40. Harus Mengatakannya

228 14 0
                                    

"Untuk apa? Belum lama ketemu!" kata Haya. Ia tengah menerima telepon dari Raga.

"Ngobrol."

"Chatting saja."

"Tidak bisa. Susah."

Haya tidak menjawab. Ajakan Raga selalu menarik diiyakan. Tapi ia tidak ingin terkesan gampangan.

Tapi akhirnya ia luluh juga. "Kapan?" tanyanya.

Empat hari kemudian mereka bertemu. Di sebuah kedai dimana keduanya bisa ngobrol berlama-lama sambil minum dan makan camilan, setelah melihat-lihat pameran seni rupa yang digelar di lantai atas kedai itu. Di lantai dua itu Raga menunggu Haya. Setelah itu keduanya baru turun. Duduk sambil menikmati jus buah, kopi, dan kentang goreng.

"Kamu selalu pesan kopi?" tanya Haya.

"Iya."

"Berapa kali minum kopi sehari?"

"Dua. Pagi dan sore. Ditambah kalau ngobrol begini," Raga nyengir.

"Jadi tiga kali. Kalau ngobrolnya dua kali?"

"Ya berarti empat kali," jawab Raga dengan sinar mata jenaka.

Haya mengerutkan dahinya. "Nggak mikir mau ngurangi? Untuk kesehatan."

"Mikir. Cuma belum melakukan," Raga tertawa.

"Ada apa?" Haya memotong tawa Raga.

Raga tidak segera menjawab. Menghela napas panjang.

Ia ingat, pertemuan sebelumnya Haya bercerita tentang masa lalunya saat bekerja membantu perempuan yang tertimpa masalah. Apa yang ia katakan nanti pasti akan mengingatkan Haya, bahkan mengembalikannya pada masa lalu yang membuatnya kadang-kadang merasa terganggu itu. Tapi Raga merasa harus mengatakannya.

"Ini bukan soal aku," katanya memulai. Tidak sepenuhnya bohong. Bagaimanapun semangatnya membantu Kiky tidak lepas dari hasratnya untuk bisa bertemu Haya. Setelah menghela napas, Raga melanjutkan, "Ada seorang perempuan. Masih muda. Dua puluh dua tahun. Ingin ketemu ibu kandungnya."

Haya menegakkan tubuhnya seketika. "Maksudmu apa?" tanyanya sambil menarik tubuhnya ke belakang. Seolah ingin menjauh dari Raga.

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang