16. Nurani Bicara

281 13 1
                                    

Mungkin ini yang disebut hati nurani bicara. Beberapa waktu ini ia merasa gelisah. Apa yang pernah dilakukannya di masa lalu datang sebagai bayang-bayang, mengganggu hati dan pikirannya. Kadang bayangan itu jelas. Tapi kadang hanya samar.

Sejak lebih dua puluh tahun hingga setidaknya dua belas tahun lalu, ia berkali-kali mengantar perempuan yang ingin aborsi. Sebagian besar adalah korban perkosaan. Ada beberapa yang hamil dengan pacar yang tidak bertanggung jawab. Ada juga perempuan menikah yang mendapati dirinya hamil sementara suaminya tidak menghendaki anak lagi.

Ia lebih banyak merujukkan para perempuan itu ke klinik. Biar hanya merujukkan, tapi ia tetap merasa bersalah. Setidaknya jadi tidak tenteram karena merasa ikut merampas hak janin-janin itu mendapatkan kesempatan hidup.

Bukan hanya bayangan tentang janin yang belum sempurna bersimbah darah yang menyerbu pikirannya. Tapi juga mata anak-anak yang orangtuanya ia bantu percerainnya, belakangan ini seolah menatapnya. Sorot mata yang polos itu berubah menjadi sorot kebingungan mendengar penjelasannya. Sesaat kemudian ia melihat sinar mata yang berbeda. Sinar mata yang menyalahkannya. Beberapa bahkan menyinarkan kebencian. Seolah dirinyalah yang memisahkan orangtua mereka.

Sebenarnya semua kejadian itu telah terpendam jauh dasar ingatan. Ia sudah berdamai dengan masa lalu. Menjalani hidupnya yang sekarang tanpa beban masa lalu. Meski saat meninggalkan tempat kerjanya dulu ia butuh waktu berbulan-bulan untuk menenangkan diri. Untuk memutus hubungan dengan segala hal yang terkait dengan tempat kerjanya itu. Tapi keadaan seperti itu sudah lama berlalu. Ia merasa hidupnya normal, sudah baik-baik saja. Sampai suatu siang, tiga bulanan lalu, hal itu terjadi.

Hari itu salah satu pegawainya libur. Haya menggantikannya mengantar pesanan paket makan siang di sebuah perusahaan. Itu biasa ia lakukan. Tapi siang itu ada yang tak biasa. Selesai menyerahkan nota dan menerima pembayaran, seorang karyawan perusahaan itu mendekatinya.

"Ibu ingat saya?" tanya karyawan itu.

Haya mengerutkan dahi. Menatap karyawan itu sambil mengingat-ingat. Ia karyawan yang tadi membantunya menurunkan paket makan siang dari kendaraan. Tapi sebelum itu, Haya merasa belum pernah melihatnya.

"Maaf. Kok saya lupa," Haya tersenyum kikuk. Merasa tidak enak karena tak mampu mengingat orang yang sedang berdiri di depannya. "Eh, kita pernah ketemu di mana, ya?"

Karyawan itu menatap Haya. Tanpa senyum. Seolah Haya adalah musuh yang sudah lama dicarinya.

"Wajar kalau lupa. Sudah terlalu lama."

Haya mulai merasa tidak nyaman. Sorot mata karyawan itu semakin tajam. Seperti menyimpan dendam.

"Tapi saya tidak pernah lupa. Buat Ibu mungkin hal yang Ibu lakukan itu biasa saja. Pekerjaan sehari-hari. Tapi tidak bagi kami!"

Haya tersentak. Dari pernyataan itu, Haya bisa menduga. Kaitan dirinya dengan karyawan itu pasti tempat kerjanya dulu. Sebelum Haya sempat berpikir, kasus apa yang kira-kira mempertemukan karyawan itu dengan dirinya, karyawan itu maju mendekati Haya. Membuat Haya semakin tidak aman. Bahkan mulai merasa terancam.

"Kami terlantar sejak orangtua kami Ibu pisahkan!" desis karyawan itu. Jarinya menunjuk muka Haya.

"Nina!"

Sebuah panggilan menyelamatkan Haya.

"Kamu ngapain? Nggak sopan!"

Karyawan yang dipanggil Nina itu mundur. Matanya masih tajam mengawasi Haya. Karyawan yang baru datang itu menarik tangan Nina. Baru ia pergi meninggalkan Haya.

"Maaf ya, Bu," kata si karyawan yang tampaknya lebih senior dari si Nina. "Dia kadang memang agak aneh. Kayak stress gitu," bisik si karyawan sambil menoleh. Memastikan Nina sudah menjauh.

"Karyawan baru?" tanya Haya. Sedikit penasaran. Perusahaan ini sudah lama menjadi palanggannya. Tapi ia merasa baru sekali ini melihat Nina.

"Setengah tahunan. Kalau tahu agak stress gitu dulu nggak  kami terima," gerutu si karyawan.

Haya masih penasaran. Ia ingin menggali informasi tentang Nina. Tapi ia tidak melakukannya. Jadi ia segera berpamitan. Berjalan keluar dari perusahaan sambil beberapa kali menoleh. Tak yakin untuk apa. Memastikan aman dari Nina atau malah berharap bisa bertanya beberapa hal padanya.

Pertemuan dengan Nina siang itu ternyata membekas dalam. Bahkan menekan perasaannya. Ia berusaha mengingat wajah-wajah bocah, anak-anak klien yang pernah dijumpainya saat bekerja di lembaga pendamping perempuan. Tapi ia tetap tak bisa mengingat wajah Nina ada diantara mereka. Meski begitu ia bisa memastikan, Nina adalah anak salah satu klien kasus kekerasan terhada isteri oleh suaminya sendiri yang kemudian berujung berceraian. Ia adalah korban dari rumah tangga yang gagal.

Hari itu dan hari-hari berikutnya, kejadian yang Haya alami di tempat kerjanya dulu seperti berebut muncul dalam ingatan. Menggangunya. Membuatnya tidak bisa tenang. Bahkan saat tidur pun kejadian-kejadian itu terus mengejarnya.

***

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang