Haya ingin keluar dari ikatan ini. Sudah sejak lama tapi belakangan semakin kuat. Selama ini ia memendam perasaan itu seorang diri. Bercerita tentang masalah itu tidak mudah. Pernah sekilas ia menyampaian keinginannya berpisah pada kakak perempuannya. Tapi tanggapan kakaknya jauh dari yang Haya harapkan.
"Kalau hanya perkara tidak cinta saja pisah, cerai, separoh pasangan di dunia ini sudah bercerai," kata kakaknya. "Banyak orang yang masalahnya lebih berat dari kamu tetap bertahan. Tidak usah cengeng!"
Setelah itu Haya tidak pernah bercerita lagi tentang perasaannya. Ia merasa yang paham perasaannya hanya dirinya. Ia yang merasakan, mengalami. Orang yang tidak mengalami, seperti kakaknya, tidak bisa bilang ini hanya masalah kecil. Ia ingin menjawab pada kakaknya, "Tidak bisa mengukur masalah orang lain dengan ukuranmu, Mbak. Daya tahan tiap orang beda. Makanya sikap tiap orang juga beda meski masalah mereka sama." Tapi ia tidak melakukkannya. Sia-sia, pikirnya.
Saat ini Haya sudah sampai pada pikiran mempertahankan perkawinan hanya akan semakin merusak diri sendiri. Menghambat potensinya. Ia lelah. Sesak. Mungkin perpisahan tidak menjamin hidupnya lebih baik. Tapi bertahan dalam ikatan perkawinan juga masalah. Ia merasa harus menyelesaikannya. Tidak apa-apa nanti muncul masalah baru. Entah masalah status sosial atau masalah lain. Bukankah selama hidup, manusia akan selalu menghadapi masalah? Tidak ada gunanya bertahan dalam perkawinan kalau lebih banyak buruknya. Penuh ketidaknyamanan dan penyesalan. Begitu pikirannya.
Kalau dihitung dengan untung rugi, ia merasa lebih banyak rugi dengan perkawinan ini. Mungkin satu-satunya keuntungan hanya ia bisa hamil dan melahirkan dengan tenang karena punya suami. Tidak harus menanggung beban memikirkan gunjingan orang.
Haya sudah pernah bicara dengan Bayu soal keinginannya berpisah. Pembicaraan yang hanya membuatnya semakin muak.
"Kita perlu bicara," kata Haya waktu itu. Memulai pembicaraan.
"Soal apa?"
"Hubungan kita."
"Apa yang mau dibicarakan?" dahi Bayu mengernyit. "Tidak ada apa-apa."
"Itu masalahnya!" nada suara Haya mulai meninggi. "Kamu merasa nggak ada apa-apa!"
Bayu menggaruk-garuk kepala. "Maksudmu itu apa?"
"Aku mau kita pisah."
"Pisah? Kamu bercanda?" Bayu ternganga. Matanya menatap Haya sambil berkedip-kedip. "Aku tidak mengerti," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Selama ini hubungan kita baik-baik saja. Tiba-tiba kamu bilang mau pisah," lanjutnya kemudian.
"Baik-baik saja untukmu. Tapi tidak untukku."
Bayu menghela napas. Dalam dan berat. "Kalau kamu merasa ada yang salah dalam hubungan kita, bisa kita perbaiki," katanya sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya. "Atau kalau kamu merasa aku yang belum baik, aku akan perbaiki diri," imbuhnya dengan tatap mata memohon. "Katakan aku harus bagaimana. Tapi jangan omong begitu. Jangan gampang bicara soal pisah atau cerai. Tidak baik."
Haya kehilangan kata-kata. Ia tidak berharap Bayu memperbaiki diri. Ia orang baik. Hampir semua orang suka padanya. Setidaknya ia tidak pernah punya masalah dengan orang lain. Ia ramah, suka membantu. Bukan, bukan itu masalahnya!
"Aku harus bagaimana? Katakan!" tiba-tiba Bayu sudah berlutut di depan Haya sambil mengguncang-guncang pelan tubuh Haya.
Haya menangkupkan kedua tangannya. Ia tidak bisa menjawab. Memang tidak ada yang bisa Bayu lakukan untuk memperbaiki hubungan. Apa pun yang Bayu lakukan di mata Haya akan tetap keliru. Kecuali Bayu bisa lakukan satu hal. Berubah menjadi Raga. Tapi itu jelas tidak mungkin.
"Kamu kenapa?" tanya Bayu lagi.
Haya menghela napas. "Aku nggak bisa seperti yang kamu inginkan." Sebuah kalimat keluar dari bibir Haya. Berkebalikan seratus delapan puluh derajat dari yang ada dalam pikirannya. "Aku tidak bisa menuruti kemauanmu. Kamu pasti kecewa."
Bayu tersenyum. Beranjak dan duduk di samping Haya. Merapat. Lalu memeluk Haya. Erat. "Tidak apa-apa. Aku mengerti. Kamu pasti capek. Seharian kerja," bisiknya sambil mencium dahi Haya. Pindah ke pipi. "Atau memang perempuan tidak setinggi laki-laki nafsunya. Aku bisa mengatasi. Masak hanya karena alasan itu kita pisah?" bisik Bayu lagi. Kali ini bibirnya sampai di bibir Haya.
Hayacepat-cepat melepaskan diri dari pelukan Bayu dan menggeser duduknya. Kepalanyaterasa berdenyut-denyut. Itu bukan hanya!Sebuah kalimat yang hanya mampu Haya teriakkan dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
WANODYA: Ayahku adalah Ayah Ibuku (Lengkap)
Ficción GeneralKalau bukan Danar, lalu siapa sebenarnya ayah kandungnya? Belasan tahun pertanyaan itu menggelisahkan Kiky. Ketika suatu saat ia punya keberanian mendesak Nares untuk berterus terang siapa sebenarnya ayah kandungnya, pengakuan ibunya justru membuat...