Haya merasa dirinya terhempas di sebuah ceruk gelap tanpa dasar. Itu membuatnya marah. Pada Raga, Zulfa, Nina, dan tentu saja pada gadis yang tak dikenalnya itu: Kiky.
Berhari-hari pikirannya tak bisa lepas dari apa yang pernah dilakukannya dulu. Sesaat ia merasa menyesal telah melakukan semua itu. Menenemani klien melakukan aborsi, mendampingi klien menggugat cerai suami, atau membantu proses adopsi. Kalau tahu apa yang dilakukannya dulu akan berdampak panjang seperti yang ia alami sekarang, mungkin ia tak mau lakukan.
Tapi kemudian ia bisa memosisikan dirinya kembali pada masa itu. Semua yang ia lakukan bersama teman-temannya di Laras Wanodya atas dasar kemanusiaan. Niat baik. Itu dilakukan untuk membantu perempuan-perempuan itu agar tidak semakin dalam terseret ke dalam persoalan. Apa yang mereka pilih adalah keputusan terbaik. Tentu saja dengan ukuran kondisi mereka waktu itu.
Kalau sekarang ia menjumpai kemarahan Nina, karena perpisahan orangtuanya dan kebingungan Kiky mencari ibu kandungnya, itu adalah konsekuensi dari keputusan orangtua mereka saat itu. Bukan berarti apa yang dilakukannya bersama Laras Wanodya salah.
Ia dan teman-temannya di Laras Wanodya berusaha melakukan yang terbaik. Meski mungkin bagi mereka, Nina dan Kiky atau orangtua mereka, itu adalah sesuatu yang buruk. Tapi saat itu memang hanya ada pilihan yang sama-sama tak mengenakkan. Buruk dan sangat buruk. Dalam kondisi sekarang, mereka mungkin akan menyesali keputusan itu. Tapi dalam kondisi mereka saat itu, apa yang mereka lakukan adalah yang terbaik. Jadi mestinya tak ada yang perlu disesali. Termasuk oleh Haya sendiri.
Yang perlu dilakukannya saat ini adalah membantu mereka mengatasi persoalan yang muncul, karena konsekuensi keputusan yang dibuat saat itu. Ia jelas tak bisa membantu Nina menyatukan kembali kedua orangtuanya. Tapi mestinya ia bisa membantu Kiky melacak orangtua kandungnya.
Haya menghela napas. Menekan tombol telepon selulernya. Jam sebelas lewat tiga menit. Sebentar lagi Raga akan muncul. Kemarin ia menyanggupi bertemu dengan laki-laki itu jam sebelasan. Sengaja ia datang lebih awal. Segelas jeruk hangat dan sepiring pisang goreng menemaninya menanti laki-laki itu.
Jam sebelas lewat tujuh menit. Telepon seluler Haya berdering. Haya meraihnya. Dari Raga. "Iya. Aku sudah di dalam. Di sudut. Yang dekat jendela," kata Haya.
Haya memalingkan wajah ke pintu depan. Seorang laki-laki melangkah masuk. Seperti yang selalu terjadi. Ia harus menahan napas setiap kali tatapan mereka bertemu untuk pertama kali. Ia merasakan hal seperti ini hanya ketika bertemu dengan satu laki-laki itu. Raga.
"Aku terlambat?" tanya Raga sambil menarik kursi dan duduk di depan Haya. "Sori. Bangun kesiangan."
"Nggak," Haya menggeleng sambil berusaha menghirup dalam-dalam aroma Raga. Biar setelah berpisah nanti, aroma itu masih tinggal di penciumannya. "Aku yang terlalu awal. Sekalian ngantar pesanan," jawabnya berbohong. "Mau minum apa? Kopi?" tanya Haya ketika seorang pramusaji menghampiri.
Raga tersenyum. "Coba yang bersoda kayaknya segar siang-siang gini."
"Soda? Yakin?" Haya menatap Raga.
"Kamu kayaknya tidak rela," Raga tertawa. "Ya sudah terserah. Coklat atau jus atau apalah yang menurutmu boleh diminum laki-laki tua."
Haya tertawa. Lalu memesankan segelas coklat panas untuk Raga. Beberapa camilan juga ia pesan karena Raga menolak memesan makan siang. "Belum lama sarapan. Masih kenyang," katanya.
"Maaf. Kemarin aku marah sama kamu," kata Haya setelah sesaat keduanya hanya saling pandang.
"Tidak apa-apa," Raga tersenyum. "Aku paham."
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Fiction généraleKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...