolah tahu yang dipikirkan Warsi. "Eh... semoga saya tidak terlalu mengganggu Ibu. Saya dari Laras Wanodya, Bu..."

Warsi melongo. Laras Wanodya. Sampai saat ini ia masih sesekali mendengar nama itu disebut. Di berita atau cerita orang-orang di sekitarnya. Itu biasa. Yayasan itu dikenal banyak orang di kotanya. Tapi orang dari Laras Wanodya menemuinya bukan hal biasa. Dan itu mengingatkannya pada kejadian bertahun-tahun lalu. Kejadian yang ingin dilupakan tapi lain waktu selalu dipikirkannya.

"Ada apa, ya?" tanya Warsi. Tampak mulai waspada. Saat yang selalu aku takutkan itu tampaknya telah datang, katanya pada diri sendiri.

"Ehm..." Zulfa menghela napas sesaat. "Kami kemarin kedatangan tamu seorang perempuan. Ia mengaku diadopsi dari Laras Wanodya oleh ibu angkatnya yang bernama Nareswari..."

Benar. Batin Warsi. Menyadari hal itu bahu Warsi langsung melorot. Tak lama kemudian matanya mulai basah.

"Anak perempuan itu namanya Kiky. Dia bilang ingin bertemu ibu kandungnya. Setelah kami lacak, ternyata ibu kandung Kiky adalah Ibu Warsi," lanjut Zulfa perlahan.

Sebelum Zulfa menyelesaikan kalimatnya air mata Warsi telah runtuh. Mengalir melewati pipinya dan jatuh ke pangkuan.

Sesaat Zulfa membiarkan Warsi larut dalam kenangan. Sebelum akhirnya melanjutkan, "Ibu punya hak menolak keinginan Kiky. Tapi tentunya putri Ibu juga punya hak bertemu dengan orang yang melahirkannya. Ibu tidak harus menjawab sekarang. Saya tahu Ibu perlu waktu untuk memikirkan dan menyiapkan diri."

Warsi mengangguk sambil menyeka air matanya yang semakin deras keluar. "Iya. Saya... kalau bisa, saya ingin bertemu Mbak Haya yang dulu membantu saya sebelum menjawab."

Zulfa mengangguk. "Mbak Haya sudah tidak bekerja di Laras, Bu. Tapi saya akan coba menghubunginya."

***

Kejadian lama itu seperti suatu benda besar yang berat dan tiba-tiba menerjang. Membuat Warsi ambruk di ranjang.

Bayangan gelap itu tiba-tiba saja sudah di sampingnya. Di atas dipan. Memeluk erat sambil membekap mulutnya. "Diam!" desisnya.

Warsi mengenali suara itu. Bahkan aroma tubuh itu ia kenal. Justru karena itu ia semakin ketakutan. Ia berusaha menahan celana dalamnya tetap di tempatnya, ketika jari-jari tangan yang kasar itu menyusup ke balik roknya, menarik celananya, mencoba memelorotkannya. Tapi usahanya sia-sia. Bayangan itu terlalu kuat.

Ia ingin berteriak. Meminta tolong. Tapi ia terlalu takut melakukannya. Teriakannya akan membangunkan adik-adiknya. Bahkan tetangga-tetangganya. Mereka akan tahu telah terjadi sesuatu pada dirinya. Dan itu akan membuatnya malu. Bukan hanya dirinya, melainkan juga keluarganya. Saudara-saudaranya.

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang