Kiky bangkit dari ranjang.
"Kok bangun lagi?"
Nares meletakkan kacamata bacanya. Memalingkan wajahnya dari layar laptop ke arah Kiky yang keluar dari kamar.
"Iya. Terbangun," jawab Kiky sekenanya. "Mama juga. Selarut ini belum tidur," katanya sambil melirik jam di tembok. Sebelas lewat delapan menit. "Aku bikin teh ya, Ma?"
"Hem," gumam Nares yang kembali meletakkan jari-jarinya di atas tombol laptop. "Itu air barusan mendidih. Tolong Mama dibikinkan sekalian."
"Teh apa kopi?"
"Teh saja."
Kiky segera menyiapkan dua buah gelas. Memasukkan dua kantong teh celup, menyeduhnya.
"Gula sedikit, Ma?" tanya Kiky. Terdengar suara sendok yang beradu dengan gelas.
"Nggak usah," jawab Nares.
Sesaat kemudian Kiky meletakkan segelas teh panas di hadapan Nares. Uapnya yang samar tampak mengepul. Menerbangkan aroma teh yang pahit, wangi, dan sedikit asam ke hidungnya dan hinggap di sana.
"Makasih," Nares menggeser laptopnya. Meraih gelas bergagang di depannya. "Ouh. Panas sekali," katanya kembali meletakkan gelas itu.
Kiky duduk di depan Nares. Sambil meniup-niup tehnya yang masih terus mengepul.
"Ma," panggilnya. "Aku mau ke Yogya."
"Ke Yogya?" Nares menghentikan pekerjaannya sesaat. Kaget. Tapi ia berusaha menyembunyikan. Meneruskan lagi pakerjaannya dan bertanya, "Kapan?"
"Minggu depan."
"Eyang kan, di Bogor sekarang." Nares tahu itu pernyataan bodoh. Jelas Kiky tahu tak ada lagi keluarga Nares yang masih tinggal di Yogya sejak beberapa tahun lalu.
"Memang bukan mau ketemu Eyang," jawab Kiky. "Mau ketemu Papa."
Nares menatap anaknya lekat-lekat. Ia merasa mengenal Kiky dengan baik. Seingatnya selama empat belas tahun ia berpisah dengan Danar, baru sekali ini Kiky punya keinginan bertemu dengan laki-laki itu. Jangankan ingin bertemu. Membicarakannya pun Kiky tak pernah. Danar tak ubahnya kerabat jauh saja bagi mereka. Bertemu hanya saat lebaran. Saling mengucap selamat ulang tahun atau selamat hari raya. Sesekali menyapa atau berkomentar di media sosial. Itu saja.
Kalau sekarang tiba-tiba Kiky ingin bertemu dengan Danar, pasti ada sesuatu yang tengah terjadi. Sesuatu yang tak ia ketahui. Dan tampaknya Kiky memang tidak ingin ia mengetahui.
"Tumben?"
Kiky menghela napas. "Udah lama nggak ketemu Papa, kan? Masak pingin ketemu bapaknya dicurigai."
Nares tersenyum kecut. Merasa tertebak perasaannya. Tidak ada yang salah dengan alasan Kiky. Entah sudah berapa lebaran Kiky tidak bertemu Danar.
"Iya. Ketemu Papa mau apa?" desak Nares.
Kiky meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. "Ketemu aja. Aku ketemu Mama juga nggak perlu alasan."
Nares mengedip-ngedipkan matanya. "Tapi kuliahmu kan, nggak libur?" katanya beralasan.
"Aku bisa nitip presensi. Bolos juga nggak apa-apa. Tetap bisa ikut ujian."
"Gimana kalau bulan depan? Mama antar," Nares menawarkan.
"Ma, aku udah dua puluh dua lho! Cuma ke Yogya. Lima jam naik kereta. Lagian bulan depan bakalan banyak tugas. Nggak bisa bolos," Kiky menawar.
Nares menghela napas. "Sama Gaharu?" Mungkin Kiky ingin jalan-jalan berdua dengan pacarnya, batin Nares. Meski ia khawatir dan tidak terlalu suka melepas Kiky pergi berdua keluar kota, tapi setidaknya ia tahu alasan kepergian Kiky. Pacaran.
Kiky menggeleng, "Sendiri."
Mendengar jawaban itu Nares seketika merasa ada sebuah lubang terbentuk di salah satu sudut hatinya. Lubang yang sesaat kemudian ia pahami sebagai perasaan kehilangan. Meski wujudnya masih tetap sama, tapi Kiky yang kini berdiri di depannya bukan lagi Kiky yang selama ini dikenalnya. Yang selalu menceritakan semua hal padanya. Apa yang dilakukan, dilihat, bahkan dirasakan.
"Aku ke kamar, Ma," kata Kiky lagi sambil meraih gelasnya, membawanya masuk ke dalam kamar.
Nares terbengong melihat kepergian Kiky. Ia merasa ada sesuatu yang sedang dipikirkan anak itu. Ada keinginan Nares untuk bertanya lebih dalam. Tapi ia simpan saja pertanyaan itu dalam hati. Tampaknya Kiky tidak ingin ia tahu. Atau belum ingin. Dan ia menghargai itu. Kalau Kiky tidak mau bercerita tentang sesuatu berarti ia memang sedang ingin merasahasiakannya. Entah dengan alasan apa. Nares mengenal Kiky hampir sebaik ia mengenal dirinya.
Apa yang pernah ia khawatirkan tampaknya mulai terjadi. Kiky sudah punya dunianya sendiri. Dan ia tidak siap menghadapi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Fiction généraleKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...