Matahari masih bersinar, meski sudah semakin condong ke barat, ketika perempuan itu melangkah masuk ke ruang tamu penginapan. Perempuan yang datang semalam. Raga masih ingat namanya. Laksmi. Tampaknya ia bukan pelancong seperti kebanyakan tamu yang menginap di sini. Para pelancong biasanya menghabiskan waktunya di luar. Sedang perempuan muda ini, ia sendirian dan kembali ke penginapan terlalu awal.
"Selamat sore," Raga yang duduk di salah satu kursi tamu bangkit waktu melihat perempuan muda itu. "Kamar satu enam?" tanyanya sambil melangkah ke meja penerima tamu. Mencari kunci kamar yang dimaksud.
Kiky, perempuan muda itu mengangguk. Tersenyum samar sambil melirik laptop yang baru saja ditinggalkan Raga. "Terima kasih," katanya sambil menerima kunci. Lalu melangkah menuju jajaran kamar di belakang lobi.
Raga meninggalkan meja penerima tamu. Kembali ke tempat duduknya semula. Menyesap kopi yang sudah hampir dingin. Lalu kembali mencermati laptopnya. Ketika terdengar suara langkah mendekat, ia mengangkat kepala. Kiky berjalan kembali ke lobi.
"Maaf, Pak," kata Kiky sedikit sungkan. "Boleh saya tahu siapa yang mengelola website penginapan ini?" tanyanya dengan kepala tertunduk.
Raga menegakkan tubuh mendengar pertanyaan itu. Memperhatikan tamunya. "Oh. Ada apa, ya?"
"Bapak yang mengelola?" tebak Kiky tanpa mengangkat kepala.
"Ya, kurang lebih begitu," Raga tersenyum. Sekilas ia melihat mata perempuan di depannya. Ia bisa menduga kenapa perempuan itu terus menunduk. Untuk menyembunyikan matanya yang bengkak.
Kiky tertawa kecil. Kali ini kepalanya sedikit terangkat. "Kok kurang lebih?"
Kali ini Raga tersenyum lebih lebar lagi. "Memang saya yang utama. Tapi ada teman yang bantu," Raga menerangkan. "Mari silakan duduk," Raga menunjuk kursi di depannya.
Kiky menarik sedikit kursi di depan Raga. Membuat jarak bicara yang cukup nyaman dengan laki-laki di depannya.
"Gimana?" tanya Raga sambil menurunkan layar laptopnya.
"Ehm... beberapa waktu lalu saya baca tulisan di website penginapan tentang wayang. Ruwatan Murwakala kalau nggak salah."
"Oh! Wayang ruwatan."
Kiky mengangguk. Perlahan mengangkat kepalanya. Menatap Raga. "Saya mau tanya-tanya tentang itu. Bisa, Pak?" tanyanya lalu menunduk lagi.
"Oh, bisa!" jawab Raga cepat. "Kalau saya tahu, saya jawab. Apa yang mau ditanyakan?"
"Tentang pergelaran wayang," Kiky memulai pembicaraan. Ia sudah lupa pada mata bengkak yang harus disembunyikan. "Pernah ada nggak Pak, di sekitar Yogya sini yang berakhir rusuh?"
Raga mengerutkan keningnya. "Rusuh bagaimana maksudnya?"
"Hm...," Kiky berpikir sejenak. "Ada keributan di panggung. Diserbu gerombolan apa, gitu?"
"Saya belum pernah dengar, Mbak," Raga menggeleng.
"Oh," Kiky berpikir sejenak. "Kalau wayang ruwatan, seberapa sering sih Pak, diadakan?"
Raga tersenyum, sedikit malu. "Saya bukan penggemar wayang, Mbak. Jadi tidak tahu persis," katanya sambil mengusap dahi. "Tapi setahu saya sekarang ini sudah makin jarang upacara-upacara seperti itu."
"Yang Bapak tulis itu hampir dua tahun lalu."
"Iya. Mungkin kalau jaman sekarang ruwatan ya seperti itu. Yang mengadakan instansi dan ada sponsornya," Raga tertawa. "Mahal soalnya."
Kiky mengangguk-angguk.
"Eh, sebentar," kata Raga seperti teringat sesuatu. "Apa Mbak Laksmi ini yang ngirim komentar waktu itu?"
"Iya, Pak. Bapak ingat, ya?"
"Ingat. Jarang yang ninggal jejak. Waktu itu tanya apa, ya?"
"Kapan ada agenda pergelaran wayang ruwatan," jawab Kiky.
"Oh, iya. Mbak Laksmi penggemar wayang?"
"Bapak bisa panggil saya Kiky," kata Kiky. Sedikit canggung.
"Kiky?" Raga mengulangi. Agak tak yakin.
"Iya," Kiky tersenyum. Memahami keraguan Raga. Reaksi yang umum ia dapati saat menyebutkan nama panggilannya. "Agak nggak nyambung sama nama aslinya. Laksmi Dyah Rukmini kok panggilannya Kiky. Tapi orangtua gitu manggilnya. Dan saya terlanjur akrab dengan panggilan itu."
Raga tersenyum lebar. "Nyambung kok. Laksmi Dyah Rukini..."
Kiky tertawa. Saat itu juga ia merasa keputusannya menginap di sini adalah tepat. Ia senang dengan suasananya. Juga pegawainya. Untuk sesaat ia bisa melupakan kehancuran hatinya karena pengakuan Danar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
General FictionKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...