52. Kutemani Kau

309 21 4
                                    

Semula Zulfa berpikir setelah menemukan nama konselor yang dulu mendampingi proses adopsi Kiky, urusannya dengan gadis itu selesai. Konselornya yang akan membantu gadis itu mencari orangtuanya. Ternyata bukan itu yang terjadi. Meski ia sudah berhasil menemukan Haya, perempuan itu menolak menghubungkan Kiky dengan ibu kandungnya. Itu bisa dipahami. Haya sekarang tidak bekerja lagi di Laras Wanodya. Ia tidak terikat kontrak apa pun dengan Laras Wanodya. Jadi sah jika menolak tugas itu.

Meski maklum, tapi sebenarnya Zulfa kecewa. Ia awalnya berharap Haya masih menyediakan waktunya untuk kasus Kiky. Tapi ternyata tidak. Dan Zulfa harus menerima dengan lapang dada. Terpaksa ia menyempatkan waktu mencari sendiri perempuan bernama Suwarsi itu. Sebenarnya ia bisa saja mendelegasikan tugas ini pada stafnya. Tapi karena kasus ini cukup sensisif ia merasa perlu menangani sendiri.

Dari buku pendaftaran klien, Zulfa mendapatkan alamat Suwarsi. Perempuan itu tinggal di sebuat kampung tidak jauh dari kantor Laras Wanodya. Mungkin hanya butuh lima belas menit dengan sepeda motor untuk sampai ke sana.

Masalahnya alamat itu adalah tempat tinggal Suwarsi dua puluh dua tahun lalu dan Suwarsi tidak tinggal di sana lagi. Beberapa orang yang ditanyai tidak mengenal nama Suwarsi.

Seorang warga membawa Zulfa pada laki-laki tua yang pernah menjadi ketua RT di masa sebelum reformasi. Dari laki-laki tua, yang ternyata dulu mengantar Suwarsi ke Laras Wanodya, Zulfa menemukan petunjuk.

Warsi dan keluarganya pindah ke desa kelahiran emaknya di kaki bukit sebelah tenggara Yogya, tak lama setelah melahirkan. Tapi setelah menikah, beberapa tahun setelah kepindahan itu, Warsi pindah lagi. Ikut suaminya yang tinggal di desa selatan kompleks candi yang ada di sebelah timur Yogya.

***

Ada tujuh belas pesan yang masuk ke telepon selulernya Haya. Beberapa pesan kelompok sengaja diabaikan. Ia hanya membuka pesan pribadi. Salah satunya dari Zulfa. Setelah menghirup napas dalam-dalam, Haya membacanya.

Mbak Haya, saya sudah ketemu Bu Warsi tapi beliau belum kasih jawaban mau tidak ketemu Kiky. Ingin ketemu Mbak Haya dulu.

Gimana Mbak? Bisa ya?

Haya memejamkan mata usai membaca pesan itu. Ia memang ingin membantu. Tapi tidak ingin terlibat terlalu jauh. Ia pikir informasi yang ia berikan tentang ibu kandung Kiky sudah cukup membantu Laras dan gadis itu menemukannya. Ternyata tidak sesederhana itu. Warsi ingin bertemu dengannya sebelum membuat keputusan. Itu sama saja ia melakukan pekerjaannya dulu. Padahal keadaannya sudah berbeda sekarang. Bukan hanya itu tidak lagi menjadi pekerjaannya. Lebih dari itu, hatinya sudah tidak di situ. Ia bukan lagi seorang konselor.

Haya ragu dirinya masih bisa menjalankan pekerjaan itu. Keraguan itu membuatnya tak segera menjawab pertanyaan Zulfa. Ia justru menghubungi Raga sorenya.

Ya bisa dimaklumi. Seperti kamu. Kondisi perempuan itu sudah beda dengan dulu. Butuh orang yang bisa menguatkan. Dan itu kamu. Jawab Raga.

Haya membaca pesan itu. Mengulanginya lagi sebelum menanggapi. Nggak cuma dia. Aku juga butuh orang yang bisa menguatkan diriku untuk menemuinya.

Begitu pesan terkirim, Haya merebahkan tubuhnya di ranjang.

Sesaat kemudian Haya merasa mencium aroma yang sangat ia kenal. Aroma yang membuat jantungnya berdegup kencang. Raga. Laki-laki itu tersenyum menatapnya sambil berjalan menuju ranjang. Menciumnya. Hangat dan basah. Haya menyambut. Melingkarkan lengannya di leher Raga. Menarik laki-laki itu naik ke ranjang.

Mereka berpelukan. Berciuman. Saling tindih, bergantian. Saling ingin memuaskan hasrat yang selama ini mereka pendam.

"Ga..." bisik Haya.

Tepat saat itu telepon seluler di atas nakas berbunyi lirih. Haya membuka mata. Tak ada Raga. Tak ada siapa-siapa. Hanya ia seorang diri di dalam kamar. Haya mendengus. Membiarkan telepon selulernya berdering sesaat, sebelum bangkit dan meraihnya. Tapi suara panggilan sudah berhenti. Hanya menyisakan pemberitahuan, seseorang baru saja menghubungi dan sebuah pesan. Dari Raga. Haya menghela napas.

Lalu membuka pesan dan memdapati sebuah dari Raga. Aku bisa melakukannya. Aku temani kamu ke sana.

***

Mestinya ia tidak boleh mengajak orang lain. Kecuali sesama pendamping. Tapi ia punya alasan pembenaran untuk apa yang dilakukannya. Toh ia tidak lagi bekerja di Laras Wanodya. Tidak ada kontrak atau perjanjian apa-apa lagi dengan kantor itu. Dan ia butuh orang yang bisa menguatkan, menjadi sandarannya. Jadi tidak ada salahnya Raga menemaninya menemui Warsi.

Lewat Zulfa, ia membuat janji dengan perempuan yang melahirkan Kiky itu. Sekaligus meminta alamat dan denah rumah Warsi.

Raga menawarkan diri menjemput Haya. Kali ini Haya tidak menolak. Rumah Warsi cukup jauh dari kota. Dengan menumpang Raga ia bisa memanfaatkan waktu di perjalanan untuk menyiapkan diri sebelum bertemu Warsi.

"Kok tidak ada suaranya?" tanya Raga sambil melirik Haya yang tampak tegang sejak duduk di sampingnya.

Haya mendesah lirih. "Ga, bagaimana kalau yang kita lakukan malah membuat luka baru?"

"Maksudmu?"

"Warsi sudah menikah. Anaknya dua. Kita nggak tahu keluarganya tahu nggak, kalau Warsi pernah punya anak."

"Iya. Semoga semua baik-baik saja," bisik Raga. Tangan kirinya terulur, menggenggam tangan Haya sesaat.

Keduanya kembali diam.

Kata-kata Raga tak mampu menenangkan Haya. Kenangannya saat bekerja di Laras Wanodya kembali bermunculan. Apa yang ia lakukan dulu karena ingin membantu. Tapi apa yang terjadi? Nina marah padanya dan menuduh Haya memisahkan dua orangtuanya. Kiky, meski tidak marah atau menyalahkannya, tapi gadis itu dalam kekacauan besar mengetahui orangtua yang membesarkan, bukan orangtua kandungnya.

Ingatan itu membuat napas Haya tersengal-sengal. Tiba-tiba ia memegang lengan Raga. "Kita pulang saja," katanya.

"Kamu ini kenapa?"

"Aku nggak siap, Ga," bisiknya. Cengkeraman tangannya semakin erat.

"Oke. Kita cari tempat berhenti. Istirahat dulu sebentar," kata Raga sambil mengurangi laju kendaraannya.

"Bukan istirahat. Tapi pulang," Haya memaksa.

Raga tampak tidak peduli. Ia melihat-lihat sisi kiri jalan. Mencari tempat yang tepat untuk berhenti.

"Aku nggak mau lagi orang lain terluka karena perbuatanku. Suami Warsi, anak-anaknya..."

"Tapi kalau kamu tidak mau bantu, Warsi dan Kiky juga akan tersakiti," kata Raga tidak terpengaruh sikap Haya. "Kita berhenti di situ," kata Raga sambil menunjuk sebuah rumah makan dengan dagunya.

Mereka berhenti di sebuah tempat makan tak jauh dari batas kota.

"Kita pulang, kan?" tanya Haya.

"Ya. Kalau sudah ketemu Warsi," jawab Raga. "Setidaknya kamu tepati janjimu menemuinya."

***

WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang