34. Sepercik Harapan

237 14 0
                                    

Raga duduk-duduk di warung. Minum kopi dengan rasa sekedarnya sambil melihat pantai dari jendela lebar yang terbuka sepenuhnya. Percikan halus ombak yang pecah menabrak karang terbawa angin. Masuk lewat jendela yang terbuka. Menerpa wajahnya, meninggalkan rasa lembab dan lengket.

Hampir semua tamu yang diantar Raga tak tampak lagi. Berbaur dengan wisatawan lain. Mungkin mencari latar yang bagus untuk berfoto. Satu-satunya tamu yang masih bisa tertangkap mata Raga hanyalah Kiky. Perempuan muda itu duduk di atas batu karang. Sendirian. Tidak jauh dari warung tempat Raga menunggu.

Ia tampaknya bukan wisatawan. Awalnya Raga pikir ia mahasiswa yang sedang melakukan penelitian. Tapi sekarang Raga agak ragu dengan dugaan itu. Terbukti ia tidak lagi berpikir tentang wayang. Bahkan agak bingung saat Raga menanyakan tentang hal itu.

Mungkin perempuan itu ke Yogya untuk mencari seseorang. Atau bukan seseorang, tapi sesuatu. Ketenangan. Perempuan itu tampak sedang bingung. Raga bisa membacanya.

Sambil menyesap kopinya, yang di lidahnya terasa tidak ada nikmatnya, Raga tertarik untuk terus memperhatikan Kiky. Perempuan itu tampak murung dan sedih. Ia lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Bukan karena menikmati pemandangan. Tapi melamun.

Seolah merasa kalau ada yang mengawasi, perempuan itu menoleh. Mencari-cari sesuatu atau seseorang dengan mata tajamnya, sebelum akhirnya melihat Raga dari jendela yang terbuka. Gadis itu bangkit. Berjalan ke warung tempat Raga menunggu.

Ia memesan minuman bersoda lalu berjalan menuju meja Raga. "Saya boleh duduk di sini, Pak?" katanya sambil duduk di depan Raga.

"Oh, silakan," kata Raga sambil melambaikan tangan.

"Sering ke sini ya, Pak?" tanya Kiky setelah pesanannya datang.

"Cukup sering. Sepanjang ruas jalan yang kita lewati tadi, banyak pantai bagus. Jadi kalaupun tidak ke sini, ya ke pantai sebelah," jawab Raga sambil menunjuk suatu arah.

"Biasanya seminggu berapa kali Bapak ngantar tamu?"

"Tidak mesti. Kalau ramai dan kekurangan tenaga, saya ikut jalan. Tapi kadang tidak ramai juga kalau saya ingin jalan, ya jalan," Raga tertawa. "Sekalian cari hiburan. Jadi pemandu sekaligus sopir. Yang dibawa kan, tidak banyak. Tidak terlalu repot."

"Untuk pemasarannya ada tim sendiri gitu, Pak?"

Raga menggeleng. "Oh, tidak, tidak," jawabnya. "Ini usaha kecil-kecilan kok. Pemasarannya saya pegang sendiri. Ada beberapa macam paket, seperti hari ini. Nanti kita akan ke beberapa pantai lain sekitar sini."

Selain menawarkan perjalanan wisata secara paket, Raga juga bisa mengantar tamu ke obyek wisata yang belum termasuk dalam paket wisatanya. Tamu bisa memilih ingin diantar ke mana atau mereka bisa juga minta tempat yang seperti apa dan Raga yang akan mencarikan lokasinya. Itu sebabnya ia mengelola sendiri pemasarannya. Karena membayar karyawan yang bisa melakukan itu terlalu mahal, katanya lalu tertawa.

"Sudah lama bisnis pariwisata, Pak?"

"Ya... belum terlalu lama," jawab Raga.

"Sebelumnya kerja di pariwisata juga?"

"Tidak," Raga menggeleng. "Dulu saya kerja di lembaga kemanusiaan. Mungkin ada lima tahunan. Pindah-pindah. Lebih banyak di luar Jawa."

Menengar jawaban Raga, tanpa sadar tubuh Kiky menegak.

"Lembaga kemanusiaan yang seperti apa?"

"Mengupayakan perdamaian, kurang lebih begitu. Peace building."

"Jadi kerjanya di kawasan konflik gitu?"

"Iya," Raga mengangguk. "Makanya lebih banyak di luar Yogya."

"Iya. Yogya kan, aman tenteram," Kiky tersenyum.

"Sebenarnya ada yang kantornya di Yogya. Tapi kawasan konfliknya kan, di luar Jawa. Jadi stafnya lebih banyak yang di sana," Raga menjelaskan.

Kiky mengangguk-angguk. "Kalau kantor-kantor lembaga kemanusiaan yang lokasi kerjanya di Yogya yang seperti apa biasanya, Pak?"

"Dulu tahun dua ribuan banyak, Mbak," kata Raga sambil meraih sebungkus rokok dari kantong kaos polonya. "Maaf saya merokok boleh?" Begitu Kiky mengiyakan, Raga segera menyalakan rokoknya. "Menjelang dan sesudah reformasi dulu, banyak sekali lembaga swadaya masyarakat di Yogya. Ada lembaga yang melakukan pendampingan hukum dan HAM. Ada yang memperjuangkan hak pendidikan. Ada yang mendampingi petani. Bahkan yang memperjuangkan buruh juga ada meski Yogya bukan kawasan industri. Terus ada juga yang mendampingi perempuan."

Mendampingi perempuan. Kiky menahan napas mendengar informasi itu.

"Mereka itu saling kenal ya, Pak?"

Raga menatap Kiky.

"Maksudnya orang-orang yang kerja di kantor-kantor itu," Kiky menjelaskan.

Raga mengerutkan dahinya. "Ya... beberapa saling kenal. Mereka kan, berjaringan."

Sepercik harapan tumbuh lagi di dasar hati Kiky. Tapi ia menyimpannya untuk diri sendiri. Raga orang yang baru saja ia kenal. Orang asing. Kiky tak bisa seketika bercerita tentang pencarian itu padanya.

***

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang